Sebisa mungkin Marwan bersikap tenang dihadapan Anita, agar tidak menimbulkan kecurigaan yang berlebihan.
Setelah insiden yang hampir saja membuat mereka celaka, Anita dan Marwan sama-sama memilih diam sampai tiba di halaman rumah mereka."Dek, Mas nanti sore berangkat lagi ya." ucap Marwan sebelum Anita turun dari dalam mobil,"Lho kok berangkat lagi, Mas? Baru saja sehari kamu pulang sudah kembali lagi." protes Anita, menatap Marwan dengan penuh arti."Lagi banyak pekerjaan disana, Dek. Lagi pula sekarang aku harus lebih giat lagi bekerja untuk tabungan masa depan anak kita." jelas Marwan,"Oh begitu ya, Mas. Mas sepertinya sekarang aku kepikiran untuk ikut denganmu deh ke kota. Bagaimana kalau kita ngontrak saja disana?" ujar Anita memeberikan usulan yang sebenarnya itu keinginan dalam hatinya."Ngaco kamu, Dek. Kalau kamu ikut ke kota, yang jaga rumah siapa? Yang merawat ibuku siapa? Kamu tahu sendiri kan, jika Mbakku tinggal bersama suaminya di kota lain." ucap Marwan dengan nada sedikit membentak,Tanpa menunggu lama, Anita gegas keluar dari dalam mobil itu dan berlari kecil masuk ke dalam rumahnya.Setengah jam sebelum adzan dzuhur berkumandang, sudah menjadi rutinitas Anita untuk melihat kondisi mertuanya. Biasanya Anita akan menyuapi sang mertua makan siang dan membantunya mengambil air wudhu.Beberapa kali Anita mengajak sang mertua tinggal bersamanya, namun mertuanya selalu menolaknya dengan alasan, tidak mau meninggalkan rumah kenangan bersama almarhum bapak.Setelah dirasa sang ibu sudah siap diatas sajadah, Anita gegas berpamitan pulang ke rumah dia sendiri, untuk melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda."Kamu habis dari rumah ibu, Dek?" tanya Marwan yang sedang rebahan disofa, sibuk memainkan benda kecil yang menjadi kesayangannya,"Iya, Mas." jawab Anita singkat, ia segera berlalu ke dalam kamarnya untuk melaksanakan sholat dzuhur.Waktu sudah menunjukkan jam satu siang, saatnya Anita bergelut manja dengan benda dapur yang menjadi kesayangannya.Namun alangkah terkejutnya Anita, saat ia melewati ruangan tengah tempat dimana Marwan berada, tak sengaja dirinya melihat dan mendengar."Jadi Papa kapan kembali?" tanya wanita dilayar ponsel Marwan."Kalau tidak sore ini, besok pagi ya, Mama sayang. Mama jangan cemberut begitu dong, nanti cantiknya hilang." jawab Marwan dengan nada menggoda,"Tapi, Papa janji ya sama Mama. Papa jangan sentuh wanita itu, pokoknya Mama tidak rela jika Papa tidur bersamanya."rajuk wanita itu, dengan nada yang dibuat semanja mungkin."Iya, Mama sayang. Papa janji tidak akan tidur bersamanya." jawab Marwan yang mencari jalur aman, lebih baik mengiyakan dari pada kehilangan wanita yang ia cintai itu.Tanpa Marwan sadari, ada seseorang dibalik soffa tempat ia rebahan sedang menahan tangis dan emosinya, mencoba menguatkan hati menerima kenyataan pahit ini."Lagi pula kenapa dia bisa hamil sih, Pa? Bukannya Papa tidak cinta sama dia? Papa sering bilang sama Mama, Papa mempertahankan dia karena terpaksa, karena tidak ada lagi orang yang bisa diandalkan untuk merawat