Duhh, sungguh pernikahan seorang duda dan janda tak semudah seorang perjaka, banyak yang harus dipertimbangkan, aku tak ingin Sandrina merasa dilema akibat pernikahan ini.Akan tetapi, hati ini berkata lain, seolah menuntut agar segera menghalalkannya, tak dapat dipungkiri, memang diri ini hampir tenggelam dalam rasa sepi.Ya Tuhan, ternyata mengalami masa puber kedua itu sangat mengesankan."Sandrina, mau ga punya mama baru?" tanyaku pada suatu pagi, untung Haura dan ibu belum menampakkan diri."Emang kenapa? bukannya Ina masih punya mama?" tanya gadis itu dengan polosnya."Tapi, Papa sama Mama sudah pisah, Sayang, ga bisa sama-sama lagi."Gadis kecil itu terdiam, aktifitas sarapannya pun terhenti, seketika perasaan bersalah menyeruak, takut jika pertanyaan tadi akan melukai hati gadis kecil itu."Terserah Papa saja tapi ....""Tapi apa, Sayang?" "Ina mau ketemu Mama, sekali saja," ungkapnya memelas.Kutahu ia begitu rindu dengan sosok ibu. Namun, aku tak pernah mengizinkan jika ia
(POV Melta)"Jangan pernah berfikir bahwa aku ini lemah, Sandrina anakku! Aku akan kembali dan mengambilnya darimu!"Kurang aj4r, ternyata ia tak gentar mendengar ancamanku, lelaki itu malah menyeringai menatap wajahku yang rusak "Kamu itu mandul, ga berhak mengasuh seorang anak manapun!" tegasku lagi."Terserah!" Hanya kata itu yang Adnan ucapkan, keterlaluan! Ternyata memancing amarahnya tak semudah memancing seekor ikan di lautan.Padahal, aku sangat berharap ia terluka oleh tajamnya kata-kata ini. Namun, ia tak selemah yang kukira, justru diri ini yang rapuh, tak mampu tangguh dalam menghadapi badai yang menerjang.Terlebih saat ibu tiada, tak ada lagi tempatku berbagi duka, diri ini benar-benar sendiri terpenjara dengan rasa sepi yang begitu menyiksa.Lelaki itu pergi bersama gadisku Sandrina, tidak! Ia milikku dan akan selamanya jadi milikku! Batin ini menjerit-jerit ingin segera lepas dari sangkar besi, dan mengobati luka yang selalu membuatku menderita di penghujung malam.B
(POV MELTA)"Tahanan yang bernama Melta, ada yang ingin berkunjung, mari ikut saya," panggil seorang petugas penjaga lapas yang bertubuh gemuk itu.Pasrah, aku pun mengikuti langkahnya, rupanya Tante Ajeng yang berkunjung hendak membesuk, wanita itulah yang sekarang menjadi sandaranku, ia kerap kali membawaku obat untuk luka bakar ini."Gimana keadaanmu, Melta?" tanya Tante Ajeng menyapa."Baik, Tan, obatnya di bawa?"Ia menganggukkan kepala, sambil menyodorkan satu kantong plastik berisi obat-obatan."Jangan lupa diminum, salepnya juga harus rutin dioleskan," ujarnya mengingatkan.Hampir berbulan-bulan tetapi luka bakar ini masih saja belum pulih sempurna, bahkan sebagian masih mengalirkan cairan dan nanah.Aku sungguh dilema takut jika wajah ini rusak dan membusuk, bagaimana masa depanku? sanggupkah diri ini hidup dengan wajah yang cacat permanen? oh tidak! Bagaimanapun juga aku harus melakukan operasi plastik."Tante, aku pengen operasi plastik, bisakah minta Om Feri untuk menguran
Kekasih Gelap Istriku Ternyata. 30.Sebelum membaca pastikan kamu sudah klik SUBSCRIBE DAN RATE BINTANG LIMA ya.Merajut Bahagia(POV Adnan)Setah sekian purnama kulalui seorang diri, kini Renata hadir mengusir sepi, menghiasi kamar kami yang semula sunyi.Aku telah resmi menikahinya hari ini, di hadapan penghulu juga saksi aku berjanji akan menjaga, mendidik dan menafkahinya sepenuh hati.Wanita yang mengenakan kebaya dan balutan hijab syar'i itu tersenyum menatapku, lalu mencium punggung tangan ini dengan takzim, terakhir aku mengecup keningnya dengan dada yang berdebar.Bagaimana bisa kami menikah tanpa pacaran seperti pasangan kebanyakan, Renata menolak katanya tak ingin terjebak dalam lembah dosa."Pacaran itu dosa, kalau Mas serius segera nikahi aku, kalau engga silakan cari wanita lain yang mau diajak pacaran," ucapnya tempo hari, yang membuat hati ini semakin mengagumi.Ia tak hanya seorang istri shalihah juga seorang ibu yang baik dan pandai mendidik anaknya dalam agama, aku
