Share

Bab 8

 

Terasa ada yang meledak di dalam dada, tubuhku kaku disertai napas yang sesak, ini merupakan kabar duka untuk kesekian kalinya, cukup meluluh lantakkan hatiku yang sudah terkoyak, kepingan hati yang sudah hancur kini melebur seperti abu.

 

Amarah dalam dada ini membuncah, ingin sekali aku menghantamkan wajah sok polos itu ke tembok hingga berdarah-darah, beraninya ia tersenyum di atas rasa sakit ini.

 

Kupalingkan wajah ke arah jendela sana, menatap lurus ke luar , sempat terpikir untuk menunjukkan hasil tes laboratorium saat ini juga. Namun, bukti ini belum sempurna, aku harus mampu tunjukkan pada dua keluarga jika Mereka berdua memang pengkhianat ulung.

 

Tanpa ada bukti yang akurat keluarga besar Melta pasti akan berkilah untuk membelanya, dan ujungnya malah aku yang bersalah di mata mereka, aku tak ingin hal seperti itu terjadi, semua yang keluar dari mulut ini harus  disertai dengan bukti.

 

Pamannya Melta seorang pengacara, ia bukan sekedar paman, tapi pengganti ayahnya yang sudah tiada, jika aku katakan tanpa bukti maka om Feri akan menuntutku hingga ke meja hijau.

 

Siapa yang tidak terkenal dengan Om Feri, seorang pengacara kondang kelas atas, tarifnya mahal karena kemampuannya sudah terbukti hebat di mata orang-orang.

 

"Mas, kok kamu malah ngelamun? kita mau punya anak lagi lho," tegurnya tanpa rasa berdosa.

 

Bagaimana aku akan senang sedangkan yang tumbuh di rahimnya bukanlah berasal dari benihku, ini memang konyol.

 

"Mas!" tegasnya sambil melambai-lambaikan tangannya di hadapan wajahku.

 

Aku menunduk, hampir saja raga ini ambruk.

 

"Aku ... aku mau pergi lagi, Mel, jangan lupa periksa ke dokter kandungan," jawabku tercekat.

 

Sepatu urung kubuka, gegas berdiri lalu melangkah keluar meninggalkan Melta yang masih berdiri mematung.

 

Kubawa hati yang sudah remuk berkeping-keping ini, akan ada waktunya diriku murka, untuk saat ini biarlah kupendam amarah yang menggunung ini hingga tiba waktunya aku muntahkan.

 

Mengalah untuk menang, memang terdengar konyol tapi keyakinanku sangatlah kuat, akan ada kemenangan untuk kunikmati di hari esok, dan saat itu juga dunia akan berputar, waktunya mereka menanggung kepedihan yang tak berujung.

 

"Mas! Kamu kau ke mana lagi sih!"

 

Terdengar suara teriakkan Melta memekik, suara sendal tepleknya terdengar saat berbenturan dengan lantai, semakin kencang terdengar suara itu maka semakin dekat ia mengejarku.

 

"Mas, kamu kenapa kok jadi dingin begitu?" tanyanya,

 

tubuh Melta sudah berdiri di hadapan menghalangi, raut wajahnya penuh dusta memasang tampang iba, padahal kutahu semuanya hanya sandiwara.

 

"Aku harus pergi ada urusan pekerjaan," jawabku datar, sama sekali tak merasa kasihan dengan tampang memelasnya.

 

Berbeda dengan dulu, tatapan lembut Melta selalu menghipnotis, membuat diri ini enggan menjauh darinya, terlebih jika tercium aroma tubuhnya yang bisa membangunkan ga*rah, diri ini akan luluh dan terbuai dengan sentuhannya.

 

Namun, membayangkan itu jijik rasanya, setiap lekuk tubuh Melta sudah terj*mah oleh Gian, setelah itu dilanjutkan olehku.

 

Menjijikan!

 

Aku melajukan mobil saat Pak Satpam membukakan gerbang, dari kaca spion kutatap Melta sedang berdiri di teras memandang mobilku yang hendak menjauh, wajah itu kini berubah bringas.

