Sergio hanya diam. Ia tidak ingin menjawab. Ponsel yang berada dalam sakunya berdering, merusak suasana. Lelaki dengan kaus putih polos itu merogoh saku celana, mengambil ponsel untuk menerima panggilan. “Halo, Sayang.” Dengan sangat lembut ia berucap. Sudah jelas siapa yang menelepon. Ia sering mendapat panggilan dari istri ketika ia tengah bersamaku. Tentu saja, aku juga tidak akan bisa pisah lama-lama jika suamiku adalah Sergio. “Aku harus pulang. Putriku rewel ingin tidur.” Sergio mengacak lembut rambutku setelah ia memutuskan sambungan telepon. Ia tersenyum tipis, kemudian berlalu begitu saja dari hadapanku. Aku tidak bisa menahan langkahnya. Sebab, tidak ada hak untuk melakukan itu. Kami tidak ada ikatan sama sekali. Rasa rindu itu membuncah ketika kami tidak bertemu. Namun, mengapa rindu itu semakin dalam mencekam setelah aku menatapnya kembali? Aku tidak rela melihat ia pergi. Apalagi ia akan pulang ke rumah, menemui anak dan istri. Kurasakan ujung mata kembali basah. J
Kami menghabiskan waktu cukup lama di taman. Tidak ada obrolan. Hanya diam dengan pandangan lurus. Menerawang jauh ke depan sana. Langit malam ini tidak terlalu polos. Ada sedikit bintang yang bertaburan di atas sana. Aku memeluk lengan Sergio dengan menyenderkan kepala di bahunya. Sementara ia bersandar pada sandaran kursi. Kami membiarkan debar di dada dan degup jantung saling berbalas. Mereka lebih tahu apa yang tengah kami rasakan tanpa mengucap dengan kata-kata. Menikmati kebersamaan yang tidak tahu entah sampai kapan bisa seperti ini lagi. Sergio mengusap lembut ubun-ubunku dengan tangan kanannya. Setelah terdiam cukup lama, akhirnya ia kembali membuka pembicaraan. “Aku tidak bisa menjanjikan apa pun padamu. Jika ada yang melamar, kau harus menikah.” Ia berucap dengan suara sedikit bergetar. Aku menarik napas dalam. “Aku tidak ingin membahas itu sekarang.” Aku menjawab dengan cepat. Tidak perlu menyakiti perasaan dengan membahas bahwa hubungan kami tidak akan bisa bertaha
Sergio terdiam cukup lama. Aku menanti jawaban apa yang akan terlontar dari mulutnya. Namun, ia memilih untuk tidak menjawab. Sendok dan garpu yang tadi ia lepas, kembali ia genggam. Ia melanjutkan makan. Aku terdiam beberapa saat. Menatap ia yang makan dengan lahap. Ia selalu terlihat menikmati makanan apa pun yang tengah ia santap. Entah enak atau tidak. Mungkin itu terjadi karena ia terlalu lapar.“Kau sudah menemukan penggantiku?” Aku ingin membahas pekerjaan itu lagi. Seminggu tidak ada kabar, mungkin saja ia telah mencari wanita lain untuk diberikan tawaran. “Belum.” Ia menjawab sembari terus menyantap.“Lalu kenapa?” Aku bertanya menatap. Ia tidak ingin membalas. Lelaki itu fokus pada makanan. “Aku butuh jawaban, Sergio.” Aku mendesak. Ia menarik napas kasar. Kemudian mendongak, menatap. “Karena aku mencintaimu.”Tidak, itu bukan jawaban yang tepat. Cinta tidak bisa menjadi alasan untuk melarang aku kembali bekerja. Ia juga tidak berhak menafkahi, karena aku bukan istriny
Dering ponsel membuatku terbangun dari tidur di pagi hari. Cahaya matahari yang menembus kain gorden menyilaukan saat aku membuka mata. Aku menyipitkan mata demi menyesuaikan penglihatan dengan cahaya yang begitu terang. Dengan malas, kuulurkan tangan untuk meraih ponsel yang berada di atas nakas. Berdecak kesal karena diganggu di saat tidur. “Kau baru bangun?” Suara bariton Sergio langsung terdengar setelah aku menerima panggilan. Aku hanya berdehem kecil, malas untuk menjawab. “Aku sudah menghubungimu berulang kali.” Ia terdengar kesal. Aku menarik napas. Bangkit untuk duduk, lalu mengusap wajah kasar. “Ada apa?” Heran saja, sebelumnya ia tidak pernah menghubungi di pagi hari dengan alasan sibuk bekerja. Pagi ini pun kurasa ia tidak ada jadwal libur. “Aku membelikanmu sarapan. Turunlah, aku tunggu di depan gerbang.” Nada bicaranya berubah menjadi lembut. “Antar saja ke sini.” Aku menjawab dengan malas. “Mobil Clayton masih ada di parkiran.” Ia memberi alasan yang tidak bisa
