Share

5. Apa Aku Bermimpi?

Selepas berjalan cukup lama, kami bertiga telah sampai di depan hutan terlarang. Suasana kali ini berbeda dari sebelumnya. Tadinya diriku diselimuti ketakutan saat memasuki hutan ini, sekarang yang kurasakan hanyalah rasa penasaran. Penasaran tentang siapa burung hantu ini, Heka, keberadaan orang tuaku hingga kaitan diriku dengan Negeri Eldoria.

“Apa kau yakin, Evan, ingin ikut bersamaku? Bagaimana dengan ibumu?” tanyaku khawatir.

“Sudahlah, aku sudah berjanji kepadamu akan menemanimu hingga kasus ini selesai. Tidakkah kau penasaran? Selama ini tebakkanku benar, mereka belum meninggal. Akhirnya setelah tiga tahun ini, muncul setitik cahaya yang bisa menuntunmu ke orang tuamu,” jawab Evan antusias.

“Aku tidak tahu harus apa, Evan, satu sisi aku bahagia dan penasaran, tapi aku juga takut untuk terlalu berharap,” ungkapku jujur kepadanya. Kurasakan tepukan pelan di pundakku. Aku mengerti pesannya itu, Aku memang bingung, tapi aku tahu, aku tidak sendirian.

“Tak kusangka, pemberian nama ‘Hutan terlarang’ memang bukan tanpa sebab. Apa kita bisa kembali, Gio? Pohon di sini sangat menyeramkan,” tuturnya lagi.

“Tenanglah, aku berhasil keluar tadi, tapi aku tidak ingat pohon di sini begitu rimbun, akar yang menggantung di sini juga sangat sulit untuk dilewati. Tidak mungkin untuk berlarian di sini, ” ujarku penasaran.

“Sudah kubilang, kau mendapatkan peran sebagai Orfeo, kau telah dituntut Sang Dewa. Selama kalian mengikuti aturanku, kalian akan aman,” jelas Burung Hantu misterius itu.

Sebenarnya, aku tidak terlalu percaya dengan apa yang terjadi hari ini, semua begitu cepat membuatku tak bisa berpikir dengan matang. Jadi, yang aku lakukan hanya percaya pada sosok yang mengaku Dewa ini.

“Orfeo? “ Kebingungan terpatri di wajah Evan.

“Tentang pelanggan yang kuceritakan tadi, ia menyebutkan tentang ‘Orfeo ed Euridice’,” jelasku.

“Christoph Willibald?” tebak Evan.

“Ya, dia menyebut dirinya Dewa dan membuatku berperan sebagai Orfeo. Entah bagaimana mereka bersekongkol untuk memaksaku melakukannya,” tegasku sambil memandang sinis Burung Hantu.

“Jika kau sebagai Orfeo dan Burung Hantu sebagai Dewa, maka siapa sutradara yang mengatur ini semua?” cecar Evan kembali.

Benar juga, siapa yang membuatku melakukan ini? Kenapa setelah tiga tahun kematian orang tuaku?

“Aku akan menjelaskan semua setelah kita sampai di Eldoria, ayo cepatlah! Matahari mulai tenggelam,” titah Burung Hantu.

Kami terus masuk menembus hutan. Kupegang erat permata merah yang menjadi liontin kalung ibu. Perhiasan itu sekarang bertengger indah di leherku, berharap bahwa pilihanku untuk mempercayai Burung Hantu ini tidaklah salah. Cukup jauh jarak yang kami tempuh hingga sampai ke bagian dalam hutan. Di sana kami melihat batu besar, di hadapan batu itu Burung Hantu memerintahkan aku dan Evan untuk berhenti.

“Baik semua, jadi ini adalah gerbang magis menuju Eldoria, kalian hanya perlu berjalan lurus, masuk menuju batu itu setelahku,” jelas Burung Hantu kepada kami.

Setelah menatap penuh telisik, Evan kemudian mencoba untuk berjalan lurus ke arah batu tersebut. Namun, yang ia dapati hanyalah rasa sakit sebab yang ia lakukan hanyalah menabrakan diri ke batu itu.

“Bagaimana mungkin berjalan menuju batu? Kau tidak lihat ini adalah batu yang keras! Seharusnya kita tidak mempercayai makhluk aneh ini Gio,” protes Evan sambil menggosok dahinya yang memerah terkena batu.

Aku yang kasihan melihat dahi Evan yang memerah juga melontarkan protes pada Burung Hantu itu, “Kau jangan mempermainkan kami! Batu ini keras, bagaimana mungkin bisa untuk ditembus?”

“Aku bilang setelahku!” ucap Burung Hantu kesal.

Kemudian, Burung Hantu itu mulai mengepakkan sayapnya, terbang mengitari batu itu beberapa kali lalu masuk menembus ke dalam batu, aku dan Evan hanya terpaku melihat kejadian itu. Meskipun sedari awal dia memang dipenuhi dengan hal-hal magis yang tak bisa diterima akal sehat, kami tetap saja terkejut, ini adalah hal baru bagi kami.

Evan memberanikan diri mencoba kembali untuk masuk ke dalam batu itu. Ajaib, tangannya berhasil masuk. Ia memandang ka arahku, kuanggukkan kepala untuk melunturkan keraguannya. Evan mulai melangkah masuk ke dalam batu dengan mudahnya. Selanjutkan giliranku, kugelengkan kepala sejenak untuk mengusir pikiran jahat yang menggerogoti nyaliku, segera aku melompat ke arah batu itu sambil menutup mata. Benar-benar ajaib, aku berhasil menembusnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status