Bab 7
Ternyata Ibu tak menyadari aku ada di kamarnya. Aku buru-buru menaruh brankas kecil itu di kamarku.
"Iya, Bu. Sebentar. Aku ketiduran," ucapku.
Namun aku berpikir, buat apa kubawa brankas Ibu, tapi belum ada nomor PINnya. Tetap saja nanti tak bisa dibuka. Biar kucari lagi nanti nomor PINnya.
Pada akhirnya brankas kuamankan di kamarku agar Ibu tak tau tempat menyimpannya. Uang hasil keringatku malah dibelikan emas, padahal harusnya untuk kebutuhan anak-anakku.
"Hanifa, kamu kok nggak cuci piring tadi habis makan?" gerutu Ibu. Padahal aku ada di rumah, Ibu berani memarahi anakku.
"Kamu juga Hanif, harusnya kamu buang sampah sana! Kan udah makan, harusnya mau buat buang sampahnya."
"Iya, Nek. Sebentar."
"Ah Nenek, semua kerjaan sama kita. Nenek cuma nyantai aja, trus baru sekarang Nenek mau beli bakso. Biasanya nyuruh aku. Nenek suka sesukanya nyuruh aku sama kak Hanifa, ngasih makan jarang. Sekarang ada ibuku, Nenek pura-pura baik," katanya panjang lebar.
Aku terbelalak, ternyata Hanif lebih terbuka daripada Hanifa. Ia bisa mengungkapkan kebenaran yang ada.
Aku keluar dari kamar dan menemui mereka, "Ada apa ini, Bu? Jadi benarkah yang dikatakan Hanif?"
Ibu terkejut aku bereaksi padanya.
"Namanya juga bikin mereka disiplin dan mau bantu-bantu, Alma. Ya harus tegas," katanya.
Aku tak suka dengan jawaban Ibu. Ia berlindung di balik jawabannya.
"Itu namanya nyiksa. Sampai ibu nggak ngasih makan sama mereka."
Tak lama Kang Ikbal datang dengan motor sportnya.
"Ada apa ini semuanya?" tanyanya.
"Ini Kang, Ibu memperlakukan anak-anak nggak baik. Kata Hanif, mereka seri disuruh ngerjain kerjaan rumah, sering nggak dikasih makan. Kamu tau hal ini nggak, Kang?"
"Tenang, tenang! Kamu nggak tau yang sebenarnya, Alma. Ibu itu bermaksud baik. Waktu yang nggak dikasih makan itu waktu mereka melakukan kesalahan fatal," katanya.
"Tapi aku tetap nggak setuju. Anak-anakku harus diperlakukan dengan layak!" Aku menggertak mereka, lalu kembali ke kamar bersama Hanif.
"Ayo, Nak. Kamu ke kamar dulu ya!"
Aku meminta Hanif dan Hanifa mengaku. Siapa tau jika tak ada Ibu, mereka mau berbicara. Kurekam semua ucapan mereka.
"Ayo kalian mengaku saja. Apa saja hal yang terjadi pada kalian selama Ibu nggak ada?" tanyaku dengan penuh rasa cinta pada kedua anakku. Kubelai lembut rambut mereka.
Aku meyakinkan mereka agar berkata jujur padaku. Tak akan terjadi hal negatif pada mereka.
"Aku takut," ucap Hanif.
Hanifa lebih banyak diam. Mungkin ia banyak pertimbangan karena lebih dewasa dari Hanif.
"Ayo Sayang. Ibu sayang sama kalian. Ibu hanya ingin tau kebenarannya saja."
"Nenek--" Hanif berusaha bicara, tapi Bang Ikbal mengetuk pintu, katanya Susi datang. Aku menghentikan untuk bertanya-tanya pada kedua anakku.
"Nanti disambung lagi. Ibu ada tamu dulu. Kalian diam di kamar, ya! Ayo Hanif, kamu pindah ke kamarmu dulu!" ajakku.
Kemudian Hanif ikut denganku ke luar kamar Hanifa. Ia langsung masuk ke kamarnya, sementara aku menemui Susi.
