Keesokan harinya, seperti biasa aku bekerja dan menyiapkan kopi untuk Pak Attala. Di tempat kerjaku, aku baru berkenalan dengan beberapa rekan kerja di kantor tersebut, dan sepertinya mereka tidak menyukai kehadiranku, terutama setelah berita viral tentangku yang dibuat oleh Mas Raka di media sosialnya. "Kenapa mereka menilai ku seperti ini? Apakah mereka tidak mau tahu alasannya dulu?" gumamku dalam hati. Mereka menatapku sinis, seolah aku yang bersalah, dan banyak di antara mereka yang menggunjing di belakangku. Aku merasa tidak adil dan sedih karena perasaan dikucilkan oleh mereka. Namun, di tengah kegelapan ini, ada satu orang yang bersikap baik kepadaku, yaitu Mas Dani. Dia adalah OB, sama seperti diriku. Kemarin kami bertemu secara tidak sengaja di mini kitchen, dan saat itu kami mulai mengobrol dan saling berkenalan."Kamu jangan terlalu memikirkan apa yang mereka bicarakan, Rania. Mereka hanya melihat dari penampilan luar, yang penting kamu tidak melakukan apa yang mereka
Mereka semua terkejut, termasuk diriku yang sama terkejutnya saat mendengar ucapan Pak Attala. Tak pernah terlintas di benakku, Pak Attala akan mengumumkan hal seperti itu di depan para karyawannya yang saat itu kebetulan berada di pintu lift sedang menunggu lift terbuka. "Apa? Calon istri?" gumam mereka serempak dengan pandangan tak percaya. Aku sangat gugup, jantungku berdebar cepat. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Pikiranku kembali memutar situasi seandainya, apakah mereka sekarang membenarkan bahwa tujuanku ke kota ini hanyalah untuk mencari seorang pria tajir yang bisa kumanfaatkan? Aku segera berbicara, meralat ucapan yang sudah terlontar dari mulut Pak Attala. Aku tak ingin karyawan-karyawan itu beranggapan buruk tentang diriku. "Maaf, saya perlu mengklarifikasi bahwa saya belum menjadi calon istri Pak Attala. Memang benar, beliau mengajak saya untuk ta'aruf. Namun, saya dan keluarga saya belum memutuskan apakah akan menerima atau tidak
Pandangan teduh Pak Attala begitu intens menghujamku, membuat hatiku berdebar kencang dan tak bisa menahan rasa malu serta canggung.'Kenapa dia memandangi aku seperti ini?' gumamku dalam hati, kemudian dengan segera mengalihkan pandanganku ke arah lain.Kebetulan di sampingku terdapat sebuah kemeja berwarna biru muda yang warnanya sama dengan gaun panjang yang tengah kupakai.Seolah ingin mengalihkan pembicaraan, aku berkata, "Kemeja ini cocok untuk Bapak."Aku segera memberikan kemeja tersebut yang masih tertempel pada hanger ke Pak Attala.Senyum Pak Attala muncul lembut di bibirnya, seakan dia ingin menyampaikan sesuatu padaku."Seleramu bagus, Ran. Kenapa aku tidak kepikiran untuk memilih kemeja yang senada dengan baju yang kamu pakai? Terima kasih, karena sudah memilihkan kemeja ini untukku, tunggu di sini, aku mau ganti kemejaku," ucap Pak Attala lalu menyerahkan paper bag miliknya padaku.Aku merasa terkejut dan sekaligus terheran-heran, mengingat saat itu aku sama sekali tida
Aku terkejut saat mendengar apa yang dikatakan oleh mama Pak Attala saat ini, seolah-olah jantungku mau copot setelah mendengar pernyataan itu."Iya, Ran. Maaf, jika ini membuat dirimu terkejut, tapi sebenarnya kami ingin membuat sebuah kejutan untuk dirimu," sahut Pak Attala dengan nada santainya.Aku hanya mematung dan tak tau lagi apa yang harus aku jawab. Sungguh, aku belum siap jika keluarga Pak Attala datang ke rumahku untuk bertemu dengan ibuku.Bukan hanya itu saja, aku takut akan gunjingan dari tetangga yang akan membenarkan fitnahan dari Mas Raka kepadaku."Tapi Pak, apakah ini tidak terlalu mendadak? Ibu juga belum tau soal ini, aku takut kedatangan Bapak dan keluarga, malah akan menjadi gunjingan para tetangga, mengingat saya yang masih belum selesai masa Iddah." Aku mencoba untuk menjelaskan ini kepada mereka, agar tidak salah paham dengan penolakanku."Kami mengerti maksudmu dan apa yang saat ini sedang kamu risaukan, kedatangan kami bukan untuk melamar, hanya silaturrah
