Kira-kira Ratna bakal mengizinkan Devina bertemu dengan Arjuna atau tidak ya???????
Melihat Ratna diam di ambang pintu, Devina pun memutuskan beranjak dari ranjangnya."Mobil depan kali, Na!" seru Ratna saat Devina berhasil berlari kecil keluar kamar.Bergegas anak berumur mendekati 10 tahun itu membuka pintu utama."Oom Ganteng!" seru Devina dari ambang pintu utama, kemudian berlari ke arah pagar, tampak olehnya lelaki gagah itu melambaikan tangan seraya tersenyum pada Devina."Hai, Cantik. Apa kabar?""Aku sehat, Om. Bentar, ya. Nana minta kunci sama mama dulu."Arjuna mengangguk seraya melirik sekilas ke ambang pintu, sosok perempuan yang dia suka itu sudah berdiri di sana dengan raut wajah tak suka."Ma, mana kuncinya? Oom Ganteng mau masuk nih!" seru Devina dari pagar.Ratna pun memutuskan melangkah meskipun jauh dari lubuk hatinya sama sekali tak ingin sosok lelaki itu berada di rumahnya."Masuk, Om. Oom sudah sehat? Nggak sakit lagi perutnya?" Rentetan pertanyaan terlontar dari mulut Devina. Ada pemandangan haru yang terlihat, Devina bergandengan tangan masuk
Selepas mendengarkan sepotong ceramah yang sangat sesuai dengan yang terjadi pada dirinya. Ratna pun mengambil wudhu dan sholat Isya. Memang, selama ini, ibadah Ratna terbilang buruk, karena selama ini sholatnya masih bolong-bolong.Dalam sholatnya, Ratna menumpahkan semua rasa takut, rasa dendam, dan pikiran negatif yang bersaranh di dirinya. Dia juga mohon ampun kepada Allah, karena dendamnya yang menggebu, sampai-sampai tak berpikiran jernih saat dirinya dijebak oleh Laura.Bermodalkan kekuasaan akan uang yang banyak, Ratna mengambil kesempatan yang hasilnya malah berbalik arah, sehingga Devina menjadi korban keegoisannya dalam mengambil sikap."Andai waktu itu, aku mengadu pada pihak yang berwajib, pasti semua tak 'kan seburuk ini," sesalnya dengan berurai air mata."Aku menyesal Ya Rabb. Mohon ampun segala keegoisan diri ini."***Menjelang siang, Ratna mencoba merayu Devina untuk pergi ke toko bakerynya, karena sudah seminggu lamanya tidak datang ke toko, semenjak kejadian naas
Sepanjang perjalanan pulang pikiran Ratna sibuk memilih antara menghubungi Arjuna atau tidak. Namun, saat sampai di rumah takdir berkata lain. Ada telepon masuk dari nomor yang tidak tersimpan dalam daftar kontak ponselnya, akan tetapi tanpa pikir panjang Ratna langsung mengangkatnya."Ya, halo," sapa Ratna seadanya."Alhamdulillah, akhirnya kamu angkat. Ini aku, Arjuna," ucap Arjuna di seberang sana."Oh kamu. Tanpa kamu memperjelas, aku tahu itu kamu," batin Ratna."Halo, Rat. Masih di sana!" panggil Arjuna memastikan, karena tidak ada respon lagi saat Arjuna memberi tahu, jika dirinya yang menelepon."Ya, masih.""Kita bisa bertemu di luar tidak? Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan sama kamu.""Sampaikan saja sekarang!""Tidak bisa, soalnya ada yang ingin aku tunjukan sama kamu. Please, Rat!""Oke, atur saja.""Nanti malam, pukul delapan di restoran biasa," ucap Arjuna tanpa basa-basi.Meskipun salah, perempuan yang mempunyai rasa trauma akan sosok lelaki, pasti akan berusaha kera
Dalam perjalanan pulang setelah makan bersama, Ratna mencoba menggali sesuatu pada Devina. Rasanya mustahil jika Devina membicarakan hal sedetail itu saat Arjuna datang ke rumah waktu itu."Na, mama mau nanya sesuatu, tapi jawab jujur, ya!" pinta Ratna membelah keheningan antara ibu dan anak ini."Iya. Mama mau nanya soal apa?""Soal pembicaraan di restoran tadi. Kamu komunikasi via apa sama Oom Arjuna lepas dia berkunjung ke rumah kita waktu itu? Soalnya kalau pembahasan kemarin agaknya nggak dibahas pas dia datang deh. Lagian juga kalau bahas gituan pasti mama tahu dan dengar juga."Hmm … Nana minta maaf lagi ya, Ma. Sebenarnya … Nana komunikasi sama Oom Gantengnya lewat email, Ma.""Email?" Ratna melirik bersamaan dengan anggukan beberapa kali oleh Devina."Sejak kapan? Awal-awal kamu kenal kah?""Nggak, Ma. Baru kemarin itu, setelah Oom Arjuna main ke rumah. Sebelumnya nggak pernah," jawab Devina sesuai fakta.Sesampainya di rumah, Ratna meminta Devina mengganti pakaian untuk tidu
