Mobil berhenti ketika kami tiba di hotel tempat yang telah dijanjikan. Kali ini sedikit lebih jauh dari sebelumnya. Uang sudah masuk ke rekeningku kemarin. Lebih tinggi sedikit dari tawaran yang pertama.Sergio benar-benar telah mengubah hidupku. Ia memberikan banyak kemewahan yang tidak pernah terpikirkan sebelum ini.“Aku akan pulang dulu, ganti pakaian.” Ia berucap ketika aku hendak turun dari mobil.“Kau tidak bawa baju ganti?” Aku sedikit keberatan. Sebab, takut jika ia akan terlambat lagi seperti sebelumnya.Sergio hanya menggeleng lembut.Aku tahu, dia akan pulang bukan hanya karena ingin berganti pakaian. Namun, karena ingin bertemu dengan istri dan anak-anaknya.“Hati-hati.” Aku berpesan, kemudian keluar mobil dengan berat.Mobil langsung melaju setelah aku turun. Ia bahkan tidak menunggu aku masuk terlebih dahulu. Ada sesuatu yang mengganjal di dada melihat perubahannya yang seperti itu.Aku berjalan menuju hotel, menemui resepsionis untuk bertanya kamar yang sudah dijanjika
Pria itu turun dari ranjang dengan santai. Ia meraih baju yang terlipat di atas meja, lalu mengenakannya. Tidak ada rasa cemas sama sekali di wajah tegas itu. Ia sungguh benar-benar terlihat begitu santai. “Sebutin saja angkanya.” Lelaki itu berucap pada Sergio dan rombongan seraya mengenakan pakaian. Aku hanya bisa diam menyaksikan. Menarik selimut untuk menutupi tubuh polos. Entah seperti apa sekarang kondisi wajahku, aku tidak tahu. Ini benar-benar tanggung. Aku tidak pernah merasa seingin ini untuk disetubuhi. “Matikan kameranya.” Lelaki itu berucap pada anggota media. Mereka menurut. Ada negosiasi di antara mereka hingga rombongan itu bubar setelah menghapus file video tersebut. Ternyata mereka bisa disuap juga.Sergio tidak langsung pergi. Ia tetap berdiri di ambang pintu, menatapku dengan sorot entah. Aku membuang muka, tidak ingin bersitatap dengannya. Sementara pria tadi mengambil semua barang miliknya dan berlalu begitu saja tanpa mengucap sepatah kata pun. Aku berbal
Aku keluar dari kamar mandi sembari mengusap rambut basah dengan handuk yang sudah disediakan oleh pihak hotel. Sementara pakaian yang kukenakan hanyalah pakaian yang tadi malam telah dipelorotkan. Memungutnya di lantai, kemudian mengenakannya kembali. Sergio masih tampak duduk di tepian ranjang. Tatapan lelaki itu kosong, tidak ada sorot sama sekali. Ia menunduk, menatap lantai. Aku menarik napas kasar. Ponsel di nakas selalu berdering sejak tadi malam hingga kini. Istrinya pasti benar-benar khawatir karena ia tidak pulang semalaman. Apalagi hari sudah siang, dan ia belum ada tanda-tanda akan pulang. Teman kerjanya juga pasti tengah mencari keberadaan dirinya sekarang. Aku ikut duduk di tepian ranjang, tepat di sisi kiri Sergio. Ia menoleh sejenak, kemudian kembali menunduk. “Kau harus pulang.” Aku berucap dengan perasaan yang entah. Ia benar-benar terlihat begitu stress. Seperti orang yang tengah depresi. Bahkan ia tidak beranjak sama sekali setelah aku memaksa agar ia bangun s
Mobil berhenti sepuluh meter dari gerbang kos-kosan. Setelah drama yang cukup panjang, akhirnya Sergio ingin pulang. Akun Instagram milikku telah dihapus olehnya. Ia tidak lagi ingin aku bekerja untuk hal semacam itu. Bahkan sangat memaksa agar aku pulang kampung saja. Aku diminta untuk tidak pernah lagi menemuinya. Tidak boleh mengirim pesan ataupun melakukan panggilan. Ia benar-benar ingin semuanya terputus sekarang. “Besok aku antar ke bandara.” Ia berucap ketika aku hendak turun. Kuhela napas dengan berat. Jika memang semuanya berakhir sampai di sini, ya sudah. Tidak perlu meminta agar aku pulang ke kampung halaman. Aku ke Jakarta juga tujuannya untuk bekerja. Bukan untuk merusak rumah tangganya. “Semua hutangmu anggap saja lunas. Kau juga tidak perlu membayar biaya sewa selama kau di sini.” Ia kembali melanjutkan. Aku hanya diam. Garis kusut yang tadi berada di wajahnya, kini berpindah ke wajahku. Aku turun dari mobil tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia benar-benar ingin a