Susi bersama anaknya yang kulihat tadi pagi. Berani juga ia ke sini membawa anaknya. Anaknya dan Kang Ikbal. Mereka mengkhianati selagi aku berjuang mencari nafkah di negri orang. Terima kasih atas pengkhianatan kalian, akan kubalas dengan cantik.
"Alma, gimana kabarmu? Kamu makin cantik!" katanya seraya memelukku.
"Alhamdulillah, baik. Kamu juga sama, makin cantik dan seksi. Itu anakmu?" tanyaku.
"Iya, ayo salaman Rezki sama Tante Alma!" ucap Susi sembari menuntun Rezki untuk bersalaman denganku.
Lalu Ibu datang dan menyambut Susi dan Rezki dengan antusias.
"Eh, ada Rezki. Ayo ikut yuk sama Nenek!" Ibu tak segan menyebut dirinya Nenek. Susi merasa tak enak saat Ibu menyebut dirinya Nenek. Ia menyorot padaku.
"Eh, maaf, selama kamu di Arab, aku selalu mengunjungi Ibu. Kami sudah akrab, termasuk dengan anakku," katanya.
Pintar sekali ia berbohong. Mencari pembenaran dan alasan agar aku mempercayainya.
Aku belum melihat lagi Kang Ikbal. Kemana dia?
"Iya. Nggak apa. Justru bagus kamu mau menemui Ibu karena aku tidak bisa melakukannya. Terima kasih atas kebaikanmu selama ini. Oya, kita makan malam bareng ya!"
"Baiklah, boleh."
"Atau kamu mau nginep di sini juga boleh. Rumahmu jauh kan sekarang?" sindirku.
Tiba-tiba Kang Ikbal datang. Ia tersenyum saat melihat Susi.
"Wah, ide bagus itu. Kamu nginep aja, Sus di sini! Alma udah membolehkan tuh," katanya.
Kang Ikbal pasti senang istri mudanya diperbolehkan menginap di sini. Ia pun tak menyangka kalau aku sudah tau tentang ini. Akan kukerjai kalian malam ini.
Bersambung
Bab 8Kami akan makan malam bersama. Kupesan nasi goreng melalui Bi Ikah, aku meminta agar nasi gorengnya spesial, pakai udang juga. Tapi jangan sampai kelihatan ada udang di situ, udangnya harus dihaluskan.Aku punya rencana bagi Susi, yang kutau dia alergi udang. Jika ia makan makanan mengandung udang, biasanya badannya bentol-bentol besar. Akan kubuat alerginya kambuh."Ayo dimakan dulu nasi goreng spesialnya," ucapku."Wah, enak nih kayaknya," ucap Susi.Kami makan melingkar di meja makan. Aku duduk berhadapan dengan Kang Ikbal, sedangkan Susi ada di sebelahku. Di sebelah Kang Ikbal ada anak-anak kami Hanif dan Hanifa.Kang Ikbal selalu menyorot seseorang di sebelahku. Aku tau karena ia di depanku. Ia jarang melihat kearahku. Rasanya sangat perih, ketika suami lebih memperhatikan wanita lain yang ternyata adalah istri mudanya. Sementara istrinya sendiri baru pulang, tak disentuh sedikitpun."Sus, tambah lagi. Kayaknya anakmu suka banget. Ayo ah Sus, kalau mau tambah, nggak usah ra
"Mmm ... Maaf, Alma. Aku harus buru-buru pergi lagi," katanya."Loh, kok malah buru-buru pergi? Sebentar Kang. Kita bicarakan dulu soal tadi.""Nggak bisa. Aku harus buru-buru ke gerai batu akik. Sudah ada yang menunggu di sana," katanya.Kurasa Kang Ikbal menghindari pembicaraan sertifikat dan BPKB mobil. Makanya ia langsung tunggang langgang. Apa jangan-jangan surat-surat itu tak ada di tangannya? Aku jadi curiga, apa yang sebenarnya terjadi.Aku tak bisa mencegahnya pergi. Aku hanya bisa merutuk. Karena tak tahan, aku bertanya pada Ibu mertua."Bu, apa ibu tau dimana keberadaan sertifikat rumah ini? Sama BPKB mobil juga, Bu," tanyaku.Ibu terperanjat, ia juga kaget seperti Kang Ikbal. Dari sini aku tau berarti keduanya tau keberadaan surat-surat penting itu.Kalau mobil dibeli saat aku di luar negeri, aku yakin pakai nama suamiku. Namun untuk rumah yang harus kuselamatkan, itu atas namaku. Aku harus bisa menemukan sertifikat rumah ini."Ibu nggak tau, Ma. Kamu udah tanyakan pada Ik
