Bab 5
Sebelum anak-anak pulang, aku segera ke rumah Bi Ikah. Akan ku cari info dari Bi Ikah mengenai Ibu Mertua dan Suamiku.
Kembali diantar oleh Kang Rahman. Setelah turun, aku memberikan sejumlah uang padanya dengan jumlah yang tak sedikit karena ia sudah mengantarku kesana kemari.
Kang Rahman tak mau mengambilnya, katanya dia ikhlas mengantarku. Dan sebenarnya dia bukan tukang ojeg yang biasa mangkal. Karena motornya berhenti, tadi langsung saja kuminta ia untuk mengejar Kang Ikbal.
Katanya sekarang rumahnya bukan di sini sekarang. Rumah yang di sini, ia kontrakan. Ia ke sini hanya untuk menemui pengontrak rumahnya.
Betapa malunya aku ketika mengetahui hal itu.
"Maafkan ya, Kang. Saya malah mengira Akang tukang ojeg. Maaf sekali lagi ya!" ucapku sembari menunduk karena malu.
"Nggak apa-apa kok Teh Alma. Ya udah saya permisi dulu aja ya, Teh!"
"Iya, hati-hati ya, Kang!"
Aku kembali ke tujuanku untuk menemui Bi Ikah. Sekarang aku sudah di depan rumahnya.
Rumah Bi Ikah berjarak beberapa rumah dari kami. Aku mendatanginya dan bertanya mengenai hal yang akan diungkapkan saat aku baru datang kemarin.
"Bi, coba teruskan ceritanya. Aku kan belum denger semua."
"Begini, Alma. Selama kamu nggak ada, kasihan anak-anakmu. Ceu Odah nggak memberi mereka jajan. Katanya sih buat ditabung sama dia. Tapi Bibi nggak yakin bisa ditabung, yang ada Ceu Odah beli terus perhiasan. Diunjuk-unjukin sama Bibi."
"Astaghfirullah. Pantes aja, masa kasur, lemari di kamar anak-anak yang udah nggak layak pakai. Kalau di kamar Ibu memang udah ganti baru." Aku duduk sembari memegangi kedua pelipisku.
"Iya. Memang seperti itu. Kalau lebaran, emang dibeliin baju? Enggak!"
"Ya Allah, kasihan Hanif sama Hanifa. Iya kata tetangga baju seragamnya biasanya udah kumel."
"Iya bener itu. Lihat aja badan anakmu memang nambah tinggi, tapi kurus-kurus kan?"
"Padahal aku meminta Ibu kasih makanan sehat, untuk susu juga aku kasih, Bi. Kalau kayak gini, aku harus buat perhitungan sama Ibu."
"Iya, Ceu Odah nyimpen semua perhiasannya di lemari kamarnya. Kamarnya selalu dikunci, takut ada yang masuk. Kan sekarang pakai kamar kamu yang dulu, Alma," katanya.
Oh, pantas saja kemarin aku nggak boleh masuk sana. Baiklah, akan kucari dulu kuncinya, nanti aku ambil perhiasannya. Enak saja Ibu berbuat curang seperti itu.
"Trus, Kang Ikbal gimana, Bi?" Aku sudah menyiapkan mental untuk menghadapi segala kemungkinan. Tapi aku rasa benar apa yang dilihatku barusan. Kang Ikbal sudah menikahi Susi dan mereka punya anak. Itu dugaanku.
"Ikbal udah menikah siri dengan Susi. Orang tuanya setuju dan tau. Tapi, lama-lama Haji Sanusi malah habis hartanya. Susi selalu merayu ayahnya untuk memodali suamimu bisnis. Dan bisnisnya selalu rugi. Jadi sekarang mereka hidup terpisah. Susi tinggal di kota, ayahnya tinggal di sini sendiri. Yang tersisa hanya rumah yang didiami ayahnya saja."
Ya Allah, rasanya tak kuat mendengar semua penuturan Bi Ikah. Kang Ikbal tak hanya menguras hartaku, ia juga ternyata menguras harta Pak Haji Sanusi.
