Desa ini dipenuh sorak sorai dan tawa riang penduduknya. Cahaya obor dan susunan kristal memancar di penjuru desa, menciptakan suasana hangat. Pesta penyambutan Willow ini sangat mendadak, tapi tetap saja meriah. Aku berusaha berbaur dengan yang lain, mencoba menyelaraskan langkah kaki dengan irama musik yang memenuhi udara. Makanan lezat tersaji di meja, minuman juga melimpah ruah layaknya sungai. Namun, beban berat rasanya masih menghantuiku. Dari bangku ini bisa kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru Desa Shapeshifter. Pesta ini seharusnya menjadi saat-saat gembira, tapi hatiku terasa terbebani oleh rancana gelap yang sedang kucoba sembunyikan di balik senyuman palsu ini. Bisa kulihat Willow sedang menari bersama kedua kakaknya, terlihat sangat bahagia. Bagaimana ia bisa sesantai ini sebelum mengirimkan bencana ke klannya sendiri. Apakah itu semua juga palsu seperti yang sedang kulakukan? Kurasakan tarikan kecil di belakang bajuku. Terlihat beberapa anak mani
Aku berjalan melewati tubuh Atlas yang tak berdaya, di baliknya terlihat Kiyo yang memang sudah terkulai lemas di pangkuan Evan. Luka goresan kecil menghiasi tubuh Kiyo, sepertinya itu hanya luka akibat terlempar tadi, untung saja Atlas benar-benar tidak melakukan hal keji terhadap Kiyo, kelumpuhannya sepertinya diakibatkan oleh air dari sungai perak, berarti itu akan memakan 24 jam untuk Kiyo segera pulih. “Ayo bangunlah, peri jelek!! Kita tak ada waktu untuk bersantai, lagipula siapa yang mau menggendongmu, perjalanan kita masih panjang.” Meski cercaan tak henti-hentinya keluar dari mulut Evan, raut wajahnya tak bisa menyembunyikan kesedihan dan kepanikannya. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada yang bisa menenangkan Evan selain hal yang diinginkannya terkabul. Masalahnya, kita tidak punya cukup waktu jika harus menunggu kepulihan Kiyo.Di sisi lain keheningan justru mengelilingi Willow, ia hanya menatap Kiyo sejenak sebelum beranjak pergi. Ekspresi itu, ekspresi datar yang terlih
Suara terompet dan parade memenuhi seisi kota hari ini, padahal masih dua pekan sebelum pertunangan Sang Pangeran. Dengan malas kubuka mata dan kupaksakan tubuhku untuk bangun. Setelah mengumpulkan nyawa sesaat, aku bergegas mandi lalu menyiapkan sikat, lap kain, serta semir sepatuku ke dalam kotak tua yang kugunakan untuk berkeliling mencari pelanggan. Diriku masih tak bisa lepas dari bayang-bayang orang tuaku. Melihat kotak semir ini saja mampu mengingatkanku pada memori bersama mereka. Memori-memori hangat, seperti saat kami bertiga menjadi tim yang baik dalam urusan membuat alas kaki yang apik. Ayah sangat rapi dan teliti dalam mengerjakan sepatu-sepatunya, aku hanya membantu sedikit dengan memberi semir dan mengelapnya. Sedangkan ibu, ia yang menjadi bos kami yang baik, yang memberi semangat dan sepiring biskuit buatannya yang lezat.Sayangnya, semakin kuingat, semakin sesak pula dada ini. Aku masih lari, belum bisa menerima semuanya. Karena itu, aku berakhir di sini. Derasnya s
“HEI NAK, JANGAN KABUR!” Tidak kuhiraukan teriakan pria tua itu yang masih terdengar di belakangku. Gawat, semua orang di jalanan menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kutafsirkan. Namun, yang pasti itu bukanlah pandangan baik, tebakku mereka mengira aku adalah pencuri yang tertangkap basah, sehingga pria kaya mengejarku tanpa henti. Namun, tidak kupedulikan semua pikiran mereka, aku hanya peduli dengan keselamatanku kali ini.“Gawat, gawat, gawat, bagaimana ini? Tidak mungkin aku kembali pulang, mereka akan mengetahui tempat tinggalku,” keluhku sambil berlari.Tinggal dua persimpangan lagi sebelum toko Bibi Mia dan rumahku. Tidak mungkin aku membiarkan Bibi Mia tahu keadaanku saat ini, sudah cukup aku menyusahkannya. Namun, kemana harus kulangkahkan kaki ini? “AAACKKK, kurang ajar!!” teriakku emosi. Dengan segenap amarah, aku berbelok entah kemana menjauhi tempat tinggalku. Bisa Kudengar suara kereta kuda itu terus mengejar. Aku tetap berlari menembus padatnya lalu lalang manus