Aku pun heran sampai 100 persen lebih bunganya. Inilah kebodohan Kang Ikbal dan Ibu yang percaya meminjam uang dengan jaminan surat berharga kami. Akhirnya tagihannya sungguh di luar nalar kami.Itu sama saja harga jual keduanya dan kalaupun dijual, aku takkan dapat apa-apa dari sana. "Ya sudah, Pak. Saya hanya ingin tau tagihannya. Oya, kalau sertifikat rumahnya saja berapa yang harus saya tebus?""Nggak bisa rumah saja atau mobil saja, Teh. Ini harus tebus keduanya," kata Pak Ujang. Jawabannya saklek tak bisa diubah. Aku jadi kecewa berat dengan semua yang terjadi.Saat pulang, berharap kebahagiaan yang kudapat. Malah kesedihan yang ada. Suami dan Ibu mertua yang berkhianat dan mata duitan."Baikah. Kami pulang dulu.""Tunggu! Jangan lupa ya, akhir bulan ini dilunasi! Jika tidak, akan kami sita semuanya!" ancam Pak Ujang.Ternyata Ibu sedang kesakitan. Perutnya katanya sakit. Mungkin karena makan yang terlalu banyak, atau bisa jadi karena ibu kaget dengan ancaman Pak Ujang. "Ibu k
Sekarang ini, uangku lebih berharga daripada kamu, Kang. Kamu sudah menyakiti hati ini. Rasanya tak ada harapan lagi untuk aku menjadikanmu sebagai pangeranku.Aku sudah bangun dari mimpi. Semua sudah terbuka, termasuk mataku ini."Apa? Aku nggak egois. Aku realistis saja. Kamu yang menanam, kamu pula yang menuai. Jangan malah jadikan aku sebagai orang yang harus bertanggungjawab atas apa yang kamu tanam, Kang."Kang Ikbal terdiam di skak mat olehku. Kemudian ia pergi tanpa bicara sedikitpun. Aku tak peduli lagi dengan kelakuannya. Silahkan akang mau berbuat apapun, Kang.***Ibu belum menyadari kalau brangkasnya sudah tak ada di tempat. Aku masih belum menemukan nomor kombinasi untuk membukanya. Semoga rezeki untuk bisa membuka brankasnya nanti.Kali ini Ibu tak mau mengantar anak-anak. Ibu marah karena aku tak menuruti keinginannya dan Kang Ikbal untuk membayar utang mereka. Aku tak mau mereka keenakan. Biar saja rumah dan mobil kami disita."Ya sudah, Bu. Aku yang antar anak-anak s
Kubereskan semua, kubawa yang penting saja. Segera kuraih sapu yang kubawa, agar berpura-pura menyapu. Ketika keluar, Kang Ikbal sudah di depan kamar Ibu."Kamu sedang apa di kamar Ibu, Alma?" tanya Kang Ikbal."Akang nggak liat? Aku lagi nyapu," jawabku."Nyapu? Ngapain nyapu jam segini? Harusnya tadi pagi," katanya."Kang Ikbal ngapain pulang jam segini?Harusnya dari kemarin Akang udah pulang. Akang tega, malah pergi ninggalin aku gitu aja," ucapku."Kamu yang egois, Alma. Tak mau membantu keuangan keluarga. Padahal kamu akan dapat pahala bila bersedekah," katanya sok bawa-bawa sedekah.Aku tau memang sedekah terbaik seorang suami itu pada istri dah anak-anaknya. Jika Istri punya penghasilan pun, jika dipakai oleh suami itu namanya sedekah. Namun, sudah cukup semua telah kulakukan. Lebih baik sedekah pada yang lain daripada pada Kang Ikbal yang jelas-jelas sudah menghabiskan uang yang kuberi dan ia pun mengkhianatiku."Kamu yang egois. Pengen dibantu terus, padahal yang bantu bisni