Aku diam, sangat lama. Bi Ikah memberiku teh manis hangat agar aku baikan.
"Diminum dulu tehnya, Ma. Bibi kasihan sama kamu. Pulang ke Indonesia, malah dapat kekecewaan seperti ini."
"Iya Bi. Nggak apa-apa. Makasih atas kejujuran Bibi. Kalau aku nggak tau ini, mungkin aku masih dibodohi sama mereka, Bi."
"Sama-sama, Bibi juga senang bisa bilang ini. Tapi kalau ada Ceu Odah, Bibi nggak bisa buka suara," katanya.
"Iya, Bi. Hatur nuhun. Bi, ini ada sedikit buat Bibi. Terima, ya!"
"Ya Allah, Bibi nggak ngarepin ini. Bibi ikhlas kok memberitahukan kamu," katanya.
"Nggak apa-apa, Bi. Aku nggak pernah ngasih Bibi selama ini. Uangnya kutransfer ke Ibu sama Kang Ikbal aja."
Aku keluar, berniat untuk pulang.
Sampai di rumah, Ibu dan anak-anak sudah datang. Aku menghampiri mereka.
"Ibu dari mana? Hanifa nyariin kemana-mana dari tadi," katanya.
"Maaf, Ibu cuma habis jalan-jalan aja." Aku memeluk Hanifa.
Kemudian Ibu datang dari dalam.
"Alma, kamu dari mana saja sih? Rumah dibiarkan nggak dikunci gini. Nanti kalau ada pencuri gimana? Untung kamar Ibu aman, dikunci. Kamu tuh ya, nanti lagi jangan lupa dikunci rumahnya kalau mau pergi-pergian," kata ibu panjang lebar. Aku hanya menahan kekesalan pada Ibu dengan menghela napas berkali-kali.
Bersambung
Bab 6"Maaf, Bu. Aku habis jalan-jalan. Ibu dan anak-anak sudah pulang ternyata. Untungnya aku udah masak tadi, Bu.""Jalan-jalan kemana pake baju biasa gitu? Jangan bilang kamu habis ngegosip sama ibu-ibu tetangga? Jangan pernah percaya sama penggosip," katanya..Sepertinya Ibu ketakutan kalau aku mengetahui tentangnya dari tetangga. Aku tak akan langsung menuduhnya. Akan kucari bukti-bukti kecurangannya."Ke kota, Bu. Kalau di Arab, justrubaku pake gamis item gini, tinggal pake cadarnya deh. Jadi, baju kayak gini kalau di sana, jadi kebiasaan. Dan memang Sunnahnya kalau perempuan pake baju yang tidak mencolok, Bu.""Kalau kayak gitu, gimana suamimu mau kembali," katanya."Apa, Bu?""Eh, iya maksudnya mau melirik kamu loh, Alma," ralatnya. Aku tertawa dalam hati. Ternyata Ibu keceplosan, dan itu berarti Ibu sudah tau kalau Kang Ikbal dan Susi nikah siri."Kang Ikbal memang udah ke lain hati kayaknya, Bu.""Loh, memangnya kenapa? Ada yang bicara enggak-enggak sama kamu?" Ibu kebakaran
Bab 7Ternyata Ibu tak menyadari aku ada di kamarnya. Aku buru-buru menaruh brankas kecil itu di kamarku."Iya, Bu. Sebentar. Aku ketiduran," ucapku.Namun aku berpikir, buat apa kubawa brankas Ibu, tapi belum ada nomor PINnya. Tetap saja nanti tak bisa dibuka. Biar kucari lagi nanti nomor PINnya.Pada akhirnya brankas kuamankan di kamarku agar Ibu tak tau tempat menyimpannya. Uang hasil keringatku malah dibelikan emas, padahal harusnya untuk kebutuhan anak-anakku."Hanifa, kamu kok nggak cuci piring tadi habis makan?" gerutu Ibu. Padahal aku ada di rumah, Ibu berani memarahi anakku."Kamu juga Hanif, harusnya kamu buang sampah sana! Kan udah makan, harusnya mau buat buang sampahnya.""Iya, Nek. Sebentar.""Ah Nenek, semua kerjaan sama kita. Nenek cuma nyantai aja, trus baru sekarang Nenek mau beli bakso. Biasanya nyuruh aku. Nenek suka sesukanya nyuruh aku sama kak Hanifa, ngasih makan jarang. Sekarang ada ibuku, Nenek pura-pura baik," katanya panjang lebar. Aku terbelalak, ternyata
