Bab 3
"Ibu kenapa? Tolong jelaskan saya nggak paham," kataku.
"Ibunya Teh Alma banyak utangnya. Arisan aja udah dapet, belum bayar-bayar. Pas ditagih malah dianya yang galak, jadinya yang nagih pusing tujuh keliling," jawab Bu Tina salah satu Ibu yang berbicara denganku.
"Ya Allah, benarkah?"
"Iya, Teh. Trus, kita suka kasian sama anak Teteh, baju sekolahnya dah pada lusuh tetep dipake. Saat kita tanya, memangnya nggak ada baju lain? Eh dijawab katanya kalau pake yang baru Kebagusan buat mereka."
Ya Allah, tega banget Ibu bicara seperti itu sama anak-anak. Berarti selama ini Ibu senang-senang pakai uangku. Tanpa memberikan hak anak-anakku.
"Baik, Bu Ibu. Hatur nuhun informasinya," ucapku pada mereka. Segera aku meninggalkan warung untuk kembali ke rumah.
Itu berarti aku takkan memberinya uang lagi. Bisa bahaya nanti kalau ibu pegang uang terus tanpa diberikan pada haknya.
Sesampainya di rumah, aku mendengar ibu sedang berbicara.
"Pokoknya kamu jangan ngadu sama Ibumu!" Ibu sedang memarahi siapa? Lantas, aku langsung masuk. Ada Ibu dan Hanif. "Ada apa ini?" tanyaku dengan suara lantang.
Ada pecahan piring berisi nasi terhambur di dekat meja makan. Hanif memakai seragam sekolah yang masih putih bersih. Sepertinya baru beli dari toko, karena masih terlihat kaku.
"Itu kenapa di buang?"
"Bu, Bukan dibuang, Bu. Aku menjatuhkannya. Maafkan aku, Bu!"
"Iya, makanya Ibu bilang jangan ngadu sama kamu, biar dia nggak dimarahi kamu, Alma."
Aku melirik Hanif, mencari kejujuran di matanya.
"Benar itu, Hanif?"
"Mmm ... Bener, Bu. Udah, Bu, aku sama Teteh mau berangkat dulu, ya!"
"Kamu kan belum sarapan, jangan dulu berangkat sebelum perutmu terisi. Tetehmu udah sarapan?"
"Iya, Bu."
"Cepat, Hanif kamu sarapan dulu. Pecahan piringnya biar Nenek yang bereskan."
Kemudian aku menemui Hanifa. Ia ada di kamarnya, sudah selesai memakai seragam.
"Baju seragammu masih baru ya?"
"Mmm ... udah lama kok, Bu. Cium aja wanginya!"
Tapi aku melihatnya masih baru walau sudah dicuci berkali-kali, kata Hanifa.
"Kamu sarapan dulu ya, Nak, sebelum berangkat," ucapku.
"Iya, siap."
Hanifa menuju ruang makan. Di sana Hanif sudah selesai sarapannya.
Aku mencari Kang Ikbal. Ia harus mengantar anak-anak. Ia pulang sangat larut, jam segini masih tidur.
"Kang, bangun! Udah siang loh! Anterin anak-anak." Kang Ikbal ini nggak ada kangen-kangennya sama Istri. Aku datang malah dicuekin, pulang larut malam.
"Oh iya lupa aku, Neng." Ia mengerjapkan matanya.
"Kamu nggak salat subuh. Aku aja di Arab Saudi sekarang rutin salat lima waktu loh."
"Ah, kamu bisa aja. Waktu di sini, boro-boro," katanya.
"Manusia kan ingin lebih baik dan baik lagi. Contohnya aku, Kang. Kamu harusnya bersyukur punya istri yang lebih religius sekarang. Malah kamu bandingkan dengan masa lalu," jawabku.
Aku sangat tidak terima diperlakukan seperti ini. Kukira Kang Ikbal sudah berubah, ternyata masih seperti ini, pemalas dan selalu meremehkan orang lain.
"Iya, kalau punya kebaikan nggak usah pamer, Neng. Kamu itu harusnya fokus aja sama diri kamu," katanya.
