Pandangan teduh Pak Attala begitu intens menghujamku, membuat hatiku berdebar kencang dan tak bisa menahan rasa malu serta canggung.'Kenapa dia memandangi aku seperti ini?' gumamku dalam hati, kemudian dengan segera mengalihkan pandanganku ke arah lain.Kebetulan di sampingku terdapat sebuah kemeja berwarna biru muda yang warnanya sama dengan gaun panjang yang tengah kupakai.Seolah ingin mengalihkan pembicaraan, aku berkata, "Kemeja ini cocok untuk Bapak."Aku segera memberikan kemeja tersebut yang masih tertempel pada hanger ke Pak Attala.Senyum Pak Attala muncul lembut di bibirnya, seakan dia ingin menyampaikan sesuatu padaku."Seleramu bagus, Ran. Kenapa aku tidak kepikiran untuk memilih kemeja yang senada dengan baju yang kamu pakai? Terima kasih, karena sudah memilihkan kemeja ini untukku, tunggu di sini, aku mau ganti kemejaku," ucap Pak Attala lalu menyerahkan paper bag miliknya padaku.Aku merasa terkejut dan sekaligus terheran-heran, mengingat saat itu aku sama sekali tida
Aku terkejut saat mendengar apa yang dikatakan oleh mama Pak Attala saat ini, seolah-olah jantungku mau copot setelah mendengar pernyataan itu."Iya, Ran. Maaf, jika ini membuat dirimu terkejut, tapi sebenarnya kami ingin membuat sebuah kejutan untuk dirimu," sahut Pak Attala dengan nada santainya.Aku hanya mematung dan tak tau lagi apa yang harus aku jawab. Sungguh, aku belum siap jika keluarga Pak Attala datang ke rumahku untuk bertemu dengan ibuku.Bukan hanya itu saja, aku takut akan gunjingan dari tetangga yang akan membenarkan fitnahan dari Mas Raka kepadaku."Tapi Pak, apakah ini tidak terlalu mendadak? Ibu juga belum tau soal ini, aku takut kedatangan Bapak dan keluarga, malah akan menjadi gunjingan para tetangga, mengingat saya yang masih belum selesai masa Iddah." Aku mencoba untuk menjelaskan ini kepada mereka, agar tidak salah paham dengan penolakanku."Kami mengerti maksudmu dan apa yang saat ini sedang kamu risaukan, kedatangan kami bukan untuk melamar, hanya silaturrah
Aku terkejut dengan pernyataan Pak Attala yang mengatakan jika dia adalah calon suami aku. Dalam sekejap, detak jantungku seperti berhenti sejenak dan rasa panik mulai menyebar ke seluruh tubuh. Kurasakan wajah Mas Raka mulai berubah, dia tampaknya sedang menatap wajahku dengan tatapan penuh amarah. Aku bisa merasakan perubahan suasana di sekitar kami. Namun, entah mengapa aku terpaku dan tidak bisa bergerak. "Mengapa Pak Attala mengatakan itu kepada Mas Raka? Jika yang dikatakannya hanya bercanda saja, lantas apa yang harus aku lakukan sekarang? Apalagi dia ke sini hanya untuk silaturahmi saja," batin ku mulai resah.Entah apa yang dia pikirkan saat ini, tapi aku yakin saat ini dirinya sedang tidak terima dengan pernyataan Pak Attala. "Apa? Calon suami? Hahaha ..., jangan membual kamu!" seru Mas Raka yang menolak dengan pernyataan dari Pak Attala. Namun aku bisa merasakan betapa hatinya juga terluka."Aku tidak membual, aku memang calon suami Rania," ujar Pak Attala dengan perca
Mas Raka menatapku dengan sorot mata tajam, wajahnya seolah memanas saat menerima mahar yang aku berikan kepadanya untuk membayar ganti rugi atas rumah yang kuhancurkan saat itu.Ada rasa tak percaya dalam pandangannya saat melihat wajahku yang memperlihatkan penyesalan, serta benda satu-satunya yang tersisa dari kenangan pernikahan kami kini harus kukembalikan."Kau benar-benar keterlaluan, ini adalah mahar yang aku berikan dulu waktu aku menikah denganmu," ucap Mas Raka dengan nada marah.Aku mencoba menenangkan diri, sambil berkata dalam hati, "Kau memang berhak marah, karena aku tidak punya pilihan lain selain aku memberikan ini . Tapi, apa boleh buat, aku harus bertanggung jawab atas perbuatanku, karena kau sudah menuntut diriku untuk melunasinya," gumamku dalam hati."Iya, itu memang benar mahar yang kamu berikan untuk diriku, saat kita menikah, Mas. Tapi sebaiknya memang aku kembalikan lagi kepadamu. Aku anggap ini sebagai pembayaran cicilanku," balasku dengan nada tegas.Aku
