Sulis melihat kelopak mata istrinya sedikit demi sedikit bergerak, kemudian terbuka pelan-pelan. Wajah Widya masih menengadah ke langit-langit beberapa detik, pada hitungan ke tujuh perempuan itu menggerakkan lehernya.Widya tersenyum. “Pa ….”Sulis membalas senyum. Tangan lelaki itu bergerak, mendarat lembut di kepala dekat dahi. Dielusnya sang istri dengan sayang.“Operasi Mama berhasil,” tuturnya, tidak kalah lembut dengan gerakan tangan Sulis yang terus membelai. “Sekarang serpihan tulang-tulang itu tidak akan mengganggu lagi. Sudah bersih semua.”“Jadi Mama enggak diamputasi kan, Pa?”Sulis menggeleng. Tiba-tiba dia berhenti mengelus, ditariknya tangan kanan itu dan ganti dia pakai untuk mengusap wajahnya sendiri dengan kasar. Tampak jari jemarinya bergetar.“Ada apa, Pa? Apa ada kabar buruk lainnya?” Widya seakan tahu isi hati suaminya.Sulis meringis, menatap mata Widya sekejap kemudian menunduk. Apakah bijak jika Widya diberit
“Tolong batalkan kesaksian Papa dan Mama,” kata Tyo dengan suara tegas.Sulis terkesiap, matanya membuka lebih lebar.“Yo … kamu bercanda kan?”Anak sulung Widya itu menggeleng. Gerakannya setegas kalimat yang dia ucapkan di awal.Sulis menatap putranya dengan pandangan nanar tidak percaya, kemudian dia menelan ludahnya berlahan. “Apa ini ada hubungannya sama pembatalan kesaksian Naren? Jangan berkecil hati, Yo, kita pasti dapat saksi yang lebih bagus, Pak Baskoro bilang kemarin dia—““Enggak, Pa. Ini bukan tentang siapa-siapa. Tapi tentang Jagat.”“Jadi Jagat mengancammu?” Geraham Sulis tiba-tiba mengerat kencang. Tangan pun terkepal. "Anak pembawa sial itu memang tidak pernah berhenti membuat ulah yang menjengkelkan. Papa pastikan dia akan menerima akibatnya, Jagat tidak bisa menyakiti kamu."Tyo menutup wajahnya, sejurus kemudian melenguh kencang.“Yo, kamu tenang saja—““Pa.” Lagi-lagi Tyo memotong ucapan Sulis.Kali ini dia ambil tangan Sulis, kemudian dia genggam telapak tangann
Baskoro Yuda Pratama. Laki-laki berdarah jawa tulen yang sudah menjadi pengacara sejak dirinya berumur dua puluh lima tahun itu, sedang merasa sangat kesal. Baru sekali ini mendapat klien yang sungguh-sungguh tidak jelas.Pada awalnya mereka yang memaksa-maksa untuk menang dengan berbagai cara. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba mengibarkan bendera putih. Bahkan pertempuran baru saja mulai.“Mereka pikir urusan begini seperti main karambol di pos ronda, yang gampang dibubarkan sewaktu-waktu,” gerutu Baskoro.“Ya, sudahlah, Pak, pada akhirnya kita juga akan tetap kalah. Kita sudah tau itu dari awal kan?” hibur Heru, asisten pribadinya.“Tapi enggak gini juga caranya, Her. Tersinggung aku diperlakukan begitu tadi.”“Bapak sebenarnya kesal karena enggak bisa dapat uang dari Pak Sulis lagi, bukan perkara yang lain. Iya apa iya?”Heru tergelak, dan Baskoro melengos. Namun bibir pengacara tam
“Ini rumahku, Kak. Total luasnya hampir sama ama kamar Kakak, kan?” Riana melempar canda.Vivi diam saja. Dia membuka helm, dan merapikan rambutnya. Kemudian dia mengikuti Riana untuk masuk.“Duduk dulu ya, Kak. Aku ambilkan minum, sekalian panggil Mas Jagat,” ujar Riana sembari terus masuk.Lagi-lagi Vivi diam saja. Mata perempuan cantik itu mengedar sekilas, lalu duduk berlahan. Seumur hidupnya, dia baru beberapa kali masuk ke rumah sempit macam ini. Hitungannya mungkin tidak melebihi jumlah jari di kedua tangannya. Rumah pengasuhnya, rumah salah satu pegawainya, dan entah rumah siapa lagi. Yang jelas Vivi ingat, dia mendatangi rumah-rumah itu untuk melayat. Baru sekali ini dia ada di bangunan seperti ini untuk bertamu.Viona Diandra Latif adalah anak manusia yang bergelimang harta sejak dilahirkan. Dia menghuni rumah luas nan megah, dengan ruang-ruang banyak yang diisi perabotan mewah. Akan tetapi selalu dihuni berdua, dan pada akhirnya menjadi sendirian.Vivi tertunduk, teringat s