Pusing bicara dengan Kang Ikbal. Aku lebih baik ke dapur, memasak untuk menghilangkan rasa kesalku.
Waktunya berangkat sekolah, Kang Ikbal masih saja tidur. Ia malah memejamkan matanya kembali. Kuhela napas agar tak marah-marah padanya lagi. Aku harus fokus pada anak-anak.
Sekolah anakku lumayan jauh, jadi memang harus diantar.
"Ya udah, aku yang antar saja!"
"Nggak usah, biar Ibu saja. Kamu di rumah ya!" timpal Ibu yang berada di dekatku sesaat aku keluar dari kamar.
"Sama siapa?"
"Nanti Ibu panggil tetangga yang bisa nyupirin."
Aku setuju, mereka pun berangkat.
"Hati-hati di jalan ya semuanya!"
Anak-anak menghampiri dengan mencium tanganku. Aku mengantar mereka ke depan.
Aku meneruskan memasak di dapur. Rencananya hari ini aku akan mengurusi tabungan anak-anakku, selain itu mengurus uangku juga. Selama ini, ku transfer juga tiap bulan untuk mereka. Kuharap dananya pasti sudah besar.
Aku juga tak akan mentransfer lagi ke rekening suamiku. Karena ia juga sudah punya bisnis batu akik dan aku pun sudah di sini. Paling aku beri bulanan nanti pada Ibunya saja.
Saat aku sedang heboh memasak di dapur, suara ponsel berbunyi. Kulihat ada panggilan dari seseorang dengan nama Syg. Siapa dia?
Aku mengangkatnya, tapi tak ada jawaban. Yang ada malah d
itutup. Ketika kubuka ponselnya, ternyata dikunci. Apa Kang Ikbal punya wanita lain?
Bersambung
Bab 4Aku harus menyelidikinya. Kang Ikbal tak boleh main serong di belakangku. Aku aja bisa menjaga diri dan hati saat di sana. Ia pun harusnya bisa berbuat sama denganku.Kemudian aku memperhatikan Kang Ikbal. Setelah bangun tidur, ia sepertinya ada acara. Ia merapikan diri di depan cermin. Aku memandangnya dari belakang."Eh, Neng Alma sedang apa di situ?" Ia menghampiriku, lalu mengecup keningku."Lagi liatin Akang yang makin ganteng. Selama aku nggak ada, Akang perawatan di mana?"Ia menyeringai, balas menatapku. Lalu ia menjawil hidungku."Akang harus terlihat menarik di depan para costemer batu akik, biar mereka beli," katanya."Memangnya perlu laki-laki ganteng ya? Kan paling yang beli laki-laki tua aja, ya kan?" "Nggak, Neng. Semua kalangan ada laki-laki muda dan tua, ada juga wanita muda dan tua," katanya."Oh, pantes. Pasti udah ada yang nyangkut ya?" Aku balas menyeringai."Nyangkut? Iya pasti ada dong. Suamimu ini jadi pengusaha batu akik terbesar di Jawa Barat," katanya
Bab 5Sebelum anak-anak pulang, aku segera ke rumah Bi Ikah. Akan ku cari info dari Bi Ikah mengenai Ibu Mertua dan Suamiku.Kembali diantar oleh Kang Rahman. Setelah turun, aku memberikan sejumlah uang padanya dengan jumlah yang tak sedikit karena ia sudah mengantarku kesana kemari.Kang Rahman tak mau mengambilnya, katanya dia ikhlas mengantarku. Dan sebenarnya dia bukan tukang ojeg yang biasa mangkal. Karena motornya berhenti, tadi langsung saja kuminta ia untuk mengejar Kang Ikbal.Katanya sekarang rumahnya bukan di sini sekarang. Rumah yang di sini, ia kontrakan. Ia ke sini hanya untuk menemui pengontrak rumahnya.Betapa malunya aku ketika mengetahui hal itu."Maafkan ya, Kang. Saya malah mengira Akang tukang ojeg. Maaf sekali lagi ya!" ucapku sembari menunduk karena malu."Nggak apa-apa kok Teh Alma. Ya udah saya permisi dulu aja ya, Teh!""Iya, hati-hati ya, Kang!"Aku kembali ke tujuanku untuk menemui Bi Ikah. Sekarang aku sudah di depan rumahnya.Rumah Bi Ikah berjarak bebera