Aku terkejut dengan pernyataan Pak Attala yang mengatakan jika dia adalah calon suami aku. Dalam sekejap, detak jantungku seperti berhenti sejenak dan rasa panik mulai menyebar ke seluruh tubuh. Kurasakan wajah Mas Raka mulai berubah, dia tampaknya sedang menatap wajahku dengan tatapan penuh amarah. Aku bisa merasakan perubahan suasana di sekitar kami. Namun, entah mengapa aku terpaku dan tidak bisa bergerak. "Mengapa Pak Attala mengatakan itu kepada Mas Raka? Jika yang dikatakannya hanya bercanda saja, lantas apa yang harus aku lakukan sekarang? Apalagi dia ke sini hanya untuk silaturahmi saja," batin ku mulai resah.Entah apa yang dia pikirkan saat ini, tapi aku yakin saat ini dirinya sedang tidak terima dengan pernyataan Pak Attala. "Apa? Calon suami? Hahaha ..., jangan membual kamu!" seru Mas Raka yang menolak dengan pernyataan dari Pak Attala. Namun aku bisa merasakan betapa hatinya juga terluka."Aku tidak membual, aku memang calon suami Rania," ujar Pak Attala dengan perca
Mas Raka menatapku dengan sorot mata tajam, wajahnya seolah memanas saat menerima mahar yang aku berikan kepadanya untuk membayar ganti rugi atas rumah yang kuhancurkan saat itu.Ada rasa tak percaya dalam pandangannya saat melihat wajahku yang memperlihatkan penyesalan, serta benda satu-satunya yang tersisa dari kenangan pernikahan kami kini harus kukembalikan."Kau benar-benar keterlaluan, ini adalah mahar yang aku berikan dulu waktu aku menikah denganmu," ucap Mas Raka dengan nada marah.Aku mencoba menenangkan diri, sambil berkata dalam hati, "Kau memang berhak marah, karena aku tidak punya pilihan lain selain aku memberikan ini . Tapi, apa boleh buat, aku harus bertanggung jawab atas perbuatanku, karena kau sudah menuntut diriku untuk melunasinya," gumamku dalam hati."Iya, itu memang benar mahar yang kamu berikan untuk diriku, saat kita menikah, Mas. Tapi sebaiknya memang aku kembalikan lagi kepadamu. Aku anggap ini sebagai pembayaran cicilanku," balasku dengan nada tegas.Aku
Aku benar-benar dikejutkan oleh berbagai kejadian dalam hidupku, terutama setelah apa yang baru saja aku lalui. Melihat Mas Raka menikah dengan sahabatku sendiri, benar-benar menusuk hatiku hingga berdarah dan sulit aku lupakan kejadian menyakitkan itu. Tak hanya itu, bangunan yang kubangun dengan jerih payahku pun diatas namakan dengan nama mantan ibu mertuaku. Betapa tersiksa perasaanku saat itu. "Apakah aku layak mendapatkan ini semua? Setelah pengorbanan yang aku berikan kepada keluarga mereka? Bahkan semua hasil jerih payahku sudah terkuras habis oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu." Tanya hatiku dalam isak. Kejadian demi kejadian buruk seperti bergulir, meninggalkan luka di hati yang sulit kubendung. Akan tetapi, ketidakadilan masih terus berlanjut. Mas Raka menuntut ganti rugi atas rumah yang kuhancurkan, dan bahkan sekarang, dia memfitnahku dengan menyebarkan berita viral yang mencemarkan nama baikku. "Cukup sudah! Kenapa dia begitu kejam terhadapku? Apa lagi
Aku merasa sangat terkejut saat menyadari Pak Attala berada di kamarku dan menyaksikan perlakuan Mas Raka terhadap diriku.Hatiku hancur, malu, dan terpukul oleh situasi yang terjadi."Kenapa Mas Raka tega melakukan ini kepadaku? Mengapa harus aku yang mengalami ini?" desis hatiku pilu.Namun, ada rasa bersyukur yang timbul ketika Pak Attala datang tepat waktu, seakan ingin melindungiku dari tindakan bejat yang hendak dilakukan oleh Mas Raka saat itu kepadaku."Alhamdulillah ya Allah, Engkau sudah melindungimu dengan mengirimkan Pak Attala datang ke sini tepat waktu. Aku harus kuat, agar bisa memberikan pelajaran untuk Mas Raka atas apa yang dia lakukan kepadaku," batinku dengan tekad yang bulat.Sementara Pak Attala dengan penuh amarah melayangkan pukulan demi pukulan ke arah tubuh dan wajah Mas Raka, aku berusaha bangkit dan menghindar dari dua lelaki yang saat itu tengah terlibat konflik keras.Dalam sekejap, rasa takut dan trauma bercampur aduk dalam dadaku, menyesakkan napasku.S