Semua yang terjadi tetap takdir, hanya saja tidak setiap hal yang ditemui adalah sesuatu yang bisa dimiliki seumur hidup. Hati manusia bukanlah sesuatu yang tidak bisa berubah, dan pola pikir adalah sesuatu yang terus tumbuh. Benar atau salah, egois atau tidak. Terkadang semua hal itu memang tidak ada artinya lagi.“Aku harap aku cukup lapang untuk menghadapi semua ujian ini.” Sepia memejamkan matanya dalam-dalam.Hanya sebentar lagi, ia harus menghadapi proses perceraian. Lalu setelah itu ia akan memulai sesuatu yang benar-benar baru. Menjadi orang tua tunggal untuk putranya sekaligus berperan menjadi ayah dan ibu dalam waktu bersamaan. “Semoga aku bisa …,” batinnya lagi.Kedua mata Shabiru kembali terpejam dalam pangkuan Sepia, sesekali sorot cahaya masuk menerpa wajahnya. Jauhnya perjalanan membuat anak itu letih. Ya, sekarang mereka sudah pergi jauh. Tidak ada lagi sosok ayah yag selalu megisi hari-harinya, tapi bukan berarti Sepia akan egois dengan tidak membiarkan anak itu berte
Satu bulan kemudian…“Kenapa lama sekali?” tanya Ray sembari mengenakan kemeja berwarna abu – abu gelap.Setelah kepergian Sepia dan setelah siang itu, Ray sering sekali bermalam di apartemen Arumi. Ray sering datang dalam kondisi mabuk berat. Perihal batasan, sudah tidak ada lagi jarak diantara keduanya. Karena ia merasa tidak memiliki kesempatan atau pun jalan untuk memperbaiki kesalahannya, sudah terlanjur. Kesedihan yang ia alami membuatnya hancur, ia tidak sadar bahwa perbuatannya juga menghancurkan Arumi secara perlahan.“Sebentar Ray,” Arumi menyemprotkan parfumnya, semerbak wangi langsung memenuhi seisi ruangan. Membuat Ray beranjak dari duduknya dan berjalan pelan menghampirinya.“Lama sekali sih.” Ray mengecup rambut Arumi dari belakang. Sementara tangannya mendekap bahu Arumi.“Ray jangan lakukan itu.” Arumi menolak sentuhan-sentuhan Ray. Sentuhan yang kadang menimbulkan rasa panas bagi Arumi. “Tunggu saja di mobil, aku akan menyusulmu.” Ia mendorong tubuh Ray ke luar pintu
Sudah tiga puluh hari berlalu, waktu begitu cepat berlalu namun kenangan buruknya tetap begitu sulit dilupakan.Meski proses perceraian masih berjalan dan belum tuntas, Sepia sudah pergi ke Jakarta untuk pekerjannya. Ia terpaksa meninggalkan Bandung dan Shabiru demi memulihkan diri sepenuhnya. Lagipula setiap akhir minggu, ia selalu pulang ke Bandung. Beruntung Sepia juga memiliki keluarga yang selalu mendukungnya. Meski tak ditampik, pembicaraan miring masih kerap menyasar dirinya. Ia tinggal di rumah Oma Ina, selain dekat dengan kantonya, Oma Ina juga memaksanya untuk tinggal bersamanya. Karena tidak enak akhirnya ia menurut. Sepia menghela napas, menutup catatan, dan memasukkan barang-barang miliknya ke dalam tas. Suasana kantor di sore ini memang sudah cukup sepi. Hanya beberapa orang yang pekerjaannya masih menumpuk yang berada di dalam ruangan itu. [Pia, weekend ini beneran enggak pulang ‘kan? Kita jalan-jalan sekali-kali biar kayak ABG lagi hehe.] ia baru saja menerima pesan
Pantai Anyer, Banten.“Maukah kamu menikah denganku?”Seorang laki-laki bertekuk lutut di atas putihnya hamparan pasir pantai anyer. Suara laki-laki itu cukup jelas terdengar, menyela deburan ombak yang menghantam karang. Ditambah dengan latar indahnya matahari terbit, ia mengeluarkan kotak cincin berwarna merah. Ia mengangkat kepalanya, melihat rekahan senyum perempuan dengan rambut tergerai di hadapannya.Pagi ini seharusnya menjadi awal liburan yang bagus bagi Sepia dan Elea, namun apa yang terjadi di depan mata mereka cukup mengganggu suasana hati mereka. Bukan, bukan Sepia ataupun Elea yang dilamar. Mereka berdua hanya menyaksikan pemandangan itu.Niat hati ingin menikmati indahnya pemandangan matahari terbit pantai anyer, justru mereka malah menjadi penonton sepasang kekasih yang mengutarakan perasaannya.“Alea, kita pindah saja. Cari tempat yang lain, melihat mereka aku jadi merasa …,”Ada sepotong ingatan yang kembali, memaksa datang untuk mengusik kedamaian hati Sepia. Periha