Bab 6"Maaf, Bu. Aku habis jalan-jalan. Ibu dan anak-anak sudah pulang ternyata. Untungnya aku udah masak tadi, Bu.""Jalan-jalan kemana pake baju biasa gitu? Jangan bilang kamu habis ngegosip sama ibu-ibu tetangga? Jangan pernah percaya sama penggosip," katanya..Sepertinya Ibu ketakutan kalau aku mengetahui tentangnya dari tetangga. Aku tak akan langsung menuduhnya. Akan kucari bukti-bukti kecurangannya."Ke kota, Bu. Kalau di Arab, justrubaku pake gamis item gini, tinggal pake cadarnya deh. Jadi, baju kayak gini kalau di sana, jadi kebiasaan. Dan memang Sunnahnya kalau perempuan pake baju yang tidak mencolok, Bu.""Kalau kayak gitu, gimana suamimu mau kembali," katanya."Apa, Bu?""Eh, iya maksudnya mau melirik kamu loh, Alma," ralatnya. Aku tertawa dalam hati. Ternyata Ibu keceplosan, dan itu berarti Ibu sudah tau kalau Kang Ikbal dan Susi nikah siri."Kang Ikbal memang udah ke lain hati kayaknya, Bu.""Loh, memangnya kenapa? Ada yang bicara enggak-enggak sama kamu?" Ibu kebakaran
Bab 7Ternyata Ibu tak menyadari aku ada di kamarnya. Aku buru-buru menaruh brankas kecil itu di kamarku."Iya, Bu. Sebentar. Aku ketiduran," ucapku.Namun aku berpikir, buat apa kubawa brankas Ibu, tapi belum ada nomor PINnya. Tetap saja nanti tak bisa dibuka. Biar kucari lagi nanti nomor PINnya.Pada akhirnya brankas kuamankan di kamarku agar Ibu tak tau tempat menyimpannya. Uang hasil keringatku malah dibelikan emas, padahal harusnya untuk kebutuhan anak-anakku."Hanifa, kamu kok nggak cuci piring tadi habis makan?" gerutu Ibu. Padahal aku ada di rumah, Ibu berani memarahi anakku."Kamu juga Hanif, harusnya kamu buang sampah sana! Kan udah makan, harusnya mau buat buang sampahnya.""Iya, Nek. Sebentar.""Ah Nenek, semua kerjaan sama kita. Nenek cuma nyantai aja, trus baru sekarang Nenek mau beli bakso. Biasanya nyuruh aku. Nenek suka sesukanya nyuruh aku sama kak Hanifa, ngasih makan jarang. Sekarang ada ibuku, Nenek pura-pura baik," katanya panjang lebar. Aku terbelalak, ternyata
Bab 8Kami akan makan malam bersama. Kupesan nasi goreng melalui Bi Ikah, aku meminta agar nasi gorengnya spesial, pakai udang juga. Tapi jangan sampai kelihatan ada udang di situ, udangnya harus dihaluskan.Aku punya rencana bagi Susi, yang kutau dia alergi udang. Jika ia makan makanan mengandung udang, biasanya badannya bentol-bentol besar. Akan kubuat alerginya kambuh."Ayo dimakan dulu nasi goreng spesialnya," ucapku."Wah, enak nih kayaknya," ucap Susi.Kami makan melingkar di meja makan. Aku duduk berhadapan dengan Kang Ikbal, sedangkan Susi ada di sebelahku. Di sebelah Kang Ikbal ada anak-anak kami Hanif dan Hanifa.Kang Ikbal selalu menyorot seseorang di sebelahku. Aku tau karena ia di depanku. Ia jarang melihat kearahku. Rasanya sangat perih, ketika suami lebih memperhatikan wanita lain yang ternyata adalah istri mudanya. Sementara istrinya sendiri baru pulang, tak disentuh sedikitpun."Sus, tambah lagi. Kayaknya anakmu suka banget. Ayo ah Sus, kalau mau tambah, nggak usah ra