[Jangan lupa pakai jaket.] Begitu pesan masuk dari Sergio. Malam ini kami akan menemui pelanggan yang kedua. Sergio tengah dalam perjalanan menuju kost. Ia menepati janji untuk ikut menemani. Menyelesaikan kasus lebih cepat agar ia bisa pulang lebih awal. Aku membuka lemari. Di sana, tergantung jaket kulit yang dulu pernah Sergio berikan padaku. Hanya itu jaket yang ada di sini. Jadi, aku mengenakan itu. Kutunggu pesan bahwa ia telah tiba, baru memutuskan untuk keluar dari kamar. Sembari menunggu, aku duduk di depan kaca rias. Menata penampilan agar semakin menarik. Bukan karena ingin terlihat cantik di depan mata pelanggan, tapi aku ingin terlihat cantik di depan mata Sergio. Aku tidak ingin melihat ia melirik wanita lain, jadi akan kulakukan apa pun agar ia hanya melirik padaku. Egois memang. Aku tidak pernah merasa dicintai seperti ini. Jadi, tidak akan melepaskan apa pun yang akan terjadi. Persetan jika istrinya sampai tahu nanti. Rasa cinta telah mengalahkan logika dan pera
Mobil berhenti ketika kami tiba di hotel tempat yang telah dijanjikan. Kali ini sedikit lebih jauh dari sebelumnya. Uang sudah masuk ke rekeningku kemarin. Lebih tinggi sedikit dari tawaran yang pertama.Sergio benar-benar telah mengubah hidupku. Ia memberikan banyak kemewahan yang tidak pernah terpikirkan sebelum ini.“Aku akan pulang dulu, ganti pakaian.” Ia berucap ketika aku hendak turun dari mobil.“Kau tidak bawa baju ganti?” Aku sedikit keberatan. Sebab, takut jika ia akan terlambat lagi seperti sebelumnya.Sergio hanya menggeleng lembut.Aku tahu, dia akan pulang bukan hanya karena ingin berganti pakaian. Namun, karena ingin bertemu dengan istri dan anak-anaknya.“Hati-hati.” Aku berpesan, kemudian keluar mobil dengan berat.Mobil langsung melaju setelah aku turun. Ia bahkan tidak menunggu aku masuk terlebih dahulu. Ada sesuatu yang mengganjal di dada melihat perubahannya yang seperti itu.Aku berjalan menuju hotel, menemui resepsionis untuk bertanya kamar yang sudah dijanjika
Pria itu turun dari ranjang dengan santai. Ia meraih baju yang terlipat di atas meja, lalu mengenakannya. Tidak ada rasa cemas sama sekali di wajah tegas itu. Ia sungguh benar-benar terlihat begitu santai. “Sebutin saja angkanya.” Lelaki itu berucap pada Sergio dan rombongan seraya mengenakan pakaian. Aku hanya bisa diam menyaksikan. Menarik selimut untuk menutupi tubuh polos. Entah seperti apa sekarang kondisi wajahku, aku tidak tahu. Ini benar-benar tanggung. Aku tidak pernah merasa seingin ini untuk disetubuhi. “Matikan kameranya.” Lelaki itu berucap pada anggota media. Mereka menurut. Ada negosiasi di antara mereka hingga rombongan itu bubar setelah menghapus file video tersebut. Ternyata mereka bisa disuap juga.Sergio tidak langsung pergi. Ia tetap berdiri di ambang pintu, menatapku dengan sorot entah. Aku membuang muka, tidak ingin bersitatap dengannya. Sementara pria tadi mengambil semua barang miliknya dan berlalu begitu saja tanpa mengucap sepatah kata pun. Aku berbal
Aku keluar dari kamar mandi sembari mengusap rambut basah dengan handuk yang sudah disediakan oleh pihak hotel. Sementara pakaian yang kukenakan hanyalah pakaian yang tadi malam telah dipelorotkan. Memungutnya di lantai, kemudian mengenakannya kembali. Sergio masih tampak duduk di tepian ranjang. Tatapan lelaki itu kosong, tidak ada sorot sama sekali. Ia menunduk, menatap lantai. Aku menarik napas kasar. Ponsel di nakas selalu berdering sejak tadi malam hingga kini. Istrinya pasti benar-benar khawatir karena ia tidak pulang semalaman. Apalagi hari sudah siang, dan ia belum ada tanda-tanda akan pulang. Teman kerjanya juga pasti tengah mencari keberadaan dirinya sekarang. Aku ikut duduk di tepian ranjang, tepat di sisi kiri Sergio. Ia menoleh sejenak, kemudian kembali menunduk. “Kau harus pulang.” Aku berucap dengan perasaan yang entah. Ia benar-benar terlihat begitu stress. Seperti orang yang tengah depresi. Bahkan ia tidak beranjak sama sekali setelah aku memaksa agar ia bangun s