"Boleh boleh. Nanti saya kasih nomor ponselnya ya! Memangnya buat apa nomor saya Neng Alma?" tanyanya."Kali aja nanti saya butuh uang. Bisa langsung calling sama Pak Ujang," jawabku."Oh gitu. Sekarang pun saya mau bicarakan tentang rumah dan mobilmu."Apa? Maksudnya apa? Aku dan Ibu sama-sama mendekati Pak Ujang."Kita masuk saja ke dalam," katanya. Ia meminta kami masuk ke rumah Susi.Susi memandangiku, aku tak peduli. Yang penting aku masuk dan tau kabar tentang rumahku.Kami duduk sama-sama di ruang tamu. Pak Ujang akan mengatakan sesuatu."Bu Odah dan Neng Alma, rumah dan mobilnya sudah ada yang bantu menebusnya. Ia yang membayar lunas semuanya," ucap Pak Ujang.Aku dan Ibu masih sama-sama terkejut dengan pernyataan Pak Ujang. Siapa yang melakukannya? "Siapa Pak?" tanya seseorang yang ada di dekatku yaitu Ibu."Dan itu berarti rumah dan mobil kalian sudah ada yang punya. Jadi tolong bersihkan isinya karena ada yang akan mengontrak di sana."Ibu semakin penasaran karena Pak Ujan
Kalau aku, jika dihubungi, aku kan balas. Jika tidak, ya tidak usah memulai untuk menghubungi.Kemudian, ada notifikasi pesan di aplikasi hijau. Saat kubuka, ternyata dari nomor baru. Di situ ada video saat Kang Rahman berbicara dengan beberapa orang. Ada Dilla dan dua orang lagi.Kudengarkan percakapan di video itu. Mereka membahas surat dari almarhumah istri Kang Rahman. Isinya ternyata menyuruh Kang Rahman untuk menikahi Dilla.Kang Rahman mencoba menolak melakukan itu, namun kedua orangtua almarhumah Hani memaksa Kang Rahman menerima Dilla jadi istrinya.Kang Rahman tetap nggak mau. Akhirnya Kang Rahman setuju jika kedua anaknya setuju juga. Aku tak tau maksud si pengirim dalam mengirimkan video ini padaku. Aku bukan apa-apanya Kang Rahman. Tapi aku malah diberi video ini. Kubuka info si pengirim, ternyata foto Dilla dengan nama Dill. Itu berarti benar, si empunya nomor WhatsApp ini adalah Dilla. Aku tak mau membalasnya. Buat apa dibalas juga? Aku tak ada sangkut pautnya dengan
Apa ini hanya strategi ibu saja? Iya begitu menginginkan untuk menginap di sini. Sebaiknya ku telepon Susi untuk membawa pulang Ibu dari sini. Mungkin Susi sendiri akan merasa malu jika mertuanya malah menginap di rumahku."Sebentar ya Bu, aku mau ke dalam dulu!" Kutinggalkan ibu sendiri di ruang tamu.Kemudian di dalam kamar, aku menelepon Susi."Halo Susi, jemputlah ibu mertuamu ini. Sedari siang, Ibu sudah di sini dan tak mau pulang sampai sekarang," ungkapku pada Susi di telepon."Apa Ibu ada di rumahmu? Kata ibu tadi akan melihat rumah di kampung.""Maksudmu apa? Apa Ibu mau melihat rumah lama kami?" tanyaku."Ya, rumah lama itu sudah kembali ke tangan ibu," jawab Susi."Kok bisa? bukannya sudah ada yang menebus?" tanyaku."Kamu terlalu polos, Alma. Oh ya, kamu polos apa bod*h ya?" Susi mulai menjengkelkan."Tapi sejak siang ibu ada di rumahku. Justru kamu yang dibod*hi," jawabku."Terserah kamu saja, yang penting aku tahu rahasia itu. Itulah yang membuatmu terlihat b*doh!" ucapn
"Baiklah, Sus. Aku pergi dulu ya!"Kemudian aku menyusuri jalan pelan-pelan. Mencarinya di kanan dan kiri, mungkin Ibu belum jauh berjalan. Kuingat-ingat pakaian Ibu hari ini.Semua terekam dalam ingatanku, lalu aku mencarinya terus. Namun masih belum menemukannya juga.Saat putus asa, aku berhenti dulu di sebuah taman kota. Kuparkirkan mobil tak jauh dari kursi taman. Aku duduk di sana sembari memandangi langit yang hitam pekat. Tentunya sambil berdoa agar Ibu baik-baik saja dan segera bisa kutemukan. Terdengar suara ponsel, Kang Ikbal menelepon."Alma, kamu gimana sih, kok bisa Ibu menghilang di rumahmu?" tanya Kang Ikbal. "Maaf Kang. Aku juga nggak tau Ibu bakal pergi. Karena aku hanya menelepon Susi dari kamar, Ibu kutinggal di ruang tamu," sahutku"Makanya jadi orang harus ikhlas. Ada orang tua datang dan mau menginap, kamu nggak mau menampung Ibu sehingga menelepon Susi. Kamu nggak tau pengorbanan Ibu merawat anak-anak," katanya.Aku diam, walau Ibu jahat tapi ia tetap merawat
