Terasa ada yang meledak di dalam dada, tubuhku kaku disertai napas yang sesak, ini merupakan kabar duka untuk kesekian kalinya, cukup meluluh lantakkan hatiku yang sudah terkoyak, kepingan hati yang sudah hancur kini melebur seperti abu.Amarah dalam dada ini membuncah, ingin sekali aku menghantamkan wajah sok polos itu ke tembok hingga berdarah-darah, beraninya ia tersenyum di atas rasa sakit ini.Kupalingkan wajah ke arah jendela sana, menatap lurus ke luar , sempat terpikir untuk menunjukkan hasil tes laboratorium saat ini juga. Namun, bukti ini belum sempurna, aku harus mampu tunjukkan pada dua keluarga jika Mereka berdua memang pengkhianat ulung.Tanpa ada bukti yang akurat keluarga besar Melta pasti akan berkilah untuk membelanya, dan ujungnya malah aku yang bersalah di mata mereka, aku tak ingin hal seperti itu terjadi, semua yang keluar dari mulut ini harus disertai dengan bukti.Pamannya Melta seorang pengacara, ia bukan sekedar paman, tapi pengganti ayahnya yang sudah tiada
Mataku melongo tak percaya, mengingat betul paras wajah lelaki yang kini bersama Melta sekarang, Justin, seorang lelaki yang pernah bersaing denganku di masa lalu saat aku berjuang mendapatkan hati Melta, kini pria itu hadir lagi mengusik rumah tangga kami.Ya Tuhan, kenapa semua ini terasa rumit? apakah Melta dan Justin juga ada main? ah jika tidak mengapa mereka bisa keluar bersamaan dari dalam hotel."Tunggu, Bos, sepertinya itu Bu Melta, dan ... itu bukan Gian 'kan?" tanya Roy, kukira ia sudah tahu siapa pria yang bersama Melta di dalam sana."Emang kamu belum lihat lelaki itu sejak tadi?" tanyaku keheranan."Saya membuntuti Bu Melta masuk sendirian ke kamar itu, mungkin lelakinya sudah menunggu di dalam sejak tadi," ujarnya membuat kepalaku hampir pecah."Itu bukan Gian, dia Justin mantan kekasihnya saat kuliah dulu," tegasku nampak Roy tertegun."Ok, saya akan ikuti mereka ya, tunggu saja kabar selanjutnya."Roy mengenakkan kaca matanya lalu bergegas keluar dari mobil, otakku ta
Gadis berumur sepuluh ttahun lebih itu terbaring di ranjang khusus pasien, di punggung tangannya terpasang jarum suntik menusuk ke dalam uratnya, mengalirkan tetesan-tetesan cairan ke dalam tubuh.Ia sudah tertidur lelap, setelah beberapa kali mengigau memanggil nama Gian dan ibunya, hatiku teriris sembilu mendengarnya, meski begitu tetap kulangitkan doa agar Sandrina segera di sembuhkan.Dua jam aku dan Bi Lela menunggu, rasanya lelah bolak-balik mengurus administrasi, obat dan keperluan lainnya, setelah itu barulah Melta datang seorang diri, wajahnya terpancar gurat khawatir entah itu nyata atau hanya sandiwara.Perempuan yang berdandan serba mewah itu masuk menghampiri putrinya setengah berlari, menghujani dengan ciuman dan ungkapan maaf.Aku mencelos melihat drama itu, ke mana saja ia sejak tadi saat putrinya sedang membutuhkan belaian seorang ibu, aku muak melihat tingkah modusnya."Mas, kok kamu ga ngabarin aku kalau Sandrina di bawa ke rumah sakit?" Ia bertanya sambil berdiri d
"Itu temen aku, Mas, dia mau ngajak shoping, maksa banget dibilangin anakku lagi sakit tetep aja maksa." Melta menyeringai untuk menutupi kebohongannya, aku hafal betul.Masa iya menelpon teman sampai tegang begitu? logikaku menolak."Siapa? coba aku minta nomornya kalau bener, keterlaluan benget temen kamu itu, lebih baik ga usah berteman dengan orang kaya gitu." Ia menolak malah memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu menarik sletingnya dengan rapat."Ga usah, Mas, iya aku akan jauhi dia, ayo kita balik takut Sandrina bangun."Melta menggandeng tanganku hendak masuk kembali ke ruangan Sandrina. Namun, aku tepis seketika, rasanya tanganku gatal jika bersentuhan dengan tubuhnya.Menyadari sikapku yang tak romantis seperti biasanya ia mendelik, lalu berjalan duluan di hadapanku. Mungkin dia marah.Bodo amat!Di dalam kudapati Bi Lela sedang tertidur pulas di samping Sandrina, dengan posisi duduk dan kepalanya yang bertumpu pada ranjang Sandrina."Mas, kita pulang dulu yuk, entar tengah m
"A-apa yang mereka lakukan?" tanyaku "Roy!" "Iya!""Sabar ya, Bos, mereka lakukan itu."Seolah ada badai petir yang menyambar, ponsel terlepas dari genggaman, air mata menggenang lalu luruh laksana air hujan, jantungku berpacu hebat sejalan dengan tubuh yang melemah."Bos, kamu baik-baik aja 'kan?" Terdengar Roy bersuara, apa ia g*l4 mana ada seorang suami yang baik-baik saja, saat mengetahui perselingkuhan istrinya di belakang."Bos!"Dengan tangan bergetar lekas kuraih gawai yang tergeletak di lantai."Iya, Roy, sorry." "Bos ok 'kan?""Ok, kamu tenang aja, lalu ponsel Melta?" tanyaku dengan suara yang masih bergetar."Sudah di tangan, ini aku ke tempat Bos ya, rumah sakit mana?"Kuberikan alamat lengkap rumah sakit ini, telpon terputus karena Roy dan kawan-kawannya hendak menemuiku.Aku melempar ponsel ke ujung sofa tunggu, amarah, kecewa, benci dan juga sedih melebur menjadi satu kompak meluluh lantakkan jiwaku, kepingan hati ini tak tersisa semua hancur jadi abu.Melta, tak ak
Untuk kesekian kalinya hati ini berdenyut nyeri, luka yang kemarin belum pulih kini harus dihantam oleh luka yang lain."Kenapa, Bos?" tanya Roy, keheranan.Aku masih diam sambil memperhatikan setiap pesan-pesan yang masuk ke nomor Melta, semua pesan dari orang yang berinisial J itu merupakan sebuah ancaman.[Datang tepat waktu kalau tidak maka Adnan akan segera melihat vidio-mu]Masih banyak ancaman lainnya yang dilontarkan oleh orang berinisial J itu, kemungkinan ia adalah Justin, tapi Vidio apa yang ia maksud?Entah mengapa jiwa kepoku meronta ingin mengetahui Vidio apa sebenarnya yang ia miliki, sehingga Melta ketakutan dan selalu menuruti setiap keinginnya.[Kirim saja aku ga takut]Terpaksa aku membalas pesan orang itu."Roy, apa kamu bisa bantu aku lagi untuk menyelidiki orang ini?" kuperlihatkan Poto Justin beserta akun medsos juga nomor ponselnya.Pria bertubuh tinggi semampai itu merenung sejenak, laku menganggukan kepala. "Bisa Bos."Roy mengetik sesuatu di ponselnya, enta
Mendengar cucunya sakit ibuku datang jauh-jauh dari kampung untuk menengok, saat melihat cucunya pulang dan telah sehat ia menyambut dengan penuh suka cita, mengucap banyak ucapan syukur.Begitu pula dengan ibunya Melta, kedua keluarga sekarang sudah berkumpul di rumahku karena beberapa hari lagi mereka akan berpesta merayakan hari ulang tahun Melta, yang mana itu merupakan awal dari kehancurannya.Membayangkan hal itu bibirku menyeringai, tak sabar rasanya menantikan hari itu, di mana seluruh keluarga akan dibuat tercengang oleh kelakuan Melta."Mel, nanti acara ulang tahunmu akan digelar di cafe mana? gimana kalau di Bali saja," usul ibu mertuaku, ia memang selalu antusias jika menyangkut kebahagiaan putri satu-satunya.Melta tak menjawab, pandangannya lurus ke depan entah apa yang sedang ia fikirkan, tak berselang lama wanita itu mendadak mual lalu berlari ke arah westafel memuntahkan isi dalam perutnya."Kamu kenapa, Mel?" tanya ibu mertuaku, nampak khawatir."Apa jangan-jangan Me
Sejak pertemuan dengan Roy aku lebih bersikap hati-hati seperti titahnya, tidak makan masakan rumah juga selalu memakai kendaraan umum jika hendak bepergian.Nominal lima puluh juta sudah berpindah ke rekening Roy, upah sekaligus ucapan terima kasih karena telah membantu, aku sangat puas dengan kinerjanya.Hari ini bertepatan dengan ulang tahun Melta, kedua keluarga sudah berkumpul di rumah, di sana juga ada keluarga Om Feri--kakak mendiang ayah Melta--beserta ketiga anaknya, mereka nampak cantik dan tampan, dengan segudang prestasi juga pendidikan yang tinggi.Sedangkan Melta hanyalah anak satu-satunya tanpa saudara, kudengar dari ibu mertua jika adik Melta telah meninggal. Namun, aku tak pernah diberi kesempatan hanya sekedar menatap potonya.Pesta ulang tahun Melta tak semewah biasanya, bahkan tahun yang lalu kami sampai menyewa sebuah villa di kawasan puncak Bogor, mengundang semua teman-teman sosialitanya, tapi sekarang yang nampak bukanlah sebuah pesta hanya berupa kumpulan kelu