Mobil berhenti sepuluh meter dari gerbang kos-kosan. Setelah drama yang cukup panjang, akhirnya Sergio ingin pulang. Akun Instagram milikku telah dihapus olehnya. Ia tidak lagi ingin aku bekerja untuk hal semacam itu. Bahkan sangat memaksa agar aku pulang kampung saja. Aku diminta untuk tidak pernah lagi menemuinya. Tidak boleh mengirim pesan ataupun melakukan panggilan. Ia benar-benar ingin semuanya terputus sekarang. “Besok aku antar ke bandara.” Ia berucap ketika aku hendak turun. Kuhela napas dengan berat. Jika memang semuanya berakhir sampai di sini, ya sudah. Tidak perlu meminta agar aku pulang ke kampung halaman. Aku ke Jakarta juga tujuannya untuk bekerja. Bukan untuk merusak rumah tangganya. “Semua hutangmu anggap saja lunas. Kau juga tidak perlu membayar biaya sewa selama kau di sini.” Ia kembali melanjutkan. Aku hanya diam. Garis kusut yang tadi berada di wajahnya, kini berpindah ke wajahku. Aku turun dari mobil tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia benar-benar ingin a
Aku bangkit berdiri setelah menghabiskan beberapa waktu hanya untuk meratapi nasib. Ternyata patah hati memang sakit. Dulu aku selalu menganggap mereka yang menangis karena patah hati adalah orang lemah. Sebab, menangis hanya karena cinta. Faktanya cinta memang bisa melemahkan. Aku berjalan menuju lemari. Mencari dress yang paling panjang untuk dikenakan. Kemudian meraih sling bag. Memasukkan dompet, semua kartu, dan ponsel. Aku hanya akan pergi dengan membawa diri sendiri. Semua pakaian biarkan saja tertinggal di lemari. Aku tidak membutuhkan itu lagi. Aku terdiam beberapa saat dengan memeluk jaket Sergio. Berpikir ingin membawa atau meninggalkannya. Lalu memutuskan untuk membawa ikut serta. Setidaknya aku memiliki satu kenangan darinya. Yang bisa mengobati ketika rindu tiba-tiba datang menyerang. Kukenakan jaket itu kembali setelah berganti pakaian. Lalu berjalan ke luar kamar. Tidak lagi kudapati Clayton di sana. Tampaknya ia telah pergi. Kaki terasa begitu berat untuk menuru
Wanita itu diam sejenak. Aku bangkit berdiri, beranjak untuk ke belakang agar ia mengikuti. Aku menunggu di depan pintu toilet. Berharap agar ia datang. Beberapa menit menunggu, akhirnya istri Sergio datang juga. Di balik wajah cantik itu terselip kebingungan. Entah akan apa. Aku menarik napas dalam. Terasa berat untuk berucap. Ia orang baik, entah kalimat semacam apa yang harus kukatakan agar ia tidak merasa tersakiti. “Ada apa, Mbak?” Ia menatapku dengan lekat, menunggu jawaban. Lagi, aku menghela napas dalam. Mencoba untuk menetralisir perasaan. Jantung seakan bergendang. “Ini masalah Sergio.” Suaraku terdengar sedikit bergetar. Degup jantung bahkan belum bisa kukendalikan. Aku butuh bantuan. Napas bahkan mulai terasa sesak. “Iya, kenapa?” Ia menatap dengan bingung. Aku tidak bisa menahan diri. Akhirnya isak tangis itu kembali lagi. Aku terjatuh, berlutut di hadapannya. Menarik kedua tangan itu memohon ampunan. “Maafkan aku.” Aku berucap dengan terisak. “Sergio selingkuh
Kaki melangkah tanpa tujuan. Ini benar-benar sakit. Meninggalkan lelaki yang begitu dicintai karena takdir tidak merestui. Aku memeluk tubuh sendiri. Angin malam mulai terasa menusuk hingga ke tulang. Untung saja jaket milik Sergio melekat di badan, jadi rasa dingin itu bisa diminimalisir meski sedikit. Ponsel berdering, kurogoh tas untuk melihat siapa yang tengah memanggil. Nama Sergio tertera di layar ponsel. Aku berdecak kesal. Apa dia tidak tahu betapa sulitnya aku untuk mengenyahkan dia dari hidupku? Mengapa ia tidak berpikir sedikit pun tentang perasaanku?! Ia yang melarang agar aku tidak menghubungi, tapi dia juga yang melanggar larangan itu. Kuabaikan panggilan darinya hingga dering itu berhenti sendiri. Ia kembali memanggil. Kutekan icon menolak, lalu menonaktifkan ponsel agar ia tidak bisa menghubungi lagi. Kaki terus melangkah tak tahu arah. Entah ke mana malam ini tubuh dibawa beristirahat. Mata bahkan belum mengantuk, sementara waktu sudah menunjukkan dini hari. Sem