ibu, kan?" tanya wanita itu,"Iya memang kenyataannya begitu, Ma. Papa sudah tidak cinta sama dia. Cinta dan sayang Papa hanya untuk Mama dan anak-anak Papa. Mama paling cantik,dan anak Papa yang tampan-tampan di sana." jawab Marwan sambil terus menebarkan kata-kata mutiaranya."Kenapa gak Papa ceraikan saja dia, Pa? Dan untuk masalah ibu, kamu bisa membawanya kesini kan? Nanti aku carikan pengasuh lansia, Pa." ujar wanita itu memberikan sarannya,"Tidak semudah itu, Sayang. Ibu itu keras kepala, jangankan pergi jauh dari rumahnya, sama si bodoh di ajak kesini aja enggak pernah mau."Duar ..Bagai ada petir yang menyambar seluruh tubuh Anita, mendengarkan hinaan yang keluar dari mulut manis suaminya sendiri. Anita mencoba berjalan dengan sisa tenaga yang ia miliki, mendekati kearah ponsel yang sedang Marwan tatap."Hai!" ucap Anita tepat dibelakang Marwan, dan pemandangan itu sangat jelas terlihat oleh lawan bicaranya Marwan tadi.Marwan melompat kaget mendengarkan sapaan Anita itu,"Lancang kamu Anita!" teriak Marwan, tepat dihadapan wajah Anita."Siapa yang kamu sebut lancang, Mas? Aku hanya ingin berkenalan dengan orang yang sudah membuat suami aku berpaling, sampai tega menyebut istrinya sendiri orang bodoh." jawab Anita menahan deru nafas yang memburu. Sebisa mungkin ia menahan emosinya agar tidak meledak saat itu juga."Sejak kapan kamu berada disana? Atau mungkin kamu mendengarkan semuanya?" tanya Marwan dengan sinis,"Kalau iya memangnya kenapa, Mas?" jawab Anita tak kalah sinis."Kamu!" tunjuk Marwan yang mengangkat tangan kirinya hendak menampar Anita, namun terdengar teriakan dibalik ponsel yang Marwan pegang."Hallo Papa. Kapan Papa kembali, aku kangen main bola sama, Papa." terdengar suara anak lelaki memanggil nama Marwan dengan sebutan Papa.Marwan yang mendengar itu, seketika langsung menurunkan tangan yang hendak menampar Anita tadi.Dia secepat kilat merubah ekspresi wajahnya yang tadi marah dengan sorot mata membunuh, kini ekpresi itu berubah menjadi sosok yang lemah lembut dengan senyuman yang memancarkan kebahagiaan."Hai, jagoan Papa. Rindu ya sama Papa, besok pagi Papa sudah dirumah ya. Sekarang Al tutup dulu panggilannya ya, Papa masih ada urusan." ucap Marwan yang memberikan pengertian pada anak lelaki diujung sana."Okey, Pa, segera kembali Al sama Rie merindukan Papa." jawab anak lelaki itu dengan nada riang,Setelah panggilan terputus, Marwan kembali melayangkan tatapan kebencian pada Anita."Siapa perempuan tadi, Mas? Dan kenapa anak tadi menyebut kamu dengan panggilan Papa?" cecar Anita,"Bukan siapa-siapa, dan itu bukan urusan kamu. Tugas kamu itu hanya mengurus ibuku, dan menjaga calon anakku." jawab Marwan yang hendak berlalu."Kamu mau kemana, Mas?" teriak Anita pada saat Marwan meninggalkan sendiri,"Kamu jelasin sama aku, Mas. Siapa wanita tadi? Apa dia selingkuhanmu disana?" tanya Anita dengan nada bergetar,"Kamu menuduh aku selingkuh lagi, Anita? Atau jangan-jangan dirimu sendiri yang berselingkuh?" cibir Marwan.Anita sudah muak dengan semua drama yang Marwan mainkan, jelas-jelas