Aku bangkit berdiri setelah menghabiskan beberapa waktu hanya untuk meratapi nasib. Ternyata patah hati memang sakit. Dulu aku selalu menganggap mereka yang menangis karena patah hati adalah orang lemah. Sebab, menangis hanya karena cinta. Faktanya cinta memang bisa melemahkan. Aku berjalan menuju lemari. Mencari dress yang paling panjang untuk dikenakan. Kemudian meraih sling bag. Memasukkan dompet, semua kartu, dan ponsel. Aku hanya akan pergi dengan membawa diri sendiri. Semua pakaian biarkan saja tertinggal di lemari. Aku tidak membutuhkan itu lagi. Aku terdiam beberapa saat dengan memeluk jaket Sergio. Berpikir ingin membawa atau meninggalkannya. Lalu memutuskan untuk membawa ikut serta. Setidaknya aku memiliki satu kenangan darinya. Yang bisa mengobati ketika rindu tiba-tiba datang menyerang. Kukenakan jaket itu kembali setelah berganti pakaian. Lalu berjalan ke luar kamar. Tidak lagi kudapati Clayton di sana. Tampaknya ia telah pergi. Kaki terasa begitu berat untuk menuru
Wanita itu diam sejenak. Aku bangkit berdiri, beranjak untuk ke belakang agar ia mengikuti. Aku menunggu di depan pintu toilet. Berharap agar ia datang. Beberapa menit menunggu, akhirnya istri Sergio datang juga. Di balik wajah cantik itu terselip kebingungan. Entah akan apa. Aku menarik napas dalam. Terasa berat untuk berucap. Ia orang baik, entah kalimat semacam apa yang harus kukatakan agar ia tidak merasa tersakiti. “Ada apa, Mbak?” Ia menatapku dengan lekat, menunggu jawaban. Lagi, aku menghela napas dalam. Mencoba untuk menetralisir perasaan. Jantung seakan bergendang. “Ini masalah Sergio.” Suaraku terdengar sedikit bergetar. Degup jantung bahkan belum bisa kukendalikan. Aku butuh bantuan. Napas bahkan mulai terasa sesak. “Iya, kenapa?” Ia menatap dengan bingung. Aku tidak bisa menahan diri. Akhirnya isak tangis itu kembali lagi. Aku terjatuh, berlutut di hadapannya. Menarik kedua tangan itu memohon ampunan. “Maafkan aku.” Aku berucap dengan terisak. “Sergio selingkuh
Kaki melangkah tanpa tujuan. Ini benar-benar sakit. Meninggalkan lelaki yang begitu dicintai karena takdir tidak merestui. Aku memeluk tubuh sendiri. Angin malam mulai terasa menusuk hingga ke tulang. Untung saja jaket milik Sergio melekat di badan, jadi rasa dingin itu bisa diminimalisir meski sedikit. Ponsel berdering, kurogoh tas untuk melihat siapa yang tengah memanggil. Nama Sergio tertera di layar ponsel. Aku berdecak kesal. Apa dia tidak tahu betapa sulitnya aku untuk mengenyahkan dia dari hidupku? Mengapa ia tidak berpikir sedikit pun tentang perasaanku?! Ia yang melarang agar aku tidak menghubungi, tapi dia juga yang melanggar larangan itu. Kuabaikan panggilan darinya hingga dering itu berhenti sendiri. Ia kembali memanggil. Kutekan icon menolak, lalu menonaktifkan ponsel agar ia tidak bisa menghubungi lagi. Kaki terus melangkah tak tahu arah. Entah ke mana malam ini tubuh dibawa beristirahat. Mata bahkan belum mengantuk, sementara waktu sudah menunjukkan dini hari. Sem
Aku tidak bisa tidur hingga pagi menjelang. Berada di tengah-tengah mereka membuatku merasa semakin bersalah. Sebelum mereka bangun, aku bangkit berdiri. Meraih tas, lalu bergegas keluar kamar. Kartu kamar kost kuselipkan di bawah pintu kamar Clayton seperti pesan mereka sebelumnya. Kemudian berlari melewati koridor dan menuruni anak-anak tangga. Kuusap kedua sudut mata yang basah. Sungguh, kini aku ikhlas meninggalkan Sergio. Bukan karena tak ada lagi cinta di dada, tapi karena tidak ingin anak-anaknya kehilangan sosok dirinya. Mereka lebih butuh dia dibanding aku. Mereka lebih dulu ada di hidupnya sebelum diriku. Aku berlari keluar area kost. Menembus gelapnya dini hari menjelang Subuh. Berjalan mengikuti langkah kaki tanpa tujuan. Suara adzan Subuh terdengar setelah beberapa saat aku berjalan sendirian. Kucari sumber suara, lalu memutuskan untuk pergi ke sana. Sholat berjamah bersama beberapa ibu paruh baya yang mengisi shaft bagian perempuan. Aku selalu tidak bisa menahan ai