Share

Bab 2

 

"Mel, ini noda apaan?!" tanyaku dengan nada tinggi, sehingga wanita yang sedang menghadap cermin itu menoleh seketika.

 

"Apaan sih, Mas." Melta bangkit dan menghampiri, lalu melihat noda yang kumaksud.

 

Ia terdiam sejenak, mungkin sedang mempersiapkan jawaban yang tepat untuk berkilah, aku sudah membaca dari raut wajahnya.

 

"I-ini ... iler ... iya ilernya Sandrina, tadi sore dia tidur di sini, aku lupa sprei-nya belum dicuci," jawabnya terbata, lalu bibirnya menyeringai dengan terpaksa.

 

Kupandangi wajahnya dalam untuk mencari kebohongan di sana, ya aku temukan itu, temanku Dendi seorang psikolog setidaknya aku sedikit tahu dan bisa membedakan mana yang sedang berbohong dan tidak.

 

"Yakin ini iler Sandrina? bukan iler lelaki lain?" tanyaku menohok, Melta nampak menelan ludah sambil mengedipkan kedua bola matanya.

 

Kena kamu! Lihat saja jika kutemukan siapa lelaki itu maka, akan kuhabisi saat itu juga di hadapan wajahnya.

 

Untuk saat ini aku harus bersikap tenang dan berpura-pura mempercayainya. Namun, tetap akan kuselidiki hingga ke akar-akarnya.

 

Takkan selamanya kamu bisa mengelabuiku, Mel!

 

"Apaan sih maksud kamu, Mas, kok iler lelaki," ujarnya sambil terkekeh terpaksa, semakin jelas sekali raut kedustaan yang terpancar dari wajahnya.

 

"Kamu pasti faham 'kan." 

 

Kupandangi tubuhnya dari atas hingga bawah, tanda merah di lehernya masih membekas, melihat tanda itu hatiku bagai ditancap belati, sakit hingga berdarah-darah.

 

Lelaki manapun jika berada di posisiku pasti akan merasakan hal yang sama. Namun, aku tak ingin bertindak bodoh dan gegabah.

 

Semua akan meledak pada waktunya bagaikan bom waktu, saat ini aku hanya perlu bersabar untuk mencari bukti-bukti perselingkuhannya.

 

Melta, wanita yang berparas cantik bak artis Korea, yang selama ini kunaungi, melimpahinya dengan banyak materi, sehingga kecantikan itu tak pudar walau usia pernikahan kami sudah menginjak tahun ketujuh.

 

Wanita itu memang pandai merawat dirinya, hingga lelaki manapun akan terpana oleh pesona kecantikannya. Namun, tetap saja aku ikut andil, karena jika aku tak melimpahinya dengan banyak materi, mana mungkin ia bisa merawat diri yang sudah pasti akan memerlukan uang yang tidak sedikit.

 

Akan tetapi, kecantikan itu tak berarti jika tak berdampingan dengan akhlak yang baik, jangankan untuk menyentuh menatap pun aku jijik, itulah yang kurasa saat ini.

 

Akan kupastikan sandiwara diantara mereka berakhir secepatnya, begitu pula dengan pernikahan ini, aku tak ingin menikmati sesuatu bekas kepuasan orang lain, menjijikan!.

 

"Mel," panggilku, ia terkejut mendengar panggilanku.

 

"Iya, Mas," jawabnya dengan suara bergetar.

 

"Jangan pernah mencoba membodohiku ya, karena aku tak sebodoh yang kamu kira," ucapku sambil melenggang pergi meninggalkannya.

 

"Maksud kamu apa, Mas? kamu nuduh aku berbohong?" ia bertanya sedikit berteriak.

 

Tak kuhiraukan gegas aku keluar kamar, menuju kamar mandi belakang, rasanya jijik jika aku mengambil wudhu di toilet kamar, dan menginjak percikan air bekas guyuran tubuh Melta.

 

Saat kaki ini berpijak di hadapan pintu, mataku memicing menatap lingerie merah milik Melta yang teronggok di keranjang cucian, hatiku diselimuti banyak tanya.

 

Kapan Melta menggunakan lingerie merah ini di hadapanku?

 

Sudah hampir satu Minggu ia selalu mengenakan piyama jika hendak tertidur.