Pantai Sanur, Bali.Ray meneguk minuman soda dalam genggamannya. Ia duduk di balkon hotel yang ia sewa, setelah menyelesaikan urusan pekerjaan tadinya ia berniat untuk berlibur menikmati Bali bersama Arumi. Namun sayangnya, perempuan itu menolaknya.Arumi terus mendesaknya agar segera menikahinya. Namun, rumitnya persoalan perceraian bukanlah satu-satunya alasan kenapa laki-laki itu menarik ulur waktu. Ia belum siap menghadapi gunjingan buruk yang akan merusak reputasinya. Bisnis, keluarga, dan nama baiknya akan hancur bersamaan jika ia tergesa mengambil keputusan.“Rasanya kepalaku pening sekali!” tangan Ray memukul tembok balkon, lalu kembali meneguk minuman sodanya sampai habis.Keadaan Ray memang sedang goyah. Kesalahan yang ia perbuat telah menghancurkan segalanya dan justru membuka masalah baru. Ia menyentuh Arumi dalam keadaan perasaan terguncang, meski ia dalam keadaan sadar. Ketakutan baru kembali menyergap Ray, ia takut Arumi akan hamil. Ia belum siap dan ia cemas dengan bis
Harum masakan memenuhi seisi ruangan. Sepia meletakkan piring berisi telur setengah matang di meja makan. Sementara di piring lainnya telah tersaji pasta, makanan dari jenis kerang-kerangan, cumi, dan buah-buahan. Semuanya terlihat menggugah selera padahal Sepia dan Alea hanya makan berdua.“Aku merasa makanan ini terlalu banyak Al. Jangan sampai kita jadi boros dan membuang-buang makanan karena lapar mata,” Sepia menggaruk ujung alisnya.Ia menuangkan air mineral pada gelasnya. Lalu menyandarkan punggungnya di sanggahan kursi sambil menggulir layar ponselnya yang sudah lama tak ia sentuh.“Mumpung promo, jarang-jarang juga kita makan seperti ini. Sekali-kali tidak apa-apa kan boros sedikit. Lagipula perutku merasa benar-benar lapar. Berani taruhan, makanan ini akan kita habiskan.”Alea menarik kursi dan duduk di sebelah Sepia. Beberapa saat lalu Alea memesan makanan lewat aplikasi dengan alasan sedang promo dan malas harus mengunjungi tempat yang ramai.Sepia menghela napas. “Apa kat
Banyak hal yang semestinya dilupakan. Banyak hal yang tidak harus diingat. Masa lalu seharusnya hanya kisah lama yang ketika mengingatnya kita hanya akan tertawa-tawa. Namun, kenyataannya banyak hal justru menjelma rasa yang mengabadi—rasa trauma dan sejenisnya atau mungkin kecewa yang terlampau dalam. Ingatan lama dalam kepala Sepia terus berputar cepat bagai tampilan sebuah film, berganti-ganti memperlihatkan banyak banyangan yang semu—warnanya pudar termakan seperti termakan waktu. Hanya saja, rasa lukanya masih mengabadi lekat sekali.“Kenapa takdirku malang sekali?” Sepia merintih dalam hati.Sepia menghela napas, masih tidak menyangka bahwa hatinya kembali merasa gelisah seperti anak SMA yang gagal move on dari pacarnya.“Panji?” ucap Alea ketika Sepia masih duduk dalam lamunannya.Sepia mengangkat kepalanya dan seketika matanya melebar, menatap lurus perempuan di sebelahnya. Bayangan yang sejenak melintas mendadak buyar berantakan, ia mengerejap. Ia menarik napas panjang lalu b
Sepia duduk dengan nyaman di kursi. Di depannya layar laptop menampilkan banyak orang yang sedang mendengarkannya berbicara. “Pada era yang serba digital ini, novel digital juga turut mengalami peningkatan karena berbagai kemudahannya. Selain praktis, diharapkan dengan pesatnya novel digital ini mampu mengurangi limbah percetakan, kemudahan bagi penulis menuangkan karyanya dan tentunya hemat dari banyak segi.”Sepia tersenyum lega setelah sesi webinar selama dua jam lamanya berakhir dengan lancar. Acaranya cukup menyenangkan dengan peserta yang aktif dan antusias bertanya. Forum diskusi online sudah dihentikan, sekarang ia tinggal kembali pada pekerjaannya. Satu hal lagi yang ia hampir lupa, ia juga harus melakukan rapat dengan beberapa penulis yang akan dilakukan dengan santai di sebuah kafe pada jam dua siang nanti.“Wah, Kak Sepia keren banget!” puji Karin. “Acara kali ini berjalan dengan lancar, malah lebih lancar dari biasanya. Kalo gitu, buat acara webinar lainnya aku rekomenda