Share

Bab 6

 

Lututku terasa lemas, jiwaku bergetar bagaikan  dihantam palu godam, kutatap wajah Haris yang memancarkan kesungguhan, ia sedang tak bercanda, ya Tuhan, bagaimana bisa.

 

"Dengerin gua Adnan, Susi ternyata dibayar Melta buat jebak elo," ujar Haris lagi membuat bibirku terbungkam seribu bahasa.

 

Pantas saja semua jejaknya tak nampak di kamera pengintai itu, rupanya semua ini akibat ulah Susi, mereka main cantik pertempuran ini tak semudah yang kubayangkan.

 

"Adnan, ko elo bengong." Haris mengguncang tubuhku yang memang terasa kaku.

 

"Bentar, Lo tau dari mana kalau mereka kerja sama?" tanyaku penasaran, kuurai degup jantung yang semula berpacu hebat.

 

Ia menyeringai sesaat.

 

" Tadi sore gua buntuti si Susi terus mereka ketemuan sama bini Lo dan dia ngasih sesuatu, gua sendiri juga lihat dia mencampurkan itu ke beberapa minuman, setelah ini gua yakin Susi bakal pakai seribu cara supaya elo bisa minum minuman buatan dia," pungkas Haris panjang lebar.

 

Tertegun mendengarnya untung saja minuman itu tak mendarat di lambungku, mereka bukan hanya licik tapi juga picik, bagaimanapun keadaannya aku tak boleh mundur dan menyerah.

 

"Jadi minuman tadi ada obatnya gitu? buat racunin gue?"

 

"Ya, racunin biar lo tidur, entar pas bangun tau-tau Lo udah sekamar sama Susi dalam keadaan tanpa busana, abis itu terjadilah drama, bini lo datang nangis-nangis dan minta pisah dengan alasan elo udah mengkhianati cintanya," jelas Haris yang membuat bibirku bungkam.

 

Mendengar kenyataan itu bagaikan tersambar petir di siang bolong, tak terbayangkan jika rencana mereka berhasil dan malah aku yang menjadi korbannya, Melta meminta cerai lalu bisa tenang hidup bersama Gian.

 

Kini aku mengerti ucapan mereka tempo hari di ruang makan, ternyata rencana seperti ini yang mereka rencanakan, ia menjadikan Susi kambing hitam selepas itu cuci tangan dan mengatakan pada dunia jika ialah yang dikhianati.

 

Selanjutnya Gian datang bagaikan pahlawan kesiangan, mereka bisa menikah dan menari di atas deritaku, sempurna sekali rencananya. Namun, sayang Tuhan tak menghendaki semuanya.

 

"Apa Susi dan Melta tahu kalau elo mengetahui semuanya, Ris?" tanyaku menatap wajahnya.

 

"Engga, Nan, gua mengintai mereka diam-diam, seandainya keadaan memungkinkan pasti udah gua rekam tadi rencana busuk mereka," jawab Haris yang membuat napasku menjadi lega.

 

"Sudahlah, ayo kita balik, inget pesan gue jangan minum apapun di sini kalau ga mau jadi teler." Ia terkekeh, lalu kami keluar dari toilet bersamaan.

 

"Bentar, Ris, gua lupa." Langkah kami terhenti dan ia menoleh.

 

"Apaan lagi sih?" 

 

"Ini kemeja belum gua bersihin." Kami tertawa bersama.

 

"Yasudah lo bersihin sono, gua nungguin di sini takut elo hilap," ujarnya lalu terkekeh.

 

*

 

Pesta yang dihadiri pengusaha kelas atas itu berjalan sempurna dan meriah, sesuai perintah Haris aku tak menyentuh minuman dan makanan apapun yang tersaji di sana.

 

Entah ada beberapa orang pelayan yang datang menghampiri menawarkan berbagai jenis minuman. Akan tetapi semuanya kutolak, dan sebisa mungkin aku menghindar dari perempuan ul*r itu.

 

Untuk menyiasatinya terpakasa aku bergabung dengan  rekan-rekan dari perusahaan lain, sehingga Susi merasa minder untuk bergabung dengan kami.

 

Saat ini Susi terlihat belum juga menyerah, minuman yang telah dicampur sesuatu itu tak pernah lepas dari tangannya, kepalanya berputar celingukan ke kiri dan ke kanan, untuk apa lagi jika bukan mencari mangsanya.

 

Lihatlah, Melta, bahkan Tuhanku tak meridhoi tindakanmu, di dunia ini mungkin hanya dialah yang berbuat hina seperti itu, menjebak suami sendiri dan setelah itu ia akan bersandiwara di hadapan dunia jika dirinya lah yang tersakiti.

 

Membayangkan itu membuat perutku mual seketika.

 

Malam telah larut, untuk mencegah kemungkinan buruk Haris mengajakku ke rumahnya, ia berkata jika istrinya sudah pulang dari rumah sakit dan sedang ada di rumah.

 

"Gua takut Susi dan Melta belum nyerah dan malah nyusul elo ke hotel terus mereka melaksanakan rencananya di sana, ngeri man, mending nginep di rumah gua aja." Begitu katanya.

 

Setelah tiba dan merebahkan diri di kamar tamu rumah Haris, aku membuka gawai dan ternyata banyak sekali panggilan juga pesan-pesan dari Susi.

 

[Pak Haris di mana]

 

[Bapak sudah pulang, aku nebeng ya, takut pulang sendirian]

 

[Bapak tinggal di hotel Raflesia ya, aku ke sana ya ada yang mau diobrolkan, Bapak nginep di kamar nomor berapa]

 

Seperti itu rentetan pesan dari Susi, aku menyeringai melihatnya, tak terbayang saat ini ia pasti kebingungan mencari keberadaanku di mana-mana 

 

*

 

Adzan subuh berkumandang lekas aku bangkit dan menunaikan kewajiban dua rakaat, kuceritakn kerumitan ini padanya yang mengatur kehidupan, dengan berharap ia akan segera memperbaiki semuanya setelah semua kehancuran datang.

 

Rumah tanggaku boleh hancur, tapi hidup dan masa depanku jangan sampai ikutan hancur, justru mereka berdua yang harus hancur membayar rasa sakit yang kurasakan setiap detiknya.

 

Hati ini teramat berharga, hingga Melta dan Gian harus membayarnya dengan mahal, mereka harus merasakan setiap kepiluan yang kurasakan.

 

Ponselku bergetar, pesan dari Fandi--teman kuliah sekaligus dokter yang menangani kesehatanku tempo hari--

 

[Adnan, hasil tes lo udah keluar, ke rumah gua ya, kita bicara di sana]

 

Keningku mengerenyit membacanya, mengapa harus ke rumah? 

 

[Ok, bentar lagi OTW] balasku.

 

Setelah menyantap sarapan aku gegas meluncur menemui Fandi, Haris sempat menawarkan diri untuk mengantarku. Namun, aku menolak karena merasa terlalu banyak merepotkannya.

 

"Ada apa sih, Fand? kok nyuruh ke rumah segala," ucapku, saat ini kami sedang mengobrol di taman belakang rumahnya, suasana terasa asri terlebih keadaan masih pagi 

 

Fandi menyeruput kopinya.

 

"Minum dulu, Nan, biar rilexs," jawabnya, aku pun mengangguk dan menuruti titahnya.

 

"Gua mau sampaikan tes kesehatan yang seminggu lalu lo jalani, ini memang berat tapi gua minta lo harus sabar ya," ucapnya yang membuatku semakin penasaran.

 

"Iya, gua akan legowo nerima hasilnya," jawabku meyakinkan.

 

Entah mengapa wajah Fandi menatapku serius, semakin membuat degup jantung ini berdetak tak karuan.

 

"Gini, Nan, hasil tesnya mengatakan kalau elo ...." Ucapan Fandi tertahan membuat jiwaku semakin penasaran.

 

"Apa katanya? jangan setengah-setengah dong, Fand." Aku dibuat gemas oleh tingkahnya.

 

"Hasilnya mengatakan kalau elo itu mandul, Nan, sperma lo ga bisa membuahi sel telur, sabar ya." Ia menepuk pundaku.

 

Seketika pandanganku menjadi buram lalu mendadak gelap gulita.

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status