10 Tahun Kemudian.Hari, tahun dan bulan silih berganti tak terasa kini usia pernikahanku dengan Renata sudah memasuki tahun ke sepuluh, Sandrina telah remaja bahkan pemikirannya hampir sepadan dengan orang dewasa, ia berubah menjadi gadis yang cantik, lembut dan berhijab syar'i seperti ibu tirinya.Renata telah berhasil mendidik anak itu ke jalan yang benar, aku bersyukur memilki dia yang tak pernah mengungkit kekurangan diri ini, ia selalu fokus pada kekurangan dirinya dalam melayani suami.Tak ada anak yang dihasilkan dalam pernikahan kami. Namun, kami dikelilingi oleh empat orang anak sekaligus.Arjuna yang tak lain putranya Haura Rahimahullah, kini telah berusia sepuluh tahun, ia tumbuh menjadi anak yang mandiri dan tidak manja, itu juga berkat didikan dari istriku tercinta.Sedangkan kedua anaknya Syafiq dan Maryam jauh lebih berprestasi dari Sandrina, kini si sulung Syafiq sudah berumur tujuh belas tahun dan sudah menjadi hafiz Qur'an, sedangkan si bungsu Maryam, kini berusia t
"Tapi Papa ga tahu di mana mamamu sekarang." Mendengar jawabanku ia menunduk kecewa."Kamu ga usah khawatir Papa akan cari Mama sampai ketemu ya."Ia mendongkak dan menatapku dengan ceria."Terima kasih, Pa, semoga Mama cepat ketemu ya aku sudah kangen sekali.""Aamiin." Aku menganggukkan kepala, sepertinya kali ini harus menemui Om Feri dan Tante Ajeng, mereka lah orang terdekat Melta, dan sudah pasti tahu keberadaannya di mana.Sore hari lepas pulang dari kantor aku segera meluncur ke alamat rumah Om Feri yang dulu, setelah satpam mempersilakan masuk aku duduk di kursi teras."Cari siapa, Mas?" tanya seorang wanita, dari wajah sepertinya dia Amanda anak kedua Om Feri."Ini Amanda 'kan anaknya Om Feri?" tanyaku sambil menatap wanita itu."Iya betul, ini ... Kak Adnan?" ia bertanya sambil mengingat-ingat."Iya betul, kamu berubah ya sekarang."Ia tersenyum saat mendengar beberapa pujian dari bibirku, kami mengobrol sejenak basa-basi dan menanyakan Om Feri, ia mengatakan jika ayahnya
"Mel, lehermu kenapa itu merah-merah begitu?" tanyaku sambil menatap batang leher Melta dan wajahnya bergantian."Emmm, anu, Mas aku juga ga tahu, gatal lho ini," jawabnya sedikit gelagapan sambil menggaruk-garuk perlahan, dari gestur tubuh dapat kubaca jika yang ia lakukan memang sebuah kedustaan.Tanda merah itu kecil dan sedikit memanjang, untuk orang dewasa dan sudah menikah, tentu semua akan menilai jika tanda itu buatan suaminya.Namun, aku sama sekali tak pernah merasa membuatnya, fikiran buruk tiba-tiba berkecamuk memenuhi isi kepalaku, benarkah tanda merah itu pertanda jika ada lelaki lain yang bisa memuaskan dahaganya?"Coba sini aku lihat," ucapku sambil menyibak rambutnya."Ini digigit serangga kali, Mas, bentar lagi juga ilang." Ia berkilah, menepis pelan tanganku yang hendak menyibak rambutnya yang terurai panjang.Dalam hati ini sudah tertancap benih keraguan, aku menggeser posisi duduk yang semula menghadapnya, mulai menyuapkan nasi goreng buatannya, sarapan favoritku
"Mel, ini noda apaan?!" tanyaku dengan nada tinggi, sehingga wanita yang sedang menghadap cermin itu menoleh seketika."Apaan sih, Mas." Melta bangkit dan menghampiri, lalu melihat noda yang kumaksud.Ia terdiam sejenak, mungkin sedang mempersiapkan jawaban yang tepat untuk berkilah, aku sudah membaca dari raut wajahnya."I-ini ... iler ... iya ilernya Sandrina, tadi sore dia tidur di sini, aku lupa sprei-nya belum dicuci," jawabnya terbata, lalu bibirnya menyeringai dengan terpaksa.Kupandangi wajahnya dalam untuk mencari kebohongan di sana, ya aku temukan itu, temanku Dendi seorang psikolog setidaknya aku sedikit tahu dan bisa membedakan mana yang sedang berbohong dan tidak."Yakin ini iler Sandrina? bukan iler lelaki lain?" tanyaku menohok, Melta nampak menelan ludah sambil mengedipkan kedua bola matanya.Kena kamu! Lihat saja jika kutemukan siapa lelaki itu maka, akan kuhabisi saat itu juga di hadapan wajahnya.Untuk saat ini aku harus bersikap tenang dan berpura-pura mempercayain
