Menik menerima surat itu dengan tangan gemetar. Menerimanya membuat hati Menik kembali mendung. Dia pergi begitu saja meninggalkan ruangan itu begitu mengucapkan terimakasih kepada sang notaris.Dia berjalan dengan tergesa menuju kamarnya, bahkan tak menghiraukan ketika berpapasan dengan Rudi.Dia ingin segera membuka surat tersebut Karena dalam goresan tinta dan untaian kalimat didalamnya, seakan mampu sedikit mengobati kerinduan dan penyesalan Menik untuk kepergian Tukiman.Tak pernah Menik sangka, ternyata mengantarkan kepergian Tukiman untuk selamanya begitu menyesakkan didada.Padahal dulu dia selalu bepikir bahwa tanpa Tukiman semua akan baik-baik saja. Nyatanya dia salah, dia begitu kehilangan lelaki itu kini.Begitu sampai dikamar dan menutup pintunya dengan rapat, dia buka surat itu dengan perlahan, seakan jika surat itu robek dan merusak isi didalamnya, mampu pula merobek hatinya.Surat dari Tukiman untuk Menik:Teruntuk Menik, istriku tercinta.Maaf jika selama ini ha
dengerin deh lagunya "kekasih bayangan"sambil baca part ini.POV Rudi.Menik berjalan tergesa begitu saja melewati ku. Ada apa dengannya? Apa yang telah mengganggu pikirannya? Mungkinkah pembacaan wasiat mendiang suaminya tak sejalan sesuai yang dia harapkan?Aku begitu kawatir hingga tanpa sadar aku sudah berjalan hampir saja melewati pintu itu, dan masuk kedalam kamarnya. Sungguh tak pantas, seorang pria dewasa masuk kedalam kamar seorang wanita yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya.Namun logikaku dikalahkan oleh naluriku ketika melihat Menik yang begitu terlihat terguncang sambil memegang selembar kertas yang kuyakini sebuah surat ditangannya."Apakah semua baik-baik saja?" Aku menghampirinya dengan menyingkirkan norma dan adab yang seharusnya ku jaga.Tanpa ku duga, Menik justru memelukku.Seakan menumpahkan segala beban dihatinya, dia menangis dalam dekapku."Kenapa, kenapa harus aku? Kenapa Tuhan tak pernah membiarkan hidupku baik-baik saja?"Aku mulai beranikan diri m
"ya ampun, lihat orang yang kalian banggakan! Baru 7 hari ditinggal mati suaminya sudah berani memasukkan lelaki lain kedalam kamarnya!"Menik tersentak mendengan suara Sumini yang berteriak kencang didepan pintu kamarnya. Seolah dia tamu yang berbuat rusuk dirumah Sumini.Kali ini kesabaran Menik sudah habis. Dia berjalan tergesa menuju ke arah Sumini dengan muka merah padam.Begitu sampai didepan Sumini, ditamparnya wajah wanita itu bolak balik, seakan melampiaskan amarah yang dipendamnya selama ini.Sumini yang tak siap akan hal itu, tak sempat mengelak dan hanya terbengong menahan perih dikedua pipinya."Coba ulangi ucapanmu barusan!"Sumini yang masih terkejut dengan apa yang dilakukan Menik tak bisa menjawab apapun yang diucapkan Menik."Kenapa diam? Hah? Selama ini kurang baik apa aku sama kamu? Lama-lama dibiarkan ngelunjak kamu, kamu ini nggak punya siapa-siapa, ngak punya apa-apa! Seharusnya kamu itu mengemis belas kasihan kepada kami, bukan malah ngelunjak menginjak kepala
Sumini menutup pintu begitu pak kusno berpamitan untuk kembali.Sebenarnya ingin rasanya Sumini menahan lelaki itu untuk tetap disini, nyalinya menciut ketika membayangkan tinggal sendiri dirumah yang sudah lama tak berpenghuni ini. Namun menahan pak kusno untuk menemaninya bukan juga ide yang bagus, mau sampai kapan dia minta untuk ditemani? Terlebih tadi ketika akan berangkat Nyi Saminah yang sekarang berubah seperti Mak lampir baginya itu sudah berpesan untuk pak kusno langsung kembali begitu mengantarkan Sumini sampai depan rumah ini, mungkin karena kasihan sehingga lelaki itu rela membantu Sumini berbenah rumah yang akan Sumini tinggali.Sumini menutup pintu dan jendela dengan rapat. Agar udara dan air hujan tak dapat masuk kedalam rumah tua ini.Namun baru saja Sumini ingin melangkah dari tempatnya berdiri, dia sudah dikejutkan dengan seekor tikus besar yang melintas dikakinya. Sumini jejeritan didalam rumah itu, ngeri rasanya bagaimana jika nanti dia tidur lalu ada seekor ti
Menik memejamkan mata menikmati udara pagi yang begitu menenangkan hatinya. Setelah 40 hari kepergian Tukiman, akhirnya dia harus kembali. Kembali menjalani hidup yang seharusnya. Kembali ke kota dan meneruskan bisnis yang sudah dia bangun selama ini. Menghirup udara pagi ini entah kenapa begitu melegakan hatinya. Entah kenapa, mungkin dia tak layak disebut istri yang baik atau setia, namun yang pasti, ada sebuah kelegaan di dalam hatinya kini. Entah kelegaan ini untuk apa, untuk jiwa yang bebas karena kini dia tak lagi terikat, atau jiwa yang bebas tanpa ada luka yang dia tahan. "Bu""Wijaya, jadi bagaimana keputusanmu nak? " Menik berjalan lalu duduk di teras rumahnya sambil menerima secangkir teh hangat dari Wijaya. Diseruput nya teh itu, ada senyum tipis yang terbit dibibir itu. Rasanya ada sebuah rasa tenang yang sudah begitu lama hilang dari rumah ini. Rumah yang dulu selalu menenangkan, nyaman, dan selalu membuat kerasan siapapun penghuninya. Namun semua itu hilang semenjak
Semua simpanan perhiasanku sudah habis ku jual untuk memenimuhi kebutuhan hidupku selama aku dibuang bak sampah disini. Tempat ini mungkin sudah tak layak disebut rumah, dinding yang sudah berlumut, lantai yang masih tanah, atap sudah banyak yang bocor. Tapi sayangnya aku sudah tak punya pilihan, mau pergi kemana aku bila tak disini? Aku benar-benar sama sekali tak memiliki keluarga. Bahkan keluarga dari pihak emakku pun aku tak tahu, emak tak pernah mengenalkanku kepada mereka. Tetanggaku sebelah rumah, masih ada hubungan keluarga dengan menik, dia juga menenpati rumah-rumah kecil yang dulu diperuntukkan untuk para pembantu dikediaman ki harjo. Namun bedanya, rumah darsih sudah dirubah sedemikian rupa, dirombak total sehingga terlihat lebih besar dan rumahku hanya seperti kandang ayam yang nempel di rumahnya. "Sih, kamu sudah lama menikah kok anakmu masih kecil? Itu anak mu sendiri apa anak pungut? ""Haduh kok jahat ya mulutnya, lagian apa urusanya sama sampean, mending aku yu
Darsih menggedor-gedor pintu rumahku namun ku abaikan. Hingga aku ikut terlelap dalam tidurku."Mbah, pipis"Aku dibangunkan oleh rengekan Alina yang meminta untuk pipis. "Ya udah, ayo nduk mbah anterin pipis, nanti malah ngompol disini"Kuangkat Alina dalam gendonganku, segera ku antarkan dia menuju kamarandi, namun begitu ku buka pintu Darsih sudah memakiku. "Ya Allah Alina! Ibu cariin kemana-mana ternyata malah sembunyi disini? Telingamu itu lo ditaruh dimana?"Tak kuhiraukan Darsih, biarkan saja dimengomel, dengan begitu Alina tidak akan menyukainya dan akan lari mengadu kepadaku setiap kali ibunya menegurnya. Akan ku ceritakan tentang betapa menyebalkanya sang ibu, dan akan ku manja ketika anak itu bermain ke tempatku. Karena kehadiran dan celoteh lucu anak itu selalu bisa mengobati rasa kesepian yang selama ini aku rasakan. "Alina! ""Dhalem bu, pipis"(iya bu, pipis) "Kenapa dipanggil-panggil nggak jawab? Ibu kawatir mencarimu kemana-mana!""Alin bobo bu, dikeloni mbah Su
Sumini mengelap keringat yang menetes didahinya. Hari ini begitu panas, sedang pekerjaanya disawah begitu berat. Sumini tersenyum miris mengingat nasibnya kini. Dulu ketika kecil dia harus membantu sang ibu hampir setiap hari disawah, sehingga ketika dia melihat teman seumuran ya bermain muncul rasa iri dihati."Seandainya aku punya seorang bapak, bisakah aku seperti mereka? Bermain sesuka hati tanpa harus takut besok bisa makan atau tidak?"Lalu dia bertekad, kalau kelak jangan sampai anaknya memiliki nasib seperti dirinya. Anaknya harus hidup nyaman dan berkecukupan. Maka dari itu, jika sudah saatnya, jangan sampai dia menikah dengan pria yang miskin juga hidupnya. Dan pilihannya pun jatuh kepada Tukiman, keponakan pemilik perkebunan kopi terbesar di kota ini, namun suami orang. Biarlah pikirnya asal bisa menjamin kehidupannya, sungguh dia sudah lelah hidup susah. Apalagi Tukiman adalah lelaki pertama yang mampu menggetarkan hatinya walau hanya dengan sekali tatap. Namun coba