 

Hati ini memanas dan terbakar, gegas kuraih gaun transparan itu, seketika menguar aroma parfum yang tak asing di hidungku, kuendus beberapa kali untuk memastikan.

 

Ya, aroma ini percis dengan aroma parfum yang selalu digunakan Gian, kucengkaram erat lingerie itu lalu membantingnya ke segala arah, wajahku memanas rasanya ingin menghajar Gian saat ini juga.

 

Dengan susah payah aku mengatur degup jantung yang berpacu hebat, menghirup napas dan mengembuskannya berkali-kali, hingga rasa sesak ini perlahan menghilang.

 

Sabar, jika dugaanku benar maka, sandiwara diantara mereka harus terkuak dengan cara yang menakjubkan, akan kubuat mereka menyesal karena telah berani menusukku dari belakang.

 

Gian, dahulu kami saling bermain bersama, makan bersama tak kusangka kini kami menikmati tubuh wanita yang sama, benar-benar menjijikan kamu Gian!

 

Akan kubongkar kebusukkan kalian di hadapan keluarga besar kami, mereka harus tahu dan ikut menghujat keduanya, hingga mereka tak berani menampakkan wajah di hadapan umum.

 

Pagi ini aku menunaikan shalat dua rakaat, lalu kuakhiri dengan untaian doa, agar sang Khaliq senantiasa menghujani dengan kesabaran yang seluas samudra, serta membantuku agar cepat membongkar semua kebusukan Melta.

 

Terlalu lama tinggal satu atap bersama mereka rasanya bagaikan di neraka, apalagi aku harus tidur satu ranjang dengan wanita bermuka dua, rasanya tak sudi jika aku harus menyentuhnya lagi.

 

Waktunya sarapan, seperti biasa kami akan makan satu meja bertiga, aku dan Melta duduk berdampingan sedangakan Gian, duduk di sebrang sana menghadap kami.

 

Kulihat rambutnya juga basah, wajahnya berseri-seri memancarkan rona keceriaan, dari sudut mata aku dapat melihat mereka saling melempar senyum jika tatapan itu beradu.

 

"Maaf, Pak, ada temen Bapak namanya Pak Haris mau ketemu ada penting katanya," ujar Bi Lela ART di rumah kami.

 

Aku segera beranjak mengakhiri sarapan pagi ini, semua yang sudah masuk ke dalam perut rasanya ingin kumuntahkan ke wajah mereka berdua.

 

"Sandrina, kamu sudah bangun, Sayang," ujarku hendak merangkul gadis kecilku.

 

Namun, ia malah menepis kedua tanganku yang hendak menyambutnya, dan berjalan melewatiku dengan mengucek-ngucek matanya.

 

"Om Gian, aku mau makannya disuapin sama Om," ujar Sandrina sambil naik ke pangkuan Gian.

 

Perih hatiku menyaksikan pemandangan memilukan ini, di mana putriku yang semalam ini kusayangi lebih memilih dekapan Gian daripada ayahnya sendiri.

 

Ah, Sandrina memang tak bersalah, akulah yang bersalah karena jarang sekali menyempatkan waktu untuk bermain dengannya, mungkin selama ini Gian lah yang selalu menemaninya.

 

"Hai, Ris, ngapain pagi-pagi ke sini," sapaku lalu duduk di sampingnya.

 

"Hari ini gua izin ga ke kantor ibunya anak-anak di rawat di rumah sakit, titip berkas ini ya nanti kasih ke Pak Harun," jawabnya, aku langsung menerima berkas itu.

 

"Sandrina kamu mau ke mana?"

 

Tiba-tiba saja Sandrina berjalan melewatiku sambil menggandeng pamannya yaitu Gian.

 

Gadis kecil itu tak menjawab, malah Gian yang menjawab.

 

"Mau beli bubur ayam di depan katanya, Kak."

 

"Oh ya sudah, beli dua kasih Bi Lela satu ya."

 

Gian mengangguk pergi bersama putriku keluar, jujur saja aku iri melihat kebersamaan mereka, bagaimana lagi tuntutan pekerjaan yang membuat hampir semua waktuku tersita.

 

"Adnan, kok anak lho mirip banget ya sama si Gian," celetuk Haris, dan seketika jantungku berdebar hebat.

 

Ya Tuhan, jangan-jangan ....

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status