Bab 1"Bu, aku mau pulang ke Indonesia besok.""Pulang? Kok ngedadak sih, Alma? Apa nggak sebaiknya Minggu depan?" tanya ibu mertuaku. Ialah yang mengurus kedua anakku selain suamiku karena kedua orang tuaku sudah meninggal. Jadi, selama aku di Arab Saudi, suami dan mertua yang mengurusi anak-anak."Iya ngedadak. Soalnya aku nggak bisa ngabarin, udah dua Minggu lalu majikanku meninggal dunia. Aku mau pulang saja karena kangen sama anak-anak," jawabku."Kamu belum menghubungi Ikbal suamimu?" "Belum, Bu. Kang Ikbal susah dihubungi. Memangnya Ibu nggak ikutin berita ya? Kan berita meninggalnya majikanku ada di media-media Indonesia, khususnya di tok-tok.""Nggak tau," katanya."Berarti Ibu nggak tau kalau aku dapat warisan 2M dari majikanku?" "Nggak tau juga, Ma. Ya udah kamu pulang aja, nanti Ibu akan menyambut kedatanganku dengan meriah," katanya."Baik, Bu."Setelah menelepon Ibu, sepertinya ada yang janggal dengan percakapan tadi. Ibu memintaku jangan pulang dulu. Tapi setelah ia t
Bab 2"Alma! Cepatlah! Makan dulu yuk! Kamu yang harus makan duluan sebelum kami." Tangan Ibu mencengkeram lenganku. Aku baru perhatikan kalau Ibu memakai banyak perhiasan. Ada lima buah gelang, di kiri dan kanan, serta beberapa cincin di jarinya."Iya Bu, sebentar." Aku mengikutinya masuk ke dalam.Di ruang tamu, sudah berkumpul banyak orang. Ibu membuka acara dan menceritakan pada semua orang kalau ia bangga pada menantunya. Katanya mau makan, tapi malah ada acara seperti ini.Aku menyenggol ibu agar segera bisa makan."Kamu dulu yang mulai, nanti diikuti para tamu," katanya.Aku manut dan mulai mengambil makan siang menjelang sore ini. Semua menanyakan kabarku. Mereka menanyakan juga penyakitku apakah sudah sembuh?Aku bingung, selama ini aku tak ada penyakit apapun yang dialami di sana kecuali flu, batuk, pilek."Kayaknya udah sembuh. Liat aja dia gemukan sekarang," kata salah satu kerabat Ibu. Aku hanya tersenyum."Memangnya siapa yang cerita saya sakit?" Aku menanyainya sekarang
Bab 3"Ibu kenapa? Tolong jelaskan saya nggak paham," kataku."Ibunya Teh Alma banyak utangnya. Arisan aja udah dapet, belum bayar-bayar. Pas ditagih malah dianya yang galak, jadinya yang nagih pusing tujuh keliling," jawab Bu Tina salah satu Ibu yang berbicara denganku."Ya Allah, benarkah?""Iya, Teh. Trus, kita suka kasian sama anak Teteh, baju sekolahnya dah pada lusuh tetep dipake. Saat kita tanya, memangnya nggak ada baju lain? Eh dijawab katanya kalau pake yang baru Kebagusan buat mereka."Ya Allah, tega banget Ibu bicara seperti itu sama anak-anak. Berarti selama ini Ibu senang-senang pakai uangku. Tanpa memberikan hak anak-anakku."Baik, Bu Ibu. Hatur nuhun informasinya," ucapku pada mereka. Segera aku meninggalkan warung untuk kembali ke rumah.Itu berarti aku takkan memberinya uang lagi. Bisa bahaya nanti kalau ibu pegang uang terus tanpa diberikan pada haknya.Sesampainya di rumah, aku mendengar ibu sedang berbicara."Pokoknya kamu jangan ngadu sama Ibumu!" Ibu sedang mema
Bab 4Aku harus menyelidikinya. Kang Ikbal tak boleh main serong di belakangku. Aku aja bisa menjaga diri dan hati saat di sana. Ia pun harusnya bisa berbuat sama denganku.Kemudian aku memperhatikan Kang Ikbal. Setelah bangun tidur, ia sepertinya ada acara. Ia merapikan diri di depan cermin. Aku memandangnya dari belakang."Eh, Neng Alma sedang apa di situ?" Ia menghampiriku, lalu mengecup keningku."Lagi liatin Akang yang makin ganteng. Selama aku nggak ada, Akang perawatan di mana?"Ia menyeringai, balas menatapku. Lalu ia menjawil hidungku."Akang harus terlihat menarik di depan para costemer batu akik, biar mereka beli," katanya."Memangnya perlu laki-laki ganteng ya? Kan paling yang beli laki-laki tua aja, ya kan?" "Nggak, Neng. Semua kalangan ada laki-laki muda dan tua, ada juga wanita muda dan tua," katanya."Oh, pantes. Pasti udah ada yang nyangkut ya?" Aku balas menyeringai."Nyangkut? Iya pasti ada dong. Suamimu ini jadi pengusaha batu akik terbesar di Jawa Barat," katanya