Share

Bab 9

 

Mataku melongo tak percaya, mengingat betul paras wajah lelaki yang kini bersama Melta sekarang, Justin, seorang lelaki yang pernah bersaing denganku di masa lalu saat aku berjuang mendapatkan hati Melta, kini pria itu hadir lagi mengusik rumah tangga kami.

 

Ya Tuhan, kenapa semua ini terasa rumit? apakah Melta dan Justin juga ada main? ah jika tidak mengapa mereka bisa keluar bersamaan dari dalam hotel.

 

"Tunggu, Bos, sepertinya itu Bu Melta, dan ... itu bukan Gian 'kan?" tanya Roy, kukira ia sudah tahu siapa pria yang bersama Melta di dalam sana.

 

"Emang kamu belum lihat lelaki itu sejak tadi?" tanyaku keheranan.

 

"Saya membuntuti Bu Melta masuk sendirian ke kamar itu, mungkin lelakinya sudah menunggu di dalam sejak tadi," ujarnya membuat kepalaku hampir pecah.

 

"Itu bukan Gian, dia Justin mantan kekasihnya saat kuliah dulu," tegasku nampak Roy tertegun.

 

"Ok, saya akan ikuti mereka ya, tunggu saja kabar selanjutnya."

 

Roy mengenakkan kaca matanya lalu bergegas keluar dari mobil, otakku tak bisa berpikir jernih, kenyataan pahit yang nampak di hadapan begitu membelenggu menyiksa anggota tubuhku.

 

Bingung entah harus ke mana saat ini, pulang ke rumah hanya akan membuat batin makin tersiksa, terlebih jika aku melihat Sandrina, setiap seringainya seolah sebuah tusukkan.

 

Gadis kecil itu ternyata bukan darah dagingku, padahal selama ini dialah penyemangat hidup terutama obat di kala stres menghadapi pekerjaan, kenyataan pahit ini begitu menyiksa.

 

Namun, aku tak bisa membencinya, ia tak bersalah lahir ke dunia tak tahu apa-apa, entah bagaimana jadinya jika Sandrina tak hadir diantara kami, mungkin rumah tangga ini akan terasa hambar.

 

Setelah lelah berputar tak tentu arah, akhirnya kuputuskan untuk pulang ke hotel saja, menyendiri lebih baik daripada di rumah dalam keadaan nelangsa.

 

Tiba-tiba gawaiku berdering, panggilan dari Bi Lela, untuk apa ia menghubungi?

 

"Hallo, Bi, ada apa?" Aku menepikan mobil sejenak.

 

"Ini, Pak, saya mau ngasih tahu kalau Neng Sandrina panasnya makin tinggi," ucapnya penuh kekhawatiran.

 

Walau ia bukan darah dagingku tetap saja hati ini terasa cemas memikirkannya, bagaimanapun juga gadis kecil itu tak bersalah tak sepatutnya menjadi pelampiasan amarahku.

 

"Emangnya Ibunya kemana, Bi?" tanyaku sedikit jengkel.

 

"Belum pulang, Pak, saya telpon nomornya ga aktif, padahal menurut saya kalau anak lagi sakit seharusnya dia ga pergi ya, Pak, saya 'kan jadi bingung," keluh Bi Lela.

 

Hatiku berdesir, ternyata Sandrina sedang tak sehat dan aku tak mengetahuinya sama sekali, kasihan sekali gadis kecil itu harus menjadi korban keb*adab*n ibunya sendiri.

 

"Ya sudah saya pulang sekarang, siapkan semuanya kita akan bawa Sandrina ke rumah sakit," jawabku memberi keputusan.

 

"Baik, Pak."

 

Telpon terputus, mobil segera kuputar arah dengan kecepatan tinggi, hingga beberapa menit kemudian Bi Lela sudah siap duduk di teras dengan satu tas besar barang-barang Sandrina.

 

Aku turun dari mobil hendak merangkul gadis itu, suhu badannya memang terasa panas.

 

"Ayo kita pergi sekarang, Bi."

 

Wanita yang sudah lima tahun mengabdi di keluarga kecil kami itu mengangguk lalu masuk ke dalam mobil.

 

"Ibu belum pulang juga, Bi?" tanyaku menanyakan Melta.

 

"Belum, Pak, Bibi ga tahu dia pergi ke mana, kasihan Neng Sandrina." Dari kaca spion kulihat mata sayunya berkaca-kaca.

 

Melta memang keterlaluan di saat buah hatinya sedang kesakitan ia malah asyik dengan pria lain di luar sana, jika saja Sandrina sudah mengerti sudah pasti ia juga ikutan membenci.

 

Seharusnya wanita seperti itu tak boleh diberikan kesempatan untuk memiliki anak percuma jika hanya menyia-nyiakannya saja.

 

"Om Gian." Terdengar suara rintihan Sandrina, hatiku teriris mengapa dia merindukan lelaki itu, di saat ada aku yang sedang memperjuangkan kesembuhannya.

 

Apakah ini ikatan batin? Ah mana mungkin selama hidup gadis ini makan dari hasil jerih payahku hingga tumbuh besar, ini tidak adil!

 

"Om Gian ga ada, Neng, adanya Ayah tuh lagi nyetir di depan," jawab Bi Lela, kulihat dari kaca spion sorot matanya memandang iba.

 

"Aku mau sama Om Gian, bukan sama Ayah."

 

Degggh!

 

Sandrina, gadis kecil itu telah menghantam rongga dadaku, mengapa harus Gian? bukankah selama ini aku yang banting tulang menghidupinya? badanku lemas dan bergetar, mobil yang semula melaju dalam kecepatan tinggi, kini lajunya mendadak pelan.

 

"Iya nanti kita telpon Om Gian suruh nyusul ya, Sayang," jawab Bi Lela dengan lembut, terhanyut aku mendengarnya orang lain saja merasa iba dan peduli mengapa ibunya tidak, wanita itu memang berhati batu.

 

"Pak, kok mobilnya jadi pelan ya, emang ga bisa cepet?" tanya Bi Lela.

 

Ya Tuhan kakiku rasanya tak bertenaga bahkan sekedar untuk menginjak pedal gas.

 

"Pak, kita harus cepat kasihan Neng Sandrina." Kedua kalinya kuacuhkan ocehan Bi Lela.

 

Mobil masih melaju pelan, mataku memicing saat melihat sosok di depan sana, Gian bersama seorang wanita di pinggir jalan, mereka terlihat sedang bertengkar hebat, saling memandang dengan tajam, setelahnya tangan wanita itu memukul-mukul dada Gian.

 

Ya Tuhan siapa wanita itu? apa hubungannya dengan Gian?

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Asmin
cerita yg sangat bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status