Bab 8Kami akan makan malam bersama. Kupesan nasi goreng melalui Bi Ikah, aku meminta agar nasi gorengnya spesial, pakai udang juga. Tapi jangan sampai kelihatan ada udang di situ, udangnya harus dihaluskan.Aku punya rencana bagi Susi, yang kutau dia alergi udang. Jika ia makan makanan mengandung udang, biasanya badannya bentol-bentol besar. Akan kubuat alerginya kambuh."Ayo dimakan dulu nasi goreng spesialnya," ucapku."Wah, enak nih kayaknya," ucap Susi.Kami makan melingkar di meja makan. Aku duduk berhadapan dengan Kang Ikbal, sedangkan Susi ada di sebelahku. Di sebelah Kang Ikbal ada anak-anak kami Hanif dan Hanifa.Kang Ikbal selalu menyorot seseorang di sebelahku. Aku tau karena ia di depanku. Ia jarang melihat kearahku. Rasanya sangat perih, ketika suami lebih memperhatikan wanita lain yang ternyata adalah istri mudanya. Sementara istrinya sendiri baru pulang, tak disentuh sedikitpun."Sus, tambah lagi. Kayaknya anakmu suka banget. Ayo ah Sus, kalau mau tambah, nggak usah ra
"Mmm ... Maaf, Alma. Aku harus buru-buru pergi lagi," katanya."Loh, kok malah buru-buru pergi? Sebentar Kang. Kita bicarakan dulu soal tadi.""Nggak bisa. Aku harus buru-buru ke gerai batu akik. Sudah ada yang menunggu di sana," katanya.Kurasa Kang Ikbal menghindari pembicaraan sertifikat dan BPKB mobil. Makanya ia langsung tunggang langgang. Apa jangan-jangan surat-surat itu tak ada di tangannya? Aku jadi curiga, apa yang sebenarnya terjadi.Aku tak bisa mencegahnya pergi. Aku hanya bisa merutuk. Karena tak tahan, aku bertanya pada Ibu mertua."Bu, apa ibu tau dimana keberadaan sertifikat rumah ini? Sama BPKB mobil juga, Bu," tanyaku.Ibu terperanjat, ia juga kaget seperti Kang Ikbal. Dari sini aku tau berarti keduanya tau keberadaan surat-surat penting itu.Kalau mobil dibeli saat aku di luar negeri, aku yakin pakai nama suamiku. Namun untuk rumah yang harus kuselamatkan, itu atas namaku. Aku harus bisa menemukan sertifikat rumah ini."Ibu nggak tau, Ma. Kamu udah tanyakan pada Ik
Aku pun heran sampai 100 persen lebih bunganya. Inilah kebodohan Kang Ikbal dan Ibu yang percaya meminjam uang dengan jaminan surat berharga kami. Akhirnya tagihannya sungguh di luar nalar kami.Itu sama saja harga jual keduanya dan kalaupun dijual, aku takkan dapat apa-apa dari sana. "Ya sudah, Pak. Saya hanya ingin tau tagihannya. Oya, kalau sertifikat rumahnya saja berapa yang harus saya tebus?""Nggak bisa rumah saja atau mobil saja, Teh. Ini harus tebus keduanya," kata Pak Ujang. Jawabannya saklek tak bisa diubah. Aku jadi kecewa berat dengan semua yang terjadi.Saat pulang, berharap kebahagiaan yang kudapat. Malah kesedihan yang ada. Suami dan Ibu mertua yang berkhianat dan mata duitan."Baikah. Kami pulang dulu.""Tunggu! Jangan lupa ya, akhir bulan ini dilunasi! Jika tidak, akan kami sita semuanya!" ancam Pak Ujang.Ternyata Ibu sedang kesakitan. Perutnya katanya sakit. Mungkin karena makan yang terlalu banyak, atau bisa jadi karena ibu kaget dengan ancaman Pak Ujang. "Ibu k
