Share

Mencari Perhiasan Ibu

Bab 6

"Maaf, Bu. Aku habis jalan-jalan. Ibu dan anak-anak sudah pulang ternyata. Untungnya aku udah masak tadi, Bu."

"Jalan-jalan kemana pake baju biasa gitu? Jangan bilang kamu habis ngegosip sama ibu-ibu tetangga? Jangan pernah percaya sama penggosip," katanya..

Sepertinya Ibu ketakutan kalau aku mengetahui tentangnya dari tetangga. Aku tak akan langsung menuduhnya. Akan kucari bukti-bukti kecurangannya.

"Ke kota, Bu. Kalau di Arab, justrubaku pake gamis item gini, tinggal pake cadarnya deh. Jadi, baju kayak gini kalau di sana, jadi kebiasaan. Dan memang Sunnahnya kalau perempuan pake baju yang tidak mencolok, Bu."

"Kalau kayak gitu, gimana suamimu mau kembali," katanya.

"Apa, Bu?"

"Eh, iya maksudnya mau melirik kamu loh, Alma," ralatnya. Aku tertawa dalam hati. Ternyata Ibu keceplosan, dan itu berarti Ibu sudah tau kalau Kang Ikbal dan Susi nikah siri.

"Kang Ikbal memang udah ke lain hati kayaknya, Bu."

"Loh, memangnya kenapa? Ada yang bicara enggak-enggak sama kamu?" Ibu kebakaran jenggot.

"Soalnya aku udah datang dari kemarin, masih dianggurin, Bu. Dia nggak kangen sama aku," ujarku memelas.

Perasaanku memang terasa sakit. Tapi aku tak boleh berlarut dalam kesakitan itu. Nanti bisa-bisa mereka yang menginjak-injak harga diriku.

"Mungkin Ikbal sibuk, Ma. Nanti coba Ibu bicara sama dia, ya! Masa istri secantik kamu dianggurin?" 

Aku hanya tersenyum melihat kepura-puraan Ibu. Ia sangat pintar bersandiwara.

***

Sore ini, aku sengaja menghubungi Susi.

"Assalamualaikum, Sus, aku udah di rumah loh. Kok kamu nggak ngunjungi aku dari kemarin?" tanyaku.

"Waalaikumsalam. Eh, iya. Aku masih sibuk. Tapi kayaknya nanti malem kalau kerjaanku udah selesai, aku pasti ke sana."

"Baiklah. Kamu ada di rumah kan?"

"Jangan ke rumahku! Aku udah pindah dari sana," jawab Susi.

"Ya udah minta nomor rekeningmu, ya. Aku mau bayar utang kemarin ongkos travel," kataku.

"Nggak usah, Alma. Kamu kayak ke siapa aja sih. Nggak usah diganti segala," katanya.

Aku nggak mau ngerasa berhutang sama seorang wanita yang telah mengambil suamiku. Ia sahabat pengkhianat, seperti suamiku. Mereka berdua harus merasakan sakit yang kurasakan.

Mereka tak tau rasanya dikhianati oleh orang yang kita sayang dan percaya. Rasanya seperti teriris sebilah pisau, amat sangat perih.

"Alma, kamu kenapa bengong?"

"Aku, sedang memikirkan Susi. Aku mau membayar utangku padanya, ia tak mau. Saat pulang kemarin, travel yang kutumpangi dipesankan dia, Bu."

"Susi emang baik. Dia wanita yang loyal, Ma." Ibu memuji Susi. Tentu, ia sudah menikah dengan anakmu, Bu. Pasti ia selalu memanjakan ibu dengan uangnya. 

Kang Ikbal dan Ibu sama-sama mata duitan. 

Kulihat kamarnya agak terbuka. Aku akan memint Ibu menjauh dari rumah dulu.

"Bu, aku minta tolong boleh?"

"Ada apa, Ma?"

"Aku pengen bakso, Bu. Tadi aku lihat di ujung jalan ada pangkalan bakso. Itu siapa yang jualan, Bu?" tanyaku.

"Oh, itu jualannya Mas Paijo. Sekarang dia nggak ngider lagi. Dia udah punya tempat sendiri."

"Wah, hebat. Itu di rumahnya?"

"Iya, itu rumahnya. Ya sudah, ibu belikan sekarang ya!" katanya.

Ibu mau ke kamarnya, tapi aku melarangnya dan mengajaknya untuk mengambil uang di kamarku. Sengaja biar ia tau tempat menyimpan uangku. Siapa tau Ibu kepo untuk mengambil uangku.

"Ini, Bu, uangnya. Beli empat aja ya, Bu."

"Iya. Alma, uangmu banyak banget di dompet. Nggak ditaro di bank aja?" tanyanya.

Benar saja, Ibu langsung siwer liat uang yang banyak. Aku masih saja tertawa dalam hati. Mudah-mudahan pancingan ini berhasil buat menangkap ikan yang sepertinya sudah lapar.

Saat Ibu pergi, buru-buru aku masuk kamarnya yang tak dikunci. Segera aku mencari perhiasan Ibu yang katanya sudah banyak dikumpulkannya. 

Kubuka lemarinya Ibu. Mencari ke semua bagian lemari. Tapi aku masih belum menemukannya. Lalu ternyata ada di lemari khusus. Di dalamnya ada sebuah brangkas yang harus menggunakan kode saat membukanya. Aku coba beberapa kode, tetap tak bisa dibuka. Kuputuskan untuk memotonya, lalu kuambil brangkas berukuran kecil itu. 

Selanjutnya aku mencari berkas-berkas rumah ini dan mobilku. Mungkin Ibu yang pegang. Tapi, ternyata tak ada.

Itu berarti Kang Ikbal yang memegang surat rumah dan mobil kami. Suara Ibu sudah terdengar. Ia sudah ada di depan kamar memanggil namaku. Buru-buru kurapikan semua yang sudah kuacak-acak.

"Alma, Alma, kamu di mana?" Ia malah menutup kamar ini. Lalu kudengar suaranya menuju ke dapur, tetap memanggil namaku.

Aku segera membuka pelan kamar ini, tapi ketika pintu terbuka ternyata ...

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status