 

Kulajukan mobil tak tentu arah tujuan, fikiran kosong juga perut yang terasa keroncong, ditambah segunung beban yang menumpuk di ubun-ubun hampir saja melenyapkan jiwa ini.

 

Mengingat kehamilan Melta dadaku sesak lagi, andai Melta berkhianat datu kali, mungkin akan ada maaf untuknya, kita bisa hidup bersama Sandrina bertiga.

 

Namun, pengkhianatan itu belum juga usai hingga kembali tumbuh sebuah janin di rahimnya, kehamilan Melta ibarat palu godam yang berkali-kalienghantam rongga dadaku, tak ada maaf untuknya.

 

Mobilku menepi, energiku sudah terkuras habis tak sanggup lagi untuk mengemudi, setir mobil di hadapan kini menjadi amukan pelampiasan.

 

Amarah dan air mata melebur menjadi satu menciptakan luka yang berdarah-darah, tak ada obat untuk semua ini melainkan sebuah pembalasan dendam, melihat mereka menderita mungkin bisa cukup membuat luka ini mereda.

 

Aku harus cepat lakukan itu sebelum Gian beraksi memainkan ide-ide jah*tnya. Ponsel berdering membuatku menoleh ke samping di mana pinsel itu teronggok di samping jok kemudi.

 

Panggilan dari Roy, orang suruhan Haris.

 

"Hallo, Roy."

 

"Hallo, Bos, Bu Melta pergi menggunakan mobilnya dan setelah saya ikuti dia menuju hotel," jawab lelaki di sebrang sana.

 

Untuk kesekian kalinya hati ini harus merasakan hantaman yang begitu keras, sesak, jika saja aku bukan lelaki tangguh, mungkin jiwa ini sudah berpisah dari raganya.

 

"Posisi kamu di mana?" tanyaku dengan suara nyaris tercekat.

 

"Di hotel bintang, saya sudah bicara dengan resepsionis, katanya wanita itu sudah terbiasa memboking kamar itu, Bos."

 

Degh!

 

Lagi-lagi hantaman itu meremukkan hatiku, ternyata sekarang di tempat itulah mereka melakukan perbuatan nistanya, pantas saja kamera yang terpasang di rumah tak ada gunanya.

 

"Lalu apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku, sudah kehabisan ide.

 

"Bos ke sini saja, tapi jangan keluar dari mobil biar saya yang masuk ke mobil Bos."

 

"Baik." 

 

Mobilku segera meluncur ke alamat yang dikirim Roy melalui pesan WA, beberapa menit kemudian nampak pria berkacamata hitam melambai, lalu masuk ke dalam mobil duduk di sebelahku.

 

"Apa rencanamu?" tanyaku tanpa basa-basi

 

"Saya akan pasang kamera CCTV di kamar yang sering mereka booking, tapi semua itu membutuhkan dana, Bos, kita perlu bekerja sama dengan pihak hotel untuk mendapatkan bukti itu, Bos sanggup?"

 

Pria itu menurunkan kaca matanya, menatapku serius.

 

"Sanggup, Roy, berapa pun akan saya bayar asal bukti itu kudapatkan, bagaimana pun juga bukti itu sangat penting untuk ku serahkan pada pihak berwajib," jawabku dengan tatapan lurus ke depan.

 

"Apa yang akan Bos lakukan nantinya, menggerebek di tempat atau hanya akan mengambil rekamannya saja?" tanya Roy membuat diriku bimbang.

 

"Kenapa kamu bertanya begitu?" 

 

"Ini untuk kelancaran kerja sama dengan pihak hotel, mereka juga tak ingin nama tempat usahanya tercoreng di masyarakat, jadi jika Bos ingin menggerebek di tempat maka, dananya tentu akan lebih tinggi lagi," ungkapnya memberi penawaran.

 

Belum sempat kujawab, nampak Melta keluar dari tempat itu bersama seorang pria, dia bukan Gian, dia adalah ....

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status