Share

2. Hutan Terlarang

“HEI NAK, JANGAN KABUR!” Tidak kuhiraukan teriakan pria tua itu yang masih terdengar di belakangku.

Gawat, semua orang di jalanan menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kutafsirkan. Namun, yang pasti itu bukanlah pandangan baik, tebakku mereka mengira aku adalah pencuri yang tertangkap basah, sehingga pria kaya mengejarku tanpa henti. Namun, tidak kupedulikan semua pikiran mereka, aku hanya peduli dengan keselamatanku kali ini.

“Gawat, gawat, gawat, bagaimana ini? Tidak mungkin aku kembali pulang, mereka akan mengetahui tempat tinggalku,” keluhku sambil berlari.

Tinggal dua persimpangan lagi sebelum toko Bibi Mia dan rumahku. Tidak mungkin aku membiarkan Bibi Mia tahu keadaanku saat ini, sudah cukup aku menyusahkannya. Namun, kemana harus kulangkahkan kaki ini?

“AAACKKK, kurang ajar!!” teriakku emosi. Dengan segenap amarah, aku berbelok entah kemana menjauhi tempat tinggalku. Bisa Kudengar suara kereta kuda itu terus mengejar. Aku tetap berlari menembus padatnya lalu lalang manusia. Riuhnya jalanan hari ini menjadi penyelamatku, keberadaanku sulit terlihat di sini.

Terlalu takut dan kalut, aku sampai tidak memperhatikan arahku berlari. Cukup naas bagiku, sebab aku berlari ke arah pinggiran kota dimana hutan terlarang berada.

Hutan yang menyimpan begitu banyak misteri, hanya berisi pohon dan tumbuhan besar yang berbentuk aneh, hewan-hewan saja tidak ada yang berani mendekati hutan itu. Banyak rumor menyeramkan tentang hutan terlarang, mulai dari seekor naga, manusia kerdil berwajah tua, hingga keberadaan penyihir yang mendiami hutan itu. Legenda mengatakan, dahulu kala ada beberapa pemuda kota pernah berbondong ke hutan itu untuk menguak misteri tersebut, tapi sayangnya mereka tidak pernah kembali.

Kudengar lagi teriakan pria tua itu di belakangku. Gawat kenapa ia masih mengejarku hingga sejauh ini? Apakah sebesar itu utang kedua orang tuaku, sampai dia tidak mau melepaskanku begitu saja?

Dengan nekat kulangkahkan kaki menembus hutan terlarang. Dalam hati aku hanya berdoa akan keselamatanku, tetapi di sisi lain aku juga pasrah tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Bibi Mia, Evan, terima kasih sudah merawatku selama ini, aku terlalu banyak merepotkan kalian, jadi aku minta maaf jika belum sempat membalasnya. Ayah, ibu, aku rindu sekali dengan kalian, mungkin sebentar lagi kita akan bertemu lagi, banyak hal yang ingin kutanyakan dan kuceritakan pada kalian.

Sambil terus berdoa dan mengucapkan salam perpisahan, aku terus berlari tanpa mau membuka mataku. Aku terlalu takut. Pria tadi sepertinya sudah tidak mengejarku, mungkin nyalinya terlalu ciut untuk memasuki hutan ini atau diriku yang terlampau nekat.

Setelah beberapa saat memasuki hutan terlarang, kudengar suara gemuruh yang kemudian disusul pula suara seekor burung yang terbang di atas kepalaku. Tunggu, suaranya begitu besar dan angin dari kepakan itu terasa menyapu rambutku. Mungkin itu gerombolan burung atau lebih parahnya apakah itu naga yang diceritakan orang-orang? Suara itu semakin dekat, angin yang dihasilkan juga semakin besar. Kuberlari lebih kencang dari sebelumnya dan tetap menutup mata pastinya, tidak peduli jika ada akar atau rintangan yang menganggu lintasanku. Kemudian, langkahku terhenti setelah aku menabrak batu dengan begitu keras hingga tubuhku terjatuh.

Kupegangi kepalaku yang terasa sedikit pusing setelah menabrak batu keras tadi, aku mencoba bangun dan membuka mataku. Gawat, kakiku langsung lemas, keringat panas sebab kelelahan setelah berlari tadi langsung tergantikan dengan keringat dingin, badanku gemetar lalu jatuh kembali menyapa tanah.

Jantungku berdetak dengan tak karuan, saat kusadari aku berhadapan langsung dengan seekor naga. Aku ulangi, SEEKOR NAGA.

Kenyataannya menabrak batu adalah pilihan lebih baik kali ini. Ketakutan melanda seluruh tubuhku, naga itu begitu besar dan menakutkan dengan mata menyala dan napas panas yang memercik. Pikiranku terisi tentang apa yang bisa dilakukan oleh makhluk mitos ini, sepertinya nyawaku terancam oleh kehadiran naga ini.

Saat naga itu mendekat, aku masih tidak bisa menggerakkan tubuhku, mengangkat satu jari saja rasanya mustahil. Aku bisa merasakan napasnya menembus wajahku, rasanya seperti terkena api, panas sekali.

Akan tetapi, di saat yang sama aku juga merasa kagum dan heran. Bagaimana mungkin makhluk sebesar ini ada di dunia? Kehadirannya yang magis dan sosoknya yang begitu legendaris terlihat begitu nyata di hadapanku. Tubuhku menggigil, air mata tak terasa keluar dari mataku. Rasanya seperti berada di saat-saat terakhir dalam hidup.

Selanjutnya, naga itu menjauhkan diri dan diam beberapa saat. Aku memanfaatkan waktu itu untuk menetralkan detak jantungku.

Saat aku merasa lebih tenang dan mencoba untuk kabur, dengan tiba-tiba naga itu mendekat kembali ke arahku. Aku kembali lemas dan berakhir dalam posisi dudukku lagi. Kulihat dengan seksama sosok mitologi di hadapanku itu, kupikir sejauh ini dia tidak melakukan sesuatu yang berbahaya untukku, mungkin jika ada kesempatan aku bisa kabur darinya.

“Apakah kau tidak lelah berlarian terus, Gio?” Naga itu bertanya dengan suaranya yang berat.

“EHH?” Belum reda semua ketakutan di dalam diriku, aku kembali dikejutkan dengan sesuatu yang ada dihadapanku. Bukankan naga itu menyemburkan api? Bagaimana mungkin ia bisa bicara? Dan mengapa ia juga mengenalku?

“Kau bahkan belum menyelesaikan semir sepatumu,” lanjut Sang Naga dengan santainya.

“HAH?” Sepertinya aku akan pingsan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status