Aku benar-benar dikejutkan oleh berbagai kejadian dalam hidupku, terutama setelah apa yang baru saja aku lalui. Melihat Mas Raka menikah dengan sahabatku sendiri, benar-benar menusuk hatiku hingga berdarah dan sulit aku lupakan kejadian menyakitkan itu. Tak hanya itu, bangunan yang kubangun dengan jerih payahku pun diatas namakan dengan nama mantan ibu mertuaku. Betapa tersiksa perasaanku saat itu. "Apakah aku layak mendapatkan ini semua? Setelah pengorbanan yang aku berikan kepada keluarga mereka? Bahkan semua hasil jerih payahku sudah terkuras habis oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu." Tanya hatiku dalam isak. Kejadian demi kejadian buruk seperti bergulir, meninggalkan luka di hati yang sulit kubendung. Akan tetapi, ketidakadilan masih terus berlanjut. Mas Raka menuntut ganti rugi atas rumah yang kuhancurkan, dan bahkan sekarang, dia memfitnahku dengan menyebarkan berita viral yang mencemarkan nama baikku. "Cukup sudah! Kenapa dia begitu kejam terhadapku? Apa lagi
Aku merasa sangat terkejut saat menyadari Pak Attala berada di kamarku dan menyaksikan perlakuan Mas Raka terhadap diriku.Hatiku hancur, malu, dan terpukul oleh situasi yang terjadi."Kenapa Mas Raka tega melakukan ini kepadaku? Mengapa harus aku yang mengalami ini?" desis hatiku pilu.Namun, ada rasa bersyukur yang timbul ketika Pak Attala datang tepat waktu, seakan ingin melindungiku dari tindakan bejat yang hendak dilakukan oleh Mas Raka saat itu kepadaku."Alhamdulillah ya Allah, Engkau sudah melindungimu dengan mengirimkan Pak Attala datang ke sini tepat waktu. Aku harus kuat, agar bisa memberikan pelajaran untuk Mas Raka atas apa yang dia lakukan kepadaku," batinku dengan tekad yang bulat.Sementara Pak Attala dengan penuh amarah melayangkan pukulan demi pukulan ke arah tubuh dan wajah Mas Raka, aku berusaha bangkit dan menghindar dari dua lelaki yang saat itu tengah terlibat konflik keras.Dalam sekejap, rasa takut dan trauma bercampur aduk dalam dadaku, menyesakkan napasku.S
Aku melihat mantan ibu mertuaku dan Kalea, histeris, ketika polisi akan segera membawa Mas Raka pergi dari rumahku.Kemarahan tersirat tegas di wajah ibu Mas Raka. Adegan di hadapanku terasa begitu nyata, membuatku tersenyum puas, menyaksikan bagaimana Mas Raka dipermalukan oleh dirinya sendiri.petugas yang berusaha membawa Mas Raka, tampak dihalangi oleh Kalea dan Ibu Mas Raka saat petugas itu hendak membawanya ke mobil polisiJeritan dan teriakan mereka sungguh menyayat hati, tapi tidak sedikit pun aku merasa bersimpati. Aku menikmati menyaksikan adegan itu, sebagai pembalasan rasa sakit hatiku yang dilakukan oleh Mas Raka kepadaku selema ini."Jangan bawa suami saya, dia tidak bersalah. Ini fitnah! Wanita itu yang mencoba untuk menggoda suami saya," Kalea mencoba menghalangi petugas itu membawa Mas Raka dan menuduhku menggoda suaminya.Aku hanya terdiam dan menyaksikan tangisan mereka yang semakin pilu ketika berusaha melepaskan Mas Raka.Namun, tak lama kemudian, aku pun berjalan
Ketika mendengar ucapan Mas Raka, aku seperti disambar petir. Tubuhku terasa lemas saat dia berlutut di depanku dan mengungkapkan isi hatinya. Seolah-olah seketika semua rasa marah dan sakit hati hilang sejenak. Namun, waktu berhenti sejenak ketika tanpa sadar, Kalea dan ibunya datang dan mendengar ucapan Mas Raka.Aku bisa melihat raut wajah Kalea yang penuh amarah, dia tak terima dengan pengakuan suaminya. Dalam sekejap, dia menghampiri Mas Raka dan memukulinya. Aku tak tahu harus merasa apa, sebagian diriku merasa puas melihat pertengkaran mereka. Namun, sebagian yang lain bingung apakah ini yang sebenarnya aku inginkan. "Apa kamu bilang, Mas? Kau akan menceraikan aku demi wanita ini? Apa kamu sudah tidak waras? Aku sedang mengandung anakmu! Tega kamu, Mas!" Kalea tampak menghardik Mas Raka dan terus memukuli dirinya.Mas Raka hanya diam terdiam, sambil menghalau pukulan Kalea yang ditujukan ke arah wajahnya berkali-kali.Sementara ibu Mas Raka kini menghampiri diriku dan seolah