Tenang saja, Bu. Mulai hari ini aku akan keluar dari rumah yang sudah menjadi rumahku sejak kecil. Aku berusaha mempertahankannya dengan merenovasinya, tapi ternyata bukan milikku. Aku harus ikhlas melepas rumah ini, sama seperti aku ikhlas melepaskan Kang Ikbal untuk Susi.Biarlah saja, wanita yang baik tentunya untuk laki-laki yang baik, demikian pula sebaliknya.[Alma, kenapa nggak dibalas? Padahal kami sudah membacanya. Tolonglah Alma. Selama ini Ibu sudah menjaga anak-anakmu dan suamimu kan?]Ibu kembali mengingatkanku akan jasanya. Aku tau dia sudah menjaga, tapi juga membuat mereka menderita. Anakku senang saat ku datang, karena mereka bebas dari penderitaan.Suami? Kurasa Ibu tak pernah menasehati Kang Ikbal dikala Kang Ikbal ingin menikahi Susi. Seharusnya Ibu bisa menasehatinya dan mengingatkan Kang Ikbal kalau ia masih terikat pernikahan denganku.[Terima kasih Ibu sudah menjaga mereka. Tapi aku tak bisa membalas semua pengorbanan Ibu. Maaf ya Bu.]Setelah itu mobil jemputa
Gegas aku mengambil ponsel dan mengambil posisi foto yang pas. Akan kuabadikan kedatangan laki-laki itu. Ia datang terburu-buru. Parkir mobil di badan jalan, walau di pinggir. Kemudian turun dan memasuki rumah Susi.Kusempatkan memoto dan merekam seadanya."Ma, ayo makan!" ajak Hanif."Yuk!" Aku mengikuti Hanif ke meja makan. Bi Ikah sudah menyiapkan makan untuk kami."Wah, terima kasih ya, Bi, sudah memberikan makan siang menjelang sore untuk kami.""Sama-sama Neng Alma. Semoga Neng Alma dan anak-anak bisa betah di sini." "Iya, Bi. Pasti itu."Seusai makan, anak-anak kembali ke kamarnya. Aku dan Bi Ikah ngobrol sama-sama."Neng Alma, tadi Bibi liat kalau Neng Susi ada di rumah depan. Memangnya Neng Susi rumahnya di situ?" tanya Bi Ikah."Iya, Bi. Susi memang tinggal di situ. Aku sengaja pindah ke sini, supaya deket sama dia. Dan taukah Bi, siapa suaminya?" Sengaja kulebarkan mata ini.Tau dong, Neng. Masa nggak tau sih?" katanya."Iya, Bi. Bibi benar waktu itu. Ia adalah Kang Ikbal,
"Yang penting ulet. Jika ada kerikil di jalan, jadikan tantangan, agar tantangan itu menjadi jalan untuk menjadi besar," katanya. Sungguh, kata-kata Kang Rahman begitu memotivasiku.Sepertinya aku cocok ngobrol bareng seperti ini dengannya. Namun ternyata sudah malam. "Kang, udah malem. Nggak kerasa ya ngobrol ngalor-ngidul, eh dah malem aja," ucapku."Iya, Teh Alma. Makasih banget ya, Akang udah dikasih kesempatan kenal lebih dekat keluargamu.""Sama-sama, Kang. Terima kasih juga silaturahimnya!" Aku mengantar sampai pintu saja. Ketika kulihat di rumah depan, motor sport Kang Ikbal datang. Mobil laki-laki tadi sudah tak ada, aku kecolongan. Tadinya mau memperhatikan kapan ia keluar dari rumah Susi, tapi tak terperhatikan."Aku pulang ya, Teh!""Iya, Kang. Hati-hati di jalan!" Kang Ikbal yang baru turun dari motor sportnya menengok ke belakang. Mungkin ia mendengar suaraku, jadi ia mencari sumber suara. Aku masuk ke dalam, bersembunyi di balik jendela. Terlihat Kang Ikbal keluar g