"Mmm ... Maaf, Alma. Aku harus buru-buru pergi lagi," katanya."Loh, kok malah buru-buru pergi? Sebentar Kang. Kita bicarakan dulu soal tadi.""Nggak bisa. Aku harus buru-buru ke gerai batu akik. Sudah ada yang menunggu di sana," katanya.Kurasa Kang Ikbal menghindari pembicaraan sertifikat dan BPKB mobil. Makanya ia langsung tunggang langgang. Apa jangan-jangan surat-surat itu tak ada di tangannya? Aku jadi curiga, apa yang sebenarnya terjadi.Aku tak bisa mencegahnya pergi. Aku hanya bisa merutuk. Karena tak tahan, aku bertanya pada Ibu mertua."Bu, apa ibu tau dimana keberadaan sertifikat rumah ini? Sama BPKB mobil juga, Bu," tanyaku.Ibu terperanjat, ia juga kaget seperti Kang Ikbal. Dari sini aku tau berarti keduanya tau keberadaan surat-surat penting itu.Kalau mobil dibeli saat aku di luar negeri, aku yakin pakai nama suamiku. Namun untuk rumah yang harus kuselamatkan, itu atas namaku. Aku harus bisa menemukan sertifikat rumah ini."Ibu nggak tau, Ma. Kamu udah tanyakan pada Ik
Aku pun heran sampai 100 persen lebih bunganya. Inilah kebodohan Kang Ikbal dan Ibu yang percaya meminjam uang dengan jaminan surat berharga kami. Akhirnya tagihannya sungguh di luar nalar kami.Itu sama saja harga jual keduanya dan kalaupun dijual, aku takkan dapat apa-apa dari sana. "Ya sudah, Pak. Saya hanya ingin tau tagihannya. Oya, kalau sertifikat rumahnya saja berapa yang harus saya tebus?""Nggak bisa rumah saja atau mobil saja, Teh. Ini harus tebus keduanya," kata Pak Ujang. Jawabannya saklek tak bisa diubah. Aku jadi kecewa berat dengan semua yang terjadi.Saat pulang, berharap kebahagiaan yang kudapat. Malah kesedihan yang ada. Suami dan Ibu mertua yang berkhianat dan mata duitan."Baikah. Kami pulang dulu.""Tunggu! Jangan lupa ya, akhir bulan ini dilunasi! Jika tidak, akan kami sita semuanya!" ancam Pak Ujang.Ternyata Ibu sedang kesakitan. Perutnya katanya sakit. Mungkin karena makan yang terlalu banyak, atau bisa jadi karena ibu kaget dengan ancaman Pak Ujang. "Ibu k
Sekarang ini, uangku lebih berharga daripada kamu, Kang. Kamu sudah menyakiti hati ini. Rasanya tak ada harapan lagi untuk aku menjadikanmu sebagai pangeranku.Aku sudah bangun dari mimpi. Semua sudah terbuka, termasuk mataku ini."Apa? Aku nggak egois. Aku realistis saja. Kamu yang menanam, kamu pula yang menuai. Jangan malah jadikan aku sebagai orang yang harus bertanggungjawab atas apa yang kamu tanam, Kang."Kang Ikbal terdiam di skak mat olehku. Kemudian ia pergi tanpa bicara sedikitpun. Aku tak peduli lagi dengan kelakuannya. Silahkan akang mau berbuat apapun, Kang.***Ibu belum menyadari kalau brangkasnya sudah tak ada di tempat. Aku masih belum menemukan nomor kombinasi untuk membukanya. Semoga rezeki untuk bisa membuka brankasnya nanti.Kali ini Ibu tak mau mengantar anak-anak. Ibu marah karena aku tak menuruti keinginannya dan Kang Ikbal untuk membayar utang mereka. Aku tak mau mereka keenakan. Biar saja rumah dan mobil kami disita."Ya sudah, Bu. Aku yang antar anak-anak s