Sejak hari itu, aku selalu menelisik wajah Sandrina yang kata Haris sangat mirip dengan Gian, Ya itu memang benar, ucapan Haris memang tak salah.Hidung, bibir juga kening gadis kecil itu persis seperti Gian, sedangkan rambutnya hitam dan lebat mirip ibunya, sementara aku tak satupun anggota tubuhku yang menurun pada gadis itu.Haris bilang, tak ada jejakku di tubuh Sandrina, walaupun ia bercanda tetap saja hatiku teriris rasanya, jika saja dugaan ini benar Sandrina bukan berasal dari benihku maka, takkan kuampuni mereka sampai kapanpun.Dan akan kupastikan jika mereka akan menerima balasan yang lebih menyakitkan dariku, tunggu saja waktunya Melta!"Elo yakin ga nih, jangan sampai lo berprasangka buruk terhadap adik sendiri," ucap Haris sambil menghisap satu batang rokok."Gua waktu itu becanda Adnan," lanjutnya, sepertinya sahabatku ini menyesali candaannya tempo hari.Saat ini aku sedang berada di sebuah cafe bersama Haris, menceritakan semua masalahku padanya, sejak SMA kami bersah
"Ehhhmmm." Aku berdehem sambil melangkah menghampiri, mereka terperanjat melihat kedatanganku yang tiba-tiba, tubuh keduanya terguncang. Namun, beberapa saat kemudian binar wajahnya terlihat biasa saja, ternyata mereka cukup pintar dalam berakting.Sayangnya, posisi mereka berseberangan terhalang oleh meja makan, jika saja mereka kepergok bermesraan mungkin lain lagi ceritanya."Kamu sudah pulang, Mas, kok suara mobilnya ga kedengaran," sapa Melta basa-basi.Kuteguk segelas air minum hingga tandas, lumayan bisa meredakan panas yang terasa membakar di dalam sana."Mobilku mogok," jawabku tanpa menoleh ke wajahnya."Mau makan?" "Aku sudah makan di luar," jawabku masih dengan nada yang sama."Tumben makan di luar.""Dari pada jajan di luar," jawabku sambil menyeringai lalu pergi meninggalkannya yang sedang keheranan.Kubasahi tubuh yang bercampur peluh, guyuran air shower cukup menyejukkan anggota badan ini, bagaimanapun juga aku harus tetap waras dan berfikir jernih untuk menghadapi m
Ya Tuhan, apakah aku salah? ternyata mereka tak melakukan apa-apa, hanya interkasi biasa layaknya seorang adik dan kakak.Kuusap rambut ini dengan gusar, semakin bingung menghadapi keadaan yang terasa berputar-putar, jika mereka ada main di belakang harusnya kesempatan emas ini digunakan untuknya bersenang-senang.Namun, apa itu? Melta malah terbaring di tempat tidur seorang diri, wanita itu sibuk memainkan gawainya, tanpa ada siapapun yang menghampiri apalagi menggauli seperti dugaanku tempo hari.Agghh menyebalkan! Apa yang kulihat ini nyata? ataukah hanya sebuah dusta? otakku tak bisa berfikir jernih kali ini, gegas aku menelpon Haris untuk membicarakan masalah ini.Untungnya pria itu tak pernah menolak, kapanpun ia siap untuk membantu segala kesusahanku, semoga saja ia bisa memecahkan masalah ini.Hampir satu jam akhirnya Haris datang, ia melepas jas yang membalut tubuhnya."Ada apa, Nan?" tanyanya enteng sambil duduk di sampingku."Lo lihat ini." Aku mengalihkan laptop ke hadapa
Lututku terasa lemas, jiwaku bergetar bagaikan dihantam palu godam, kutatap wajah Haris yang memancarkan kesungguhan, ia sedang tak bercanda, ya Tuhan, bagaimana bisa."Dengerin gua Adnan, Susi ternyata dibayar Melta buat jebak elo," ujar Haris lagi membuat bibirku terbungkam seribu bahasa.Pantas saja semua jejaknya tak nampak di kamera pengintai itu, rupanya semua ini akibat ulah Susi, mereka main cantik pertempuran ini tak semudah yang kubayangkan."Adnan, ko elo bengong." Haris mengguncang tubuhku yang memang terasa kaku."Bentar, Lo tau dari mana kalau mereka kerja sama?" tanyaku penasaran, kuurai degup jantung yang semula berpacu hebat.Ia menyeringai sesaat." Tadi sore gua buntuti si Susi terus mereka ketemuan sama bini Lo dan dia ngasih sesuatu, gua sendiri juga lihat dia mencampurkan itu ke beberapa minuman, setelah ini gua yakin Susi bakal pakai seribu cara supaya elo bisa minum minuman buatan dia," pungkas Haris panjang lebar.Tertegun mendengarnya untung saja minuman itu