Sekarang ini, uangku lebih berharga daripada kamu, Kang. Kamu sudah menyakiti hati ini. Rasanya tak ada harapan lagi untuk aku menjadikanmu sebagai pangeranku.Aku sudah bangun dari mimpi. Semua sudah terbuka, termasuk mataku ini."Apa? Aku nggak egois. Aku realistis saja. Kamu yang menanam, kamu pula yang menuai. Jangan malah jadikan aku sebagai orang yang harus bertanggungjawab atas apa yang kamu tanam, Kang."Kang Ikbal terdiam di skak mat olehku. Kemudian ia pergi tanpa bicara sedikitpun. Aku tak peduli lagi dengan kelakuannya. Silahkan akang mau berbuat apapun, Kang.***Ibu belum menyadari kalau brangkasnya sudah tak ada di tempat. Aku masih belum menemukan nomor kombinasi untuk membukanya. Semoga rezeki untuk bisa membuka brankasnya nanti.Kali ini Ibu tak mau mengantar anak-anak. Ibu marah karena aku tak menuruti keinginannya dan Kang Ikbal untuk membayar utang mereka. Aku tak mau mereka keenakan. Biar saja rumah dan mobil kami disita."Ya sudah, Bu. Aku yang antar anak-anak s
Kubereskan semua, kubawa yang penting saja. Segera kuraih sapu yang kubawa, agar berpura-pura menyapu. Ketika keluar, Kang Ikbal sudah di depan kamar Ibu."Kamu sedang apa di kamar Ibu, Alma?" tanya Kang Ikbal."Akang nggak liat? Aku lagi nyapu," jawabku."Nyapu? Ngapain nyapu jam segini? Harusnya tadi pagi," katanya."Kang Ikbal ngapain pulang jam segini?Harusnya dari kemarin Akang udah pulang. Akang tega, malah pergi ninggalin aku gitu aja," ucapku."Kamu yang egois, Alma. Tak mau membantu keuangan keluarga. Padahal kamu akan dapat pahala bila bersedekah," katanya sok bawa-bawa sedekah.Aku tau memang sedekah terbaik seorang suami itu pada istri dah anak-anaknya. Jika Istri punya penghasilan pun, jika dipakai oleh suami itu namanya sedekah. Namun, sudah cukup semua telah kulakukan. Lebih baik sedekah pada yang lain daripada pada Kang Ikbal yang jelas-jelas sudah menghabiskan uang yang kuberi dan ia pun mengkhianatiku."Kamu yang egois. Pengen dibantu terus, padahal yang bantu bisni
Tenang saja, Bu. Mulai hari ini aku akan keluar dari rumah yang sudah menjadi rumahku sejak kecil. Aku berusaha mempertahankannya dengan merenovasinya, tapi ternyata bukan milikku. Aku harus ikhlas melepas rumah ini, sama seperti aku ikhlas melepaskan Kang Ikbal untuk Susi.Biarlah saja, wanita yang baik tentunya untuk laki-laki yang baik, demikian pula sebaliknya.[Alma, kenapa nggak dibalas? Padahal kami sudah membacanya. Tolonglah Alma. Selama ini Ibu sudah menjaga anak-anakmu dan suamimu kan?]Ibu kembali mengingatkanku akan jasanya. Aku tau dia sudah menjaga, tapi juga membuat mereka menderita. Anakku senang saat ku datang, karena mereka bebas dari penderitaan.Suami? Kurasa Ibu tak pernah menasehati Kang Ikbal dikala Kang Ikbal ingin menikahi Susi. Seharusnya Ibu bisa menasehatinya dan mengingatkan Kang Ikbal kalau ia masih terikat pernikahan denganku.[Terima kasih Ibu sudah menjaga mereka. Tapi aku tak bisa membalas semua pengorbanan Ibu. Maaf ya Bu.]Setelah itu mobil jemputa