Setelah sekian lama hati ini kering laksana gurun Sahara, hadirnya Renata seolah air hujan yang sanggup menumbuhkan berbagai macam tumbuhan.Aku tak mampu membalasnya dengan kata-kata, hanya mampu membalas dengan senyuman dan dekapan mesra.Duhh, suasana pengantin baru ini sungguh berbeda."Waah rumahnya bagus banget Kak Adnan, maa syaa Allah," tutur Haura terpukau, ia sudah terbiasa memanggilku kakak sekarang."Rumahnya lebih gede dari yang kemarin ya, Tante," celetuk Sandrina tak kalah riang."Lebih gede juga lebih mewah," timpal ibu sambil memandang takjub istana di depan matanya.Kami memasuki rumah baru ini dengan bismillah, agar para jin dan sejenisnya tak bisa bermalam di dalam sana."Mas, kita harus bacakan surat Al Baqarah ya, agar para penghuni gaib segera pergi meninggalkan rumah ini," ujar Renata membuatku semakin kagum, karena semua yang ia lakukan pasti sesuai dengan Sunnah Nabi."Iya, nanti malam ya Sayang."Wanita berhijab hitam itu nampak tersipu malu mendengar kata s
"Haura kenapa, Bu?" tanya ibu sekali lagi."Dia sudah tak bernyawa, maafkan saya tak bisa menolongnya, saya harap Bapak juga bersabar dan merelakan kepergian istrinya."Dokter wanita itu mengira jika aku suaminya, bukan hanya dokter itu tapi semua orang yang menyaksikan, dibanding ibu akulah yang paling mencemaskan gadis malang itu, aku pula yang mengurus semua proses persalinannya.Tak mungkin ia pergi sebelum mendapat kebahagiaan sejati yang hendak aku limpahkan, sebagai seorang adik ia juga berhak mendapat kebahagiaan dariku sebagai seorang kakak.Oh Haura! Mengapa kau tak bisa bertahan sebentar saja! Aku cukup frustatsi terlebih penyebab semua ini adalah Gian, si pecund*ng itu!"Maksud Ibu anak saya meninggal gitu?" tanya ibu bergetar, sedangkan tubuh ini sudah hilang keseimbangan.Tuhan, mengapa engkau tak bisa memberikan aku kesempatan untuk menebus semua kesalahan si br*ngs*k itu, dia sudah merenggut nyawa satu wanita."Betul, Bu, yang tabah ya, semua ini adalah kehendak Yang M
"Jangan dikeluarkan dulu, Pak, saya akan memberitahukan orang tuanya dulu," ujarku, mereka pun mengangguk.Kuhampiri sepasang suami istri yang sedang berdiri di teras rumahnya itu, sudah nampak kepanikan di wajah mereka."Hei kamu, bawa jenazah siapa kemari?!" tanya ibunya Haura ketus.Aku dan ibu terdiam mempersiapkan jawaban."Ratna! Jenazah siapa yang kamu bawa?" tanya Bapak Haura sekaligus bapakku juga."Itu jenazah ... Haura, dia mengalami pendarahan usai melahirkan dan dokter tak bisa menyelamatkan," ujar ibu"Apaa?! Jangan bercanda kamu ya!" Ibunya Haura mulai histeris."Pak, itu ga mungkin 'kan?!""Kalau kalian ga percaya silakan lihat saja langsung, ini murni kehendak Tuhan, bahkan aku sudah membawanya ke dokter terbaik," jawab Ibu dan mereka terlihat meradang."Kenapa anakku bisa mati?! Apa selama ini kalian menyiksanya?!" tanya ibunya Haura histeris.Orang-orang sekita mulai berkerumun dan banyak melempar tanya, membuat kepalaku pening oleh ocehan mereka yang banyak menduga
"Jangan ngaco kamu, Dati!" bentak ibu tak terima."Anakmu 'kan yang sudah menyebabkan putriku meninggal, jadi kalian harus tanggung jawab, kalau engga aku akan melaporkan masalah ini ke polisi!" teriaknya sambil menyeka ingus dan air mata."Ngelaporin apa lagi? toh anak saya Gian juga lagi dipenjara, dan kamu ga ada bukti sama sekali, kalau mau lapor ya silakan, ga ngaruh ke kehidupan saya dan Adnan!" tegas ibu Ternyata wanita yang berumur senja itu bisa juga berfikir realistis, Bu Dati nampak terbungkam dan melirik suaminya."Ya maksudnya kalian 'kan orang berada seenggaknya kasihlah kami uang untuk biaya tahlilan Haura, gitu lho maksud istriku." Bapak menimpali.Huhh, bilang saja mau duit!"Ya masa cuma buat tahlilan aja harus 1 Milyar, mikir dong, saya bisa laporkan istrimu ke polisi atas kasus pemerasan, mau kamu!" tegas ibu lagi.Sepertinya wanita yang telah melahirkanku itu sangat membenci mantan suaminya, terlihat sekali dari nada suara seolah ada dendam yang membara dalam dad