Share

Keadaan Kamar Hanifa dan Hanif

Bab 2

"Alma! Cepatlah! Makan dulu yuk! Kamu yang harus makan duluan sebelum kami." Tangan Ibu mencengkeram lenganku. Aku baru perhatikan kalau Ibu memakai banyak perhiasan. Ada lima buah gelang, di kiri dan kanan, serta beberapa cincin di jarinya.

"Iya Bu, sebentar." Aku mengikutinya masuk ke dalam.

Di ruang tamu, sudah berkumpul banyak orang. Ibu membuka acara dan menceritakan pada semua orang kalau ia bangga pada menantunya. Katanya mau makan, tapi malah ada acara seperti ini.

Aku menyenggol ibu agar segera bisa makan.

"Kamu dulu yang mulai, nanti diikuti para tamu," katanya.

Aku manut dan mulai mengambil makan siang menjelang sore ini. Semua menanyakan kabarku. Mereka menanyakan juga penyakitku apakah sudah sembuh?

Aku bingung, selama ini aku tak ada penyakit apapun yang dialami di sana kecuali flu, batuk, pilek.

"Kayaknya udah sembuh. Liat aja dia gemukan sekarang," kata salah satu kerabat Ibu. Aku hanya tersenyum.

"Memangnya siapa yang cerita saya sakit?" Aku menanyainya sekarang.

Ibu tiba-tiba datang dan menyuruh kerabatnya pulang. Katanya dicari oleh suaminya.

"Ya udah, saya permisi dulu," pamitnya. 

Aku sebenarnya capek ingin istirahat, tapi masih banyak orang seperti ini. Karena tak kuat menahan capek, aku putuskan masuk kamarku.

"Eh, Alma maaf ibu lupa kalau kamarmu bukan yang itu," kata Ibu.

"Loh, yang mana, Bu? Ini kamar siapa?" tanyaku.

"Ini kamar Ibu. Kamu di kamar Ibu yang dulu aja, ya!"

Walau sudah direnovasi, letak ruangan masih seperti dulu, yang berbeda hanya luasnya saja.

"Ya udah, Bu." Aku ikut aja apa kata Ibu.

Di kamar, aku sangat mengantuk, rasanya ingin merebahkan diri dan memejamkan mata walau hanya sekejap.

***

Rumah sudah sepi. Kedua anakku juga tak terlihat. Suami dan Ibu juga belum kelihatan.

Aku berjalan menuju kamar anakku.

"Hanifa, Adekmu ada kan di kamar sebelah?" 

"Iya, ada. Hanif tadi sedang tidur, Bu," jawab Hanifa.

Kuperhatikan keadaan kamar anakku. Ranjangnya tak diganti, tas masih yang lama, serta lemari dan lainnya tak menggunakan yang baru.

"Hanifa, kesini Sayang! Ibu mau tanya sama kamu. Selama sama Nenek dan Bapak, apa kalian bahagia?" tanyaku pada gadis berusia sebelas tahun itu.

"Iya, Bu. Aku ... Aku bahagia, Bu," jawabnya sambil menunduk.

"Tatap mata Ibu, Nak. Jangan menunduk. Ibu hanya ingin kebenaran yang terungkap," sahutku sembari mengangkat dagu putriku. Mata kami bertemu, Hanifa menangis. Ada apa ini?

Ia menangis memelukku erat. Hanifa menangis pelan, tidak meraung. Katanya ia takut. Tapi, takut apa?

Aku sudah bisa mengambil kesimpulan, ia tak merasakan kebahagiaan selama ini. Pantas saja Ibu jarang memberikan teleponnya pada kedua anakku untuk berbicara.

"Nenek ... Nenek.--" Tiba-tiba pintu kamar diketuk. Aku segera membukakan pintu.

"Iya, Bu." Setelah kulihat, ibu yang datang. Ia mau berbicara padaku.

"Kesini sebentar!"

"Iya, Bu. Ada apa?" tanyaku setelah keluar mengikuti Ibu.

"Begini. Rumah ini belum selesai renovasinya. Uangnya sudah habis, Alma. Kamu bisa kasih tambahan ke Ibu?"

"Baru aja aku kirim awal bulan kemarin, Bu. Trus, katanya Kang Ikbal punya mobil, mana mobilnya?" Aku mencari-cari keberadaan mobil yang katanya sudah dibeli suamiku.

"Ikbal sedang pergi, Ma. Sebentar lagi juga pulang," kata Ibu.

"Kemana Kang Ikbal malem-malem?"

"Biasa, bisnis. Dia jual beli batu akik," kata Ibu.

"Bukannya udah nggak musim ya, Bu?"

"Tapi peminatnya masih banyak," jawabnya.

"Gimana, Ma? Yang tadi?"

"Alma aja yang ngurus. Lagipula aku kasihan sama Ibu. Pasti repot terus. Sekarang, Ibu duduk manis aja ya!"

Aku sengaja tidak mau melibatkan Ibu karena ia sudah capek mengurus semua sampai saat ini. Harusnya aku bersyukur Ibu sudah membantuku.

"Bu, kenapa lemari, ranjang dan lainnya di kamar Hanifa tidak diganti? Sementara di kamar Ibu baru semua kulihat."

"Nah itu dia, kekurangan buat beli furniture. Uangnya kehabisan, jadi belum sempat dibelikan," katanya.

"Tapi Ibu bilang semua sudah selesai waktu itu, beli furniture baru."

"Kapan? Mungkin waktu itu belum dilist benar-benar. Kamu nggak percaya sama Ibu?"

Kalau sudah begini, aku saja yang mengalah. Ibu sudah berkorban tenaga dan waktu untuk mengurusi semuanya.

***

Pagi ini, aku belanja ke warung dekat rumah. Ibu-ibu tetangga menyambutku dengan baik. Mereka membahas warisanku yang katanya ada di televisi.

"Teh Alma bisa beli apapun dari uang itu. Pasti teh Alma seneng ya. Tapi, hati-hati sama Ibu mertua teteh," katan

ya.

"Memang ada apa dengan Ibu?"

"Duh, gimana ya? Kita juga nggak mau jelekin, tapi.--"

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status