Aku tidak bisa tidur hingga pagi menjelang. Berada di tengah-tengah mereka membuatku merasa semakin bersalah. Sebelum mereka bangun, aku bangkit berdiri. Meraih tas, lalu bergegas keluar kamar. Kartu kamar kost kuselipkan di bawah pintu kamar Clayton seperti pesan mereka sebelumnya. Kemudian berlari melewati koridor dan menuruni anak-anak tangga. Kuusap kedua sudut mata yang basah. Sungguh, kini aku ikhlas meninggalkan Sergio. Bukan karena tak ada lagi cinta di dada, tapi karena tidak ingin anak-anaknya kehilangan sosok dirinya. Mereka lebih butuh dia dibanding aku. Mereka lebih dulu ada di hidupnya sebelum diriku. Aku berlari keluar area kost. Menembus gelapnya dini hari menjelang Subuh. Berjalan mengikuti langkah kaki tanpa tujuan. Suara adzan Subuh terdengar setelah beberapa saat aku berjalan sendirian. Kucari sumber suara, lalu memutuskan untuk pergi ke sana. Sholat berjamah bersama beberapa ibu paruh baya yang mengisi shaft bagian perempuan. Aku selalu tidak bisa menahan ai
Aku melangkah keluar dari ruangan dengan perasaan yang begitu berantakan. Kaki begitu berat untuk melangkah. Sungguh, ini tidak pernah terpikir sedikit pun. Tidak pernah terbersit dalam hati barang sedetik pun. Susah payah aku bangkit berdiri, melangkah terseok-seok menjauh pergi dari hidup Sergio, kini darah dagingnya tumbuh di dalam rahim. Mengapa harus begini? Mengapa harus hamil?! Kuempaskan pantat dengan kasar ke kursi yang berjejer panjang di depan poli kandungan. Sebab, kedua kaki rasanya sudah tidak sanggup lagi menopang berat badan. Kedua lutut rasanya lemas. Gemetar. Bagaimana jika nanti orang-orang tahu bahwa aku hamil tanpa adanya pernikahan? Bagaimana pandangan orang terhadap wanita berhijab nantinya? Tuhan, ini terlalu berat! Cukup lama aku berada di sana. Bahkan hingga poli kandungan ditutup, aku enggan beranjak.[Sakit apa, Din? Udah diperiksa apa masih ngantri?] Febby mengirimkan pesan. Aku tidak membalas. Bagaimana mungkin aku bisa menjawab bahwa aku tengah hami
Aku berlalu dengan rasa sakit di dada. Tidak peduli apa pun yang terjadi, janin ini harus digugurkan. Aku tidak ingin ia mendapatkan pertanyaan yang serupa kelak. Mendapatkan ejekan-ejekan karena tidak punya bapak. Apa pun risikonya, akan aku tanggung. Kutancap gas dengan kecepatan tinggi. Berhenti di pinggir jalan untuk membeli nanas muda. Lalu, kembali lagi menancap gas menuju kost-an. Area kost tampak begitu sepi. Sebab, ini jam kerja, juga jam aktif belajar untuk pelajar dan maha siswa. Jadi, hanya ada aku sendiri. Memberikan sedikit kemudahan agar tidak ketahuan. Kukeluarkan obat penggugur di dalam jok, juga tiga buah nanas muda yang tadi sempat kubeli. Bergegas menuju kamar untuk segera mengonsumsi. Kutelan beberapa butir pil tanpa membaca dosis terlebih dahulu. Aku ingin ia keluar sekarang. Agar beban mental ini segera terlepas dari badan. Tidak ada efek yang kurasakan setelah menunggu beberapa saat. Obat itu tidak memberikan respons apa pun. Jadi, kutambah lagi dosisnya.
Sergio terus memeluk, menenangkan. Sekuat apa pun aku memberontak, ia tidak ingin melepaskan. Hingga tubuh terasa mulai kehilangan tenaga dan berhenti memberontak darinya. Kurasakan degup jantungnya berdetak dengan sangat tidak normal. Entah apa yang terjadi selama aku pergi, aku tidak tahu. Yang pasti, aku bisa merasakan bahwa ia juga sakit menahan rindu. Lagi-lagi aku luluh. Ia punya kekuatan besar untuk meluluhkan. Sedikit pun, aku tidak bisa melawan. “Kamu harus tenang. Ada anak kita di dalam perutmu.” Ia berucap setengah berbisik. Puncak kepalaku diusapnya dengan begitu lembut. Sejenak kami terdiam, irama jantung saling berbicara. Hanya isak tangis yang terdengar menyelingi detak jantung yang saling mengejar. “Kamu yang tenang. Tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Aku akan memanggil perawat untuk memperbaiki jarum infusmu.” Ia berpesan sembari mewanti-wanti. Membantuku untuk rebahan kembali. Aku hanya diam, tapi tetap menurut. Setelah ia pergi, semua tubuh mulai terasa n