Share

Bab 3

 

 

Sejak hari itu, aku selalu menelisik wajah Sandrina yang kata Haris sangat mirip dengan Gian, Ya itu memang benar, ucapan Haris memang tak salah.

 

Hidung, bibir juga kening gadis kecil itu persis seperti Gian, sedangkan rambutnya hitam dan lebat mirip ibunya, sementara aku tak satupun anggota tubuhku yang menurun pada gadis itu.

 

Haris bilang, tak ada jejakku di tubuh Sandrina, walaupun ia bercanda tetap saja hatiku teriris rasanya, jika saja dugaan ini benar Sandrina bukan berasal dari benihku maka, takkan kuampuni mereka sampai kapanpun.

 

Dan akan kupastikan jika mereka akan menerima balasan yang lebih menyakitkan dariku, tunggu saja waktunya Melta!

 

"Elo yakin ga nih, jangan sampai lo berprasangka buruk terhadap adik sendiri," ucap Haris sambil menghisap satu batang rokok.

 

"Gua waktu itu becanda Adnan," lanjutnya, sepertinya sahabatku ini menyesali candaannya tempo hari.

 

Saat ini aku sedang berada di sebuah cafe bersama Haris, menceritakan semua masalahku padanya, sejak SMA kami bersahabat dan sudah terbiasa berbagi suka duka dalam cerita, hingga aku tak ragu lagi untuk membicarakan semuanya pada Haris.

 

"Gua yakin, Haris, bayangin aja mana ada serangga gigit leher ampe merah begitu, terus yang bikin gua tambah curiga adalah lingerie merah Melta, di baju itu tercium parfum milik Gian, sedangkan belakangan ini Melta selalu pake piyama kalau tidur di hadapan gue," jawabku.

 

Haris menekan puntung rokok ke asbak, terlihat sekali ia pun sepertinya merasa geram mendengar kata demi kata yang kuucapkan, sebagai sesama lelaki tentu saja kami memahami bagaimana sakitnya dikhianati oleh istri, yang selama ini kita perjuangkan siang dan malam.

 

"Gil* ya istri lho, selingkuh sama ipar sendiri, lho jangan diem aja, Nan, lakuin sesuatu," pintanya dengan serius.

 

"Makanya itu, menurut lho gua harus gimana nih."

 

Haris diam sambil memalingkan muka ke arah lain, matanya menatap lurus ke depan sana.

 

"Gimana kalau elo pasang CCTV di rumah, misal di kamar atau ruang tamu terserah elo di mana, yang sekiranya tempat itu sering dipake berduaan sama meraka," ujar Haris memberi usul.

 

"Jangan lupa elo juga tes DNA tuh, Sandrina itu bener anak lho apa bukan," lanjutnya dengan tatapan serius. 

 

Aku tertegun, ide Haris sepertinya lumayan brilian.

 

"Ok, Ris, thanks ya, gua akan coba ide lho nanti."

 

Pria yang usianya sebaya denganku itu mengangguk, lalu kami berpisah pulang ke rumah masing-masing, kukemudikan mobil dengan kecepatan sedang, sambil berfikir lokasi mana yang harus aku pasangi CCTV di rumah.

 

Perbuatan Melta sungguh sangat mengoyakkan batinku, selera makananku belakangan ini hilang, juga semangat hidup yang menurun, langit terasa runtuh dan dunia seakan kelam.

 

Teganya ia padaku padahal, selama enam tahun berumah tangga, aku selalu memanjakannya dengan kasih sayang dan harta yang melimpah, apapun yang ia mau maka saat itu juga pasti kuturuti inginnya.

 

Hanya saja ia kekurangan perhatian dariku, bukankah harusnya ia mengerti jika memperjuangkannya itu tidak mudah, hingga hampir semua waktuku tak tersisa, bukankah semua ini untuknya? agar setiap inginya bisa terkabul.

 

Ah, aku tak  mengerti jalan fikir Melta, memiliki suami mapan sepertiku masih saja tetap kurang di hadapannya, mungkin aku belum bisa memuaskan dahaganya di ranjang hinggga ia memilih cara kotor dengan Gian untuk melampiaskannya.

 

Entahlah, yang jelas cintaku sudah musnah terbakar api kemarahan, dalam rongga dada ini yang tersisa hanyalah dendam, bagaimana caranya membongkar perbuatan bej*t mereka di hadapan dua keluarga.