“Pak, saya—““Pergi, Dung! Aku lagi pusing, jangan ganggu!” bentak Mahardika.“Tapi, Pak—““Dudung!” Mahardika berdiri dan menendang kursi yang semula dia duduki.Bunyi keras berkelontangan tercipta, sebab kursi plastik yang ditendang calon bupati itu menabrak beberapa pot bunga dan berakhir dengan pecah berantakan setelah beradu dengan tembok.“Astaga, Papah ….”Sinta bergegas mendekat ke sumber suara. Dalam hitungan tidak lama dia sudah tahu penyebab suaminya murka. Perempuan itu melihat Dudung menunduk dengan bahu bergetar, hanya berjarak sedikit dari pot-pot bunga yang berantakan terkena terjangan kursi.“Dung, Bapak lagi banyak masalah, tolong kalau ada yang mau disampaikan nanti saja,” ujar Sinta pelan.“Ta-tapi i-ini penting sekali, Bu.”Mahardika mengambil kursi yang lain, dan dia duduk dengan gerakan kasar. Sengaja menghadap kepada Dudung. Mata ayah kandung Karisma itu melotot tajam. Hingga getaran Dudung menjad
“Dek, peluk aku.”Riana segera melakukan permintaan sang suami. Dalam sekejap saja, getar-getar yang menyelimuti badan Jagat bisa dirasakan oleh Riana.“Kita menghadapi bersama-sama, Mas. Ada Bapak dan Ibu juga, Kak Vivi … banyak yang sayang sama Mas,” bisik Riana. Dia hadiahkan kecupan hangat di bibir Jagat.Lelaki itu mengangguk-angguk. Meski bibir tersenyum, namun mata tidak bisa berbohong. Himpunan air yang telah lama terkumpul di kelopak mata Jagat, segera merembes keluar. Seperti saling berebut untuk meluncur duluan.“Ma-maafkan aku, Dek. Harusnya aku enggak boleh menangis ya?” gagap Jagat. Dia dekap lagi tubuh kecil istrinya.“Boleh, Mas, boleh nangis di sini.”Riana balas mendekap lebih erat. Berharap kehangatan cintanya dapat terserap menjadi tenaga ke dalam tubuh sang suami.“Coba ngomong, apa yang membuat Mas merasa gugup?”“A-akan a-ada Pa-papa
“Kita bisa merayakan kemenangan ini dengan makan siang?” tanya Vivi antusias.“Sayangnya, aku hanya ijin setengah hari, Kak. Jam setengah satu aku harus kembali ke kantor,” jawab Riana. “Tapi kalau memang yang lain mau makan siang bersama-sama, silakan aja.”“Yah, Ri, pastinya Mas Jagat-mu ini enggak akan mau tanpa kamu di sampingnya,” seloroh Vivi.Nada Vivi saat mengucapkan ‘Mas Jagat-mu’ terdengar sangat menggelikan sebab dibuat-buat seperti ucapan perempuan gatal. Semua tertawa mendengar itu.Reni berdehem. Menatap kepada Vivi, kemudian kepada Jagat.“Mohon maaf, Bu Viona, Saya pikir Pak Jagat pun tidak bisa. Sore ini saya harus balik ke Jakarta. Jadi saya mau menyandera Pak Jagat untuk proses persiapan balik nama perkebunan yang menjadi hak Pak Jagat,” timpal Reni.“Diganti makan malam saja kalau gitu ya?” usul Vivi.“Boleh,” sahut Jag
“Nak Jagat, Ibu sudah masak ayam bakar kesukaan Nak Jagat loh, apa enggak mau makan dulu?” Neni memberanikan diri mengetuk pintu kamar.Sejak pulang dari mengurus peralihan kepemilikan kebun salak, Jagat langsung mengurung diri di kamar. Kebetulan Riana juga sudah berangkat ke kantornya terlebih dahulu.Jagat membuka pintu. Wajahnya sedikit kusut.“Apa Nak Jagat sakit?” Neni bertanya lagi dengan sedikit nada was was. “Atau mau Ibu bikinin kopi aja ya? Biar sedikit seger di badan.”Lelaki itu tersenyum. “Kopi boleh, Bu. Tadi aku udah makan bareng Bu Reni.”Neni pun tersenyum. Kelegaan menguar di wajahnya.“Tuh kebetulan Bapak juga lagi ngopi, Ibu bikin getuk loh, singkongnya dari kebun kita sendiri. Bentar ya, Ibu bikinin kopi.”Jagat mengangguk. Lalu dia berjalan ke ruang tamu, menjejeri bapak mertuanya yang tengah santai sambil merokok. Di meja sudah terhidang segelas kopi dan getuk singkong yang Neni sebutkan tadi.“Nak Jagat, enggak pa-pa ya Bapak ngerokok di dalam rumah?” seloroh