"Tidak, hanya itu. Maaf atas sikapku belakangan ini.""Tidak masalah, aku paham sekali soal itu.""Makasih susah menjelaskannya, telepon aku tutup dulu.""Ratna, tunggu!" Ratna yang baru saja ingin menjauhkan ponsel dari telinganya pun urung."Ya, Mas. Ada apa?""Kamu … kamu, sudah tahu soal kabar Laura?" tanya Arjuna penuh kehati-hatian. Suaranya terdengar berat saat bertanya, takut Ratna tersinggung.Ratna menarik napas dalam-dalam dan melepaskannya perlahan, sebenarnya dirinya tengah melawan rasa sakit hati pada Laura yang jelas tak mudah, meski dirinya sudah menyesali akan balas dendam yang tak seharusnya terjadi kemarin itu.Namun, sebagai manusia biasa, tentunya tak mudah bagi Ratna berdamai secara cepat pada manusia seperti Laura. Yang dia tahu, Laura memang terluka parah, tapi dirinya tak tahu jika Laura mengalami depresi berat serta kena amnesia."Kenapa dia? Parahnya kelewatan?" tanya Ratna, dari gurat wajahnya penasaran juga merasa bersalah sekilas atas balas dendamnya.Arj
"Cie … cie … mama sama Oom Ganteng so sweet deh."Arjuna hanya sempat memegang beberapa detik, Ratna buru-buru menarik tangannya, ledekan Devina membuyarkan tatapan dalam antara dua orang dewasa ini."Sorry. Aku hanya ingin menenangkan kamu," jelas Arjuna singkat.Menghilang gerak-gerik yang sedikit salah tingkah, Ratna langsung menyahuti."Nggak masalah, Mas. Terima kasih. Kita kembali ke pembicaraan awal. Kalau kamu tahu kondisi Laura separah itu. Kenapa nggak sejak awal kamu kabari aku, Mas?"Dibenak Ratna, sekalipun sikap dirinya dingin, tapi setidaknya Arjuna punya cara lain untuk menjelaskannya, begitu ingin ibu satu anak ini."Kondisinya nggak memungkinkan. Aku coba ke sini kemarin, kamu tetap saja dingin.""Ya, aku paham. Terima kasih sudah menjelaskan semuanya padaku, Mas. Dan, maaf atas sikapku.""Nggak masalah, aku bisa paham. Aku juga ngucapin makasih sama kamu, karena sudah memenuhi undangan makan malam ini. Lega rasanya," tutur Arjuna seraya mengulas senyum yang mana sor
Wajah Ratna tampak pucat pasi, lipstik merah bata tipisnya pun tak mampu memberi rona pada wajahnya.Rasa ingin tahu pun tak bisa dipungkiri, mulutnya terasa gatal untuk mempertanyakannya."Dokter tahu darimana?" tanya Ratna sangat hati-hati. Ada rasa takut jika dokter itu tahu, bahwa Ratna lah pelakunya."Saya sempat menonton video senonoh itu. Dan, sempat kaget pas pertama kali ibu ini dipindahkan ke sini. Menurut pandangan saya, pasti ada sebabnya kenapa ada orang yang akhirnya tega menyebarkan video senonoh itu.""Akan tetapi, sisi lain, dari segi manusianya, jelas kita ada rasa kasihannya, terlepas dari salah yang dia perbuat."Ratna tampak menghembuskan napas lega. "Baik, dokter. Saya akan usahakan untuk menghubungi orang-orang yang sudah menyebar video tersebut.""Iya, Bu. Minta bantu sekali ya!" Ratna mengangguk, satu sisi dia bersyukur karena dr. Ratih tidak tahu jika dirinya lah yang menyebarkan video senonoh itu, tapi sisi lain rasa bersalahnya pada Laura semakin mendalam.
Sudah empat puluh lima menit berlalu, akan tetapi gemingan suara Dara soal rumah sakit jiwa yak kunjung hilang dari pendengaran Bram. Sampai-sampai membuat dirinya tak konsentrasi melanjutkan kerjaannya."Nenek lampir sialan. Kalau dia tahu kalau Laura yang masuk rumah sakit, tentu saja dia akan tahu bagaimana ceritanya. Sialan! Sialan! Yang ada nggak menutup kemungkinan kalau Ratna akan dilaporkan. Aku tidak ingin Ratna di penjara." Batin Bram bergejolak geram, membayangkan dapat buruk.Dia menyambar ponsel yang tergeletak di samping keyboard dengan kasar. Ingin menghubungi seseorang tampaknya dilihat dari gerak-gerik jarinya yang langsung menekan icon telepon."Ngapain lu nelpon?" serang Dara saat telepon tersambung.Bram mengepal kuat-kuat tangannya, "sabar … tenang ….""Kamu dimana?""Eh, tumben lu panggil kamu? Lu nggak lagi ngelunakin aspal 'kan?" tuduh Dara curiga.Mendengar tuduhan meski benar itu, Bram mengambil sikap tegas, dia menyerang Dara supaya tak ada sela curiga dari