Dengan napas terengah aku terus berlari menerobos masuk ke kerumunan orang yang ada di jalanan kota. Langit biru yang begitu cerah di atas kepalaku sangat kontras dengan bayangan makhluk mengerikan yang ada di belakangku. Aku berusaha membaur di tengah lautan manusia, mataku terus memantau jalanan di belakangku, mencari tanda-tanda kehadiran naga itu.Tunggu sebentar.... Jika naga itu mengejarku, tidak mungkin kerumunan ini masih bisa tenang menikmati hiburan di jalanan. Jika mereka melihat seekor naga, suasana tentu akan berubah. Suasana yang meriah pasti akan menjadi mencekam dengan kekacauan yang meluas. Sebaliknya, acara persiapan pertunangan ini masih berjalan dengan lancar.Kuhentikan kakiku yang mulai pegal setelah berlarian kesana-kemari, untuk sementara aku bisa menarik napas lega, sepertinya naga itu tidak sampai mengejarku hingga ke kota. Aku tersenyum, merasa beruntung bisa kabur dari naga sekaligus keluar dari hutan terlarang itu.Kejadian hari ini sudah cukup sial bagiku
“Selain menjadi penyemir sepatu, apakah kau juga seorang atlet lari, Gio?” gerutu Burung Hantu itu sambil beralih terbang mendekati kami. Sontak aku dan Evan berteriak dan merapatkan tubuh kami ke tembok, berusaha menjaga jarak dengan makhluk aneh ini.“Hey hey berhentilah berteriak, apakah kau tidak mau mencoba mendengarkanku dulu?” protesnya, “aku sudah lelah mengejarmu, berilah aku kesempatan untuk bicara!” bentaknya kesal. Aku dan Evan masih ketakutan, bisa kulihat tubuh Evan bergetar hebat. Setelah meneguk ludahku, aku mulai memberanikan diri untuk mendekat ke arah burung hantu.“Apa....apa itu pelangganmu Gio? Bagaimana dia bisa bicara? Apakah dia anggota kerajaan?” Evan bertanya sembari jemarinya mencengkram tanganku dengan kuat. Dia ketakutan. Tidak bisa dipungkiri, aku juga merasakan hal yang sama.Kugelengkan pelan kepalaku sebagai jawaban untuknya. Aku tidak tau siapa makhluk aneh ini sebenarnya. Ada kemungkinan ketiga sosok yang mengejarku ini bersekongkol, atau bisa jadi i
Selepas berjalan cukup lama, kami bertiga telah sampai di depan hutan terlarang. Suasana kali ini berbeda dari sebelumnya. Tadinya diriku diselimuti ketakutan saat memasuki hutan ini, sekarang yang kurasakan hanyalah rasa penasaran. Penasaran tentang siapa burung hantu ini, Heka, keberadaan orang tuaku hingga kaitan diriku dengan Negeri Eldoria. “Apa kau yakin, Evan, ingin ikut bersamaku? Bagaimana dengan ibumu?” tanyaku khawatir. “Sudahlah, aku sudah berjanji kepadamu akan menemanimu hingga kasus ini selesai. Tidakkah kau penasaran? Selama ini tebakkanku benar, mereka belum meninggal. Akhirnya setelah tiga tahun ini, muncul setitik cahaya yang bisa menuntunmu ke orang tuamu,” jawab Evan antusias. “Aku tidak tahu harus apa, Evan, satu sisi aku bahagia dan penasaran, tapi aku juga takut untuk terlalu berharap,” ungkapku jujur kepadanya. Kurasakan tepukan pelan di pundakku. Aku mengerti pesannya itu, Aku memang bingung, tapi aku tahu, aku tidak sendirian. “Tak kusangka, pemberian nam
“Hampir saja aku tertidur menunggumu di sini.” Kudengar suara Burung Hantu itu menggerutu.Begitu kubuka mataku, bisa kulihat Evan berlarian kesana-kemari, matanya berbinar penuh kagum, kuarahkan pandanganku ke arah Evan menatap tak berkedip. Satu pertanyaan yang langsung muncul di pikiranku yaitu, tempat apa ini? “Hei, lihatlah, Gio! Bintang di sini sungguh indah, bagaimana bisa ada begitu banyak warna? Mereka seperti melayang, apa ini bintang? Ataukah kunang-kunang?” ujar Evan dengan bersemangat.“Kurasa tidak keduanya,” timpalku kepada Gio. Benda aneh yang bertebangan ini terlalu besar untuk ukuran kunang-kunang, serta tempatnya yang terlalu rendah untuk ukuran bintang, jika ada kastil Kerajaan Cosvan, aku yakin bisa meraihnya dari puncak kastil. “Benar, mereka adalah peri yang menjaga hutan ini. Omong-omong, selamat datang di Eldoria,” lontar Burung Hantu, “lebih tepatnya, di Hutan Dendron, pohon di sini begitu besar sehingga menghalau cahaya matahari. Jadi, jangan heran jika ban