 

Kurasa perbuatan ini tak jahat, keluarga besar kami harus tahu seperti apa kelakuan Melta, istri yang selama ini kuperjuangkan siang malam, telah bermain g*l4 dengan adikku sendiri yang hanya seorang pegawai serabutan.

 

Ya, Gian baru saja lulus kuliah belum memiliki pekerjaan tetap, ia bilang ingin mengikuti tes CPNS. Namun, tahun kemarin gagal entah dengan tahun sekarang, aku tak ingin lagi membantunya.

 

Tiba-tiba saja mobil yang kukendarai mogok, sudah distarter berkali-kali tetap saja kendaraan ini enggan menyala, terpaksa aku menelpon seorang montir langganan.

 

"Ok, saya tunggu secepatnya ya, mobilnya percis di hadapan Indom*ret."

 

Urusan dengannya sudah selesai, beberapa menit kemudian Farhan--montir langgananku--datang menggunakan sepeda motornya.

 

Kami sedikit berbincang mengenai keluhan mobil ini, setelah ia mengerti kuserhakan kunci mobil padanya, jika mobil sudah selesai diperbaiki, pemuda ini akan mengantarkan mobil ke rumah, dan sekarang aku akan pulang naik taxi online.

 

"Hallo, Susi, maaf saya butuh bantuanmu sekarang," ucapku menelpon asistenku di kantor.

 

"Iya, Pak, silakan," jawabnya sopan.

 

"Tolong kamu Carikan orang yang bisa memasang CCTV di rumah saya ya, ini rahasia jangan beritahu siapapun termasuk Bu Melta," pintaku.

 

"Oh jadi CCTV-nya akan dipasang secara rahasia ya, Pak," ujarnya langsung mengerti.

 

"Iya betul, nanti saya kabari lagi waktu pemasangannya kapan, kamu cari saja dulu kalau sudah dapat kabari saya."

 

"Iya baik, Pak, kebetulan saya ada teman yang ahli di bidang itu, saya akan bicarakan terlebih dahulu dengannya," jawabnya.

 

Tak terasa, mobilku sudah sampai di depan gerbang rumah, setelah membayar gegas aku turun walau kaki ini terasa berat, kutatap rumah megah bernuansa modern yang dikelilingi pagar menjulang tinggi itu. Kini, rumah itu bagaikan neraka bagiku

 

Seorang penjaga rumah membuka gerbang sambil menyambut hormat, lelaki yang kupekerjakan sebagai keamanan rumah itu tak banyak bicara, aku langsung masuk ke dalam.

 

Suasana rumah nampak sepi dan sunyi, Sandrina entah di mana sedangkan Bi Lela pasti sudah pulang ke rumahnya, belakangan ini memang Bi Lela yang selalu menyambut kedatanganku sepulang kerja, dengan cekatan ia akan membawakan tasku lalu menyediakan secangkir teh hangat, tugas yang seharusnya dilakukan Melta telah diambil alih oleh ART.

 

Senelangsa itu nasibku sebagai seorang suami sekaligus kepala rumah tangga. Karena tak ada yang mengambilkan air minum, terpaksa aku sendiri yang mengambilnya ke dapur.

 

"Pokoknya kita harus bertindak cepat, sebelum Adnan membongkar semuanya." Terdengar suara Melta, sontak saja langahku terhenti, entah sedang apa yang mereka lakukan di ruang makan, yang jelas aku tak bisa melihat hanya bisa mendengar suara percakapannya saja.

 

"Iya, kamu tenang ya, kita akan jebak Adnan dengan cara licik, setelah itu kamu memiliki alasan untuk meninggalkannya." 

 

"Terima kasih, Sayang, kamu begitu perhatian dan mengerti mauku, dilimpahi uang banyak itu tak cukup aku juga butuh belaian seorang lelaki perkasa sepertimu," ujar Melta, istriku memuji lelaki lain

 

Bagaikan tersambar petir aku mendengar ucapan mereka barusan, adik yang selama ini kubantu dengan susah payah, menusuk dari belakang, kita lihat saja Gian siapa yang akan menang melawan pertempuran ini.

 

Jiwa kelakianku tertantang, adikku sendiri yang telah mengibarkan bendera perang, baiklah akan kuhadapi mereka dengan caraku sendiri, jika ia memiliki satu cara licik untuk menjebakku maka, aku juga memilki seribu cara licik untuk melawannya.

 

Kini, aku sadar mengapa ia bisa berpaling, bersiaplah Melta, jeruji besi sudah menantimu.

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status