Share

6. Dunia Ajaib

“Hampir saja aku tertidur menunggumu di sini.” Kudengar suara Burung Hantu itu menggerutu.

Begitu kubuka mataku, bisa kulihat Evan berlarian kesana-kemari, matanya berbinar penuh kagum, kuarahkan pandanganku ke arah Evan menatap tak berkedip. Satu pertanyaan yang langsung muncul di pikiranku yaitu, tempat apa ini?

“Hei, lihatlah, Gio! Bintang di sini sungguh indah, bagaimana bisa ada begitu banyak warna? Mereka seperti melayang, apa ini bintang? Ataukah kunang-kunang?” ujar Evan dengan bersemangat.

“Kurasa tidak keduanya,” timpalku kepada Gio. Benda aneh yang bertebangan ini terlalu besar untuk ukuran kunang-kunang, serta tempatnya yang terlalu rendah untuk ukuran bintang, jika ada kastil Kerajaan Cosvan, aku yakin bisa meraihnya dari puncak kastil.

“Benar, mereka adalah peri yang menjaga hutan ini. Omong-omong, selamat datang di Eldoria,” lontar Burung Hantu, “lebih tepatnya, di Hutan Dendron, pohon di sini begitu besar sehingga menghalau cahaya matahari. Jadi, jangan heran jika banyak makhluk yang bersinar di sini,” urai Burung Hantu tersebut lebih jelas.

“Wahhh, apakah kita benar-benar berada di dunia ajaib? Benarkah peri-peri itu sangat cantik seperti yang digambarkan dalam dongeng? Aku tidak sabar untuk membawa pulang salah satunya.” Tidak heran, Evan mendapatkan satu pukulan keras dari Burung Hantu akibat keinginan bodohnya itu.

PLAKK

“Awww, kenapa kau memukulku!” pekik Evan sambil mengelus kepalanya.

“Jangan sembarangan kau ya! Aku tidak segan-segan memukulmu lagi jika kau tak sopan!” omel Burung Hantu.

Aku yang melihat mereka bertengkar hanya bisa terbahak. Sifat konyol Evan disandingkan dengan sifat pemarah Burung Hantu, sepertinya tidak akan pernah membuatku bosan.

Tak lama, terlihat salah satu cahaya tersebut turun mendekati kami, kemudian terlihat samar bayangan makhluk misterius yang menjadi sumber cahaya tersebut. Makhluk ini tampak jauh lebih besar dari gambaran peri yang ada di dongeng, lambat laun wujud aslinya tampak jelas tanpa terhalang cahaya

“Hey, kemana peri cantik yang selama ini diceritakan?” protes Evan, “apa perinya dimakan oleh kadal gendut ini?” lanjutnya terus mencerca.

PLAKK

“Aww, kenapa kau ikut memukulku, Gio? “ protes Evan lagi, memang benar aku yang memukulnya, sebab kali ini ia sudah kelewatan. Bagaimana bisa ia mengolok makhluk lucu ini? Memang, bentuknya seperti kadal, tetapi tidak ada sisik atau kulit kasar di tubuhnya, serta ukurannya sebesar anjing samoyed dengan sinar biru yang memancar dari tubuhnya. Matanya yang bulat menambah gemas makhluk ini.

“Setelah ini aku akan membakar karangan dari dongeng murahanmu itu, otakmu sudah rusak karenanya,” ucapku mengancam.

“Nyaaa, nyaa.” Terdengar suara yang mengintrupsi perdebatan kami, ternyata sumber suaranya dari makhluk lucu tadi.

“Dia adalah Kiyo, salah satu peri di sini. Jika kau menyakitinya, akan kupastikan kau tidak bisa kembali ke asalmu, Evan!” sungut Burung Hantu penuh emosi.

“Waduhh, jangan begitulah, aku minta maaf, yang aku tahu hanya gambaran peri seperti di dongeng, aku tidak menyangka wujud aslinya seperti ini,” ungkap Evan menyesal.

“Hmmmm. Baiklah semua, kita akan memulai perjalanan ke tempat tinggalku, Kiyo, akan menuntun jalan kita ke sana,” tegas Burung Hantu kesal.

Perjalanan kami kali ini sangat sunyi dan sedikit canggung. Aku dan Evan sibuk memandang sekeliling yang tampak asing bagi kami. Berkali-kali pula aku memarahinya karena bersikap tidak sopan di tempat yang baru saja kami pijak.

“Hey Burung Hantu, jika batu, hewan, hingga tumbuhan di sini rata-rata memancarkan sinar, mengapa kau tidak?” tanya Evan tiba-tiba.

“Ya, benar, kau bilang akan menceritakan semua saat sampai di sini. Apa pria tua sebelumnya adalah tuanmu? Kemana perginya naga yang menyeramkan tadi?” cecarku pula kepadanya.

“Aww, tidakkah kau melihat kilau indah dari mataku ini, Evan?” ejek Burung Hantu sembari membesarkan kedua matanya.

“Hey, jangan bercanda, aku sedang serius,” tutur Evan dengan kesal.

“Aww, kau bisa serius juga ternyata,” lanjut burung hantu itu mengejek Evan.

“Kami sudah minta maaf, kenapa kau masih kesal saja?” ucapku terbawa suasana.

“Baiklah, ayo kita ke rumahku dulu, apa kau tidak lelah apabila berjalan sambil terus mengoceh seperti itu?” pungkas Burung Hantu.

Kami terus menjelajah hutan hingga kaki kami tidak lagi menginjak tanah, melainkan kini langkah-langkah kami tertimbun oleh rumput yang tinggi. Kami berhenti, terlihat sebuah gua yang terletak di atas bukit, mungkin itu adalah rumah burung hantu. Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang hingga menaiki bebatuan terjal, tibalah kami di bibir gua. Burung Hantu langsung mempersilahkan kami masuk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status