dirinya tadi mendengar sendiri semua percakapan Marwan dan wanita itu."Sudah berapa kali aku katakan padamu, Mas. Kamu sumpah pun aku berani, Mas, jika aku tidak berselingkuh." ucap Anita dengan tegas."Lalu kenapa kamu menuduhku tanpa bukti, Anita?" sinis Marwan,"Karena aku mendengarkan sendiri semua yang kamu ucapkan dengan wanita tadi. Mulai dari kalian saling rindu sampai kamu tega menyebutku sebagai wanita bodoh." ucap Anita, hampir saja dirinya menangis dihadapan Marwan."Kalau iya wanita tadi istriku, kamu mau apa Anita?" jawab Marwan tanpa dosa, seolah-olah dirinya tidak melakukan kesalahan apa pun.Hati wanita mana yang sanggup menerima kenyataan jika suaminya sudah memiliki istri selain dirinya, disaat ia tengah mengandung anaknya sendiri, setelah penantian kurang lebih empat tahun lamanya."Kamu sudah menikah lagi, Mas?" tanya Anita lemas, ia mencari sandaran soffa dan langsung terduduk. "Maaf, Anita. Aku khilaf," jawab Marwan dengan suara pelan, "Khilaf kamu bilang, Mas?" tanya Anita tersenyum getir. "Aku terpaksa menikah lagi, Anita." jawab Marwan tanpa menatap Anita,"Terpaksa kamu bilang, Mas? Atas dasar apa, Mas?" teriak Anita, "Aku terpaksa menikahi, Yuni, Anita. Karena aku disana juga membutuhkan seseorang yang bisa melayani semua kebutuhan aku," ujar Marwan pelan, Mendengar penjelasan Marwan yang tidak masuk akal itu, membuat Anita terkekeh, "Melayani semua kebutuhan kamu, Mas?" tanya Anita mengulang kembali ucapan Marwan, Marwan hanya menganggukan Kepala pelan, sebagai jawabannya. "Kebutuhan yang mana yang kamu maksud, Mas? Kebutuhan lahirmu apa kebutuhan batinmu?" teriak Anita dengan suara bergetar menahan air mata, Namun Marwan hanya diam tidak menyahuti ucapan Anita, "Jawab, Mas. Kenapa kamu diam saja?" "Semua kebutuhanku, Anita. Termasuk lahir dan
Kabar tentang pernikahan Marwan sudah diketahui banyak orang, bahkan banyak juga emak-emak yang berbondong-bondong menyerbu akun media milik Yunita Indrisantika, yaitu istri keduanya Marwan. Berbagai upatan, Kata-kata kasar terlontar pada halaman media Yuni, membuat Yuni marah dan frustasi karena ulah Anita. "Pokoknya, Mama mau Papa ceraikan wanita itu, sekarang juga!" ucap Yuni pada Marwan diujung telpon. "Bagaimana bisa, Papa menceraikan dia dalam keadaan hamil, Ma?" tanya Marwan yang ikut kesal dengan tindakan Anita yang menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang suami. Kini banyak teman-teman Marwan yang menanyakan kebenaran berita itu, "Awas saja kalau kamu tetap memilih wanita itu dibanding aku, setelah kamu membuatku malu." ancam Yuni lagi, "Iya, Sayang. Kamu tenang saja aku tidak mungkin mempertahankan istri yang sudah menjatuhkan nama baik suaminya." jawab Marwan, berkata selembut mungkin agar hati Yuni melunak, "Sekarang aku harus memikirkan bagaimana caranya agar orang
Sehari setelah Anita melahirkan, dirinya diperbolehkan pulang oleh dokter. Namun satu hal yang membuat, Anita tidak habis pikir, yaitu kenapa Marwan tak kunjung datang? Apa dia sudah melupakan dirinya juga anak yang dikandung Anita? "Assalamu'alaikum, Mbah, kami pulang." Anita mengucapkan salam ketika tiba di rumah mertuanya. Anita memang sengaja datang terlebih dahulu ke rumah mertuanya, untuk mempertemukan anak yang baru saja ia lahirkan dengan neneknya. "Waalaikumsalam, Nita, kamu sudah pulang, Nak?" tanya bu Ida dengan linangan air mata, "Ibu, kenapa Ibu menangis?" tanya Anita cemas, dirinya ingin memeluk bu Ida, namun tidak bisa karena sedang menggendong baby-nya. "Apa, Marwan tidak pulang, Nak?" tanya bu Ida semakin sedih, ia merasa amat sangat bersalah pada, Anita. Anita mencoba menenangkan mertuanya, "Bu, Nita tidak apa-apa, Nita baik-baik saja. Anak yang Nita lahirkan juga Allhamdulilah selamat. Dia cantik sekali kan, Bu?" ujar Nita mengalihkannya kesedihan bu Ida. "Bo
Anita memilih meninggalkan Marwan sendiri di meja makan, ia segera bersiap untuk tidur di samping mertua-nya. Anita memeluk tubuh, yang sudah berkeriput dihadapannya. "Andai, Ibu tahu. Jika Nita sangat sayang sama, Ibu. Sampai kapan pun, Nita tidak rela kehilangan, Ibu. Sekali pun, Nita harus berpisah dengan, Mas Marwan." lirih Anita, dengan isak tangis dibelakang tubuh mertuanya. Sebisa mungkin bu Ida bersikap tenang, dirinya bukan tidak mendengar apa yang Anita sampaikan. Hanya saja bu Ida tidak ingin merusak momen Anita yang sedang menumpahkan seluruh isi dalam hatinya. 'Andai kamu tahu, jika Ibu juga lebih meyayangi kamu, melebihi anak Ibu sendiri.' gumam bu Ida dalam hati, ia menahan diri untuk tidak menangis yang akan membuat tubuhnya terguncang. 'Ibu rela mati, agar kamu bisa bebas dari cengkraman anak Ibu, yang sangat egois itu, Nak.' lirih bu Ida lagi, air mata semakin deras mengalir di pipinya yang sudah keriput. Namun setelah sekian lama, bu Ida tidak mendengar isak ta
"Ibu!" jerit Anita, ia berlari kearah bu Ida. "Ibu kenapa, Bu?" tanya Anita yang langsung memeluk tubuh lemah sang ibu mertua. "Ibu, ayo bangun, Bu. Jangan membuat Anita cemas."Tangisan Anita semakin pecah, tatkala dirinya merasakan darah segar yang terus mengalir dalam mulut bu Ida. "Ibu, Ibu bertahan sebentar saja ya, sebentar lagi kita akan segera membawa Ibu ke rumah sakit." Anita masih mengajak bu Ida berkomunikasi. Warga langsung menyiapkan kendaraan, untuk membawa bu Ida ke rumah sakit. Sayangnya belum sempat tubuh itu diangkat, sudah terdengar dengkuran kasar yang bu Ida hembuskan. "Ibu! Ibu, kenapa?" tanya Anita semakin panik. "Bapak-bapak, ayo bantu saya mengangkat tubuh Ibu saja." ucap Anita pada warga yang ada di sekitar sana. Seorang ustadz mendekati tubuh bu Ida, "Inalillahi wainnailaihi rojiun." ucap seorang ustadz yang mengecek nadi dan jantung bu Ida. "Maksud pak Ustadz apa, bicara seperti itu?" tanya Anita dengan linangan air mata. "Mohon maaf, Anita, mertua
Terjadi keributan antara ke tiga saudara itu, Hilman dan Marwan kekeh dengan pendiriannya yang tidak mau memberi hasil pada Anita dengan alasan Anita itu menantu. Sedangkan Sella dengan kekeh ingin memberikan Anita hasil itu, karena Anita lah yang selama ini merawat ibunya. "Kalian semua egois! Coba kalian pikirkