Share

Bab 7

 

 

Saat mata ini mengerejap nampak wajah Fandy dan Haris menatapku dengan iba, pandangan mereka sayu sepertinya khawatir pada keadaanku yang terbaring lemah, luka batin sungguh mematikan dari pada luka badan.

 

Kubuka bola mata dengan sempurna, aku berada di sebuah kamar besar ber chat serba putih begitu pula dengan furniture lainnya, berjejer dengan warna yang sama, mungkin ini kamarnya Fandi.

 

"Elo udah bangun? gimana? enakkan badannya?" tanya Fandi sambil meraba keningku.

 

"Iya, gua pingsan ya, Fand?" tanyaku dengan suara bergetar.

 

Bukan hanya suara yang bergetar, rasanya seluruh tubuhku pun ikut bergetar hebat, bagaikan sebuah kapal yang dihantam badai, terombang-ambing di tengah lautan, tak tentu arah, harus apa aku sekarang.

 

"Iya kamar gua, santai aja, kalo masih lemes mending Lo tidur lagi," titahnya sambil membantuku yang hendak bangkit.

 

Haris menyodorkan satu gelas air putih. 

 

Aku langsung meminumnya seteguk, air itu terasa pahit di lidah, terlebih saat otakku mengingat-ngingat lagi perkataan Fandi beberapa jam lalu, benarkah aku ...?

 

Lalu Sandrina? darah siapa yang mengalir di tubuhnya? siang malam aku banting tulang untuk menghidupi mereka, seperti inikah balasannya? sempurna sudah kepedihan ini.

 

Tak terasa ada embun yang berkubang di mataku, padahal sebisa mungkin sudah kutahan. Namun air mata ini tetap saja menerjang keluar dengan sendirinya, ah apa kata dunia jika orang-orang melihatku sedang menangis seperti ini.

 

Sedangkan di sana musuh-musuhku? para pengkhianat itu menari-nari dengan riangnya, menginjak-injak lukaku yang berdarah.

 

Segera aku mendongkak dan berkedip, hendak menahan cairan ini agar Haris dan Fandi tak menilaiku sebagai lelaki c*ngeng.

 

"Sabar, Bro," ucap Haris menepuk pundakku.

 

"Lo tahu dari mana gua di sini?" tanyaku mengalihkan perhatian, rasanya tak enak menjadi bahan belas kasihan orang.

 

"Tadi gua telpon, yang angkat Fandi, ya sudah gua susul aja ke sini sekalian jemput mobil lo di hotel," lanjutnya, sambil melempar pelan kunci mobil ke tanganku.

 

"Oh, thanks ya, dah diambilin."

 

Haris hanya mengangguk, tatapan iba itu masih terpancar jelas menghiasi wajahnya, diperlakukan seperti ini sungguh rasanya malu sendiri.

 

"Fand, Lo yakin hasil tes itu ga salah?" tanyaku memberanikan diri walau sebenarnya hatiku tersayat-sayat membicarakannya.

 

"Ini hasil tes laboratorium, mana mungkin salah, kalau elo tetap ga percaya tes aja di rumah sakit lain," jawabnya dengan sungkan.

 

Aku menghela napas, dan mencoba mengatur debar dada yang berkobar-kobar, sekuat apapun lelaki tetap saja jiwanya akan rapuh jika berada di posisiku.

 

Ibarat sebuah kapal yang berlayar di lautan lepas, lalu tiba-tiba tenggelam akibat ulah orang-orang dalam, mereka yang melobangi kapal lantas lari menggunakan perahu kecil, meninggalkan sang kapten yang sedang kepayahan di dalam sana.

 

Pengkhianatan itu telah berjalan bertahun-tahun, dan bodohnya aku baru menyadari setelah semua berjalan terlalu jauh, pintar sekali mereka bersembunyi dari dosanya.

 

"Sabar, Nan, inget rencana lo yang semula, balas mereka dengan lebih menyakitkan," ucap Haris, kembali membakar api semangat dalam dada.

 

Ia memang benar, tanpa semangat maka semua rencana akan sia-sia, alih-alih menjadi pemenang malah berakhir sebagai pecundang.

 

Aku memberanikan diri merogoh ponsel dan menyalakannya, Malang sekali nasib ini, tak nampak notifikasi pesan ataupun panggilan dari Melta, rupanya ia keasyikan hingga lupa diri pada lelaki yang bergelar suami.

 

Ah, perempuan macam apa yang sedang aku naungi ini, Haris benar kenyataan pahit ini bukan suatu alasan untukku menghukum diri dan membiarkan para pengkhianat itu bisa menghirup oksigen dengan lepas.

 

Akan kubuat hari-hari mereka sesak, dan tersiksa bertahun-tahun lamanya, pembalasan ini harus berakhir dengan sempurna.

 

"Ris, lo cariin orang yang bisa dipercaya buat memantau gerak-gerik mereka, bisa ga?" 

 

Haris nampak diam, dan menggeser layar ponselnya.

 

"Emmm, kayanya ada, Nan, keputusan Lo memang tepat, nanti gua bantu ngomong sama orangnya ya, minta poto bini lo dan Gian sekalian."

 

Tanpa mengulur waktu segera aku mengirimkan gambar wanita d*rj4na itu ke WA Haris, sedangkan Poto Gian kusuruh ia untuk mencari sendiri di akun media sosialnya.

 

"Ok, sipp, Lo harus siapin dana ya, karena orang ini cukup profesional tapi kerjaannya memuaskan sampe tuntas," ujar Haris dengan tatapan elangnya.

 

"Soal uang gua ga masalah, berapapun itu pasti gua bayar." Haris mengangguk.

 

"Ok, Fand, gua balik ya, soal biaya gua udah transfer ke rekening lo, hasil tes lab ini gua bawa buat bukti."

 

Aku bangkit walau tubuh ini harus tertatih saat berdiri tegak, aku dan Fandy bersalaman ala laki-laki, lalu pergi meninggalkan kediamannya.

 

"Kita balik ke rumah gua ya, Ris," ucapku, saat ini kami sedang berada dalam mobil.

 

"Lo yakin?" katanya meragukan.

 

"Yakin, gua harus lihat Melta lagi ngapain, dia ga boleh nganggap gua lemah, Ris."

 

Haris mengangguk mengiyakan.

 

"Gua balik dulu ya, taxi-nya sebentar lagi nyampe," ujar Haris saat ini kami sudah sampai di depan gerbang rumahku, aku mengangguk tak lupa juga mengucap terima kasih.

 

Saat menginjak rumah, kudapati Melta sedang menunggu di ruang tamu, ia mendongkak saat menyadari kedatanganku.

 

"Mas, kamu sudah pulang? bentar banget ke luar kotanya?" tanyanya, bersandiwara, ingin sekali aku muntah di hadapan wajahnya.

 

"Oh, jadi kamu seneng kalau aku pergi lama gitu?" balasku ketus, sambil terus berjalan menuju kamar.

 

"Ya engga gitu, biasanya 'kan kalau ke luar kota suka berhari-hari." Rupanya ia membuntutiku hingga kamar utama.

 

Tak kutanggapi ocehannya yang panjang, gegas aku duduk di ranjang hendak melepas sepatu. Mata ini melongo tak berkedip saat memandang benda kecil panjang teronggok di atas nakas.

 

Kuraih benda kecil itu, nampak dua garis merah membentang di tengah-tengah, seketika jantungku berpacu hebat lagi, kutatap tajam wajah Melta untuk menuntut penjelasan.

 

"Ini punya siapa?" tanyaku dengan suara serak.

 

"Punyaku lah, Mas," jawabnya enteng nampak ada gurat kebahagiaan di wajahnya, tapi tidak denganku.

 

"Kamu hamil, Mel?" tanyaku tak percaya.

 

"Iya, Mas, aku hamil kita akan punya anak lagi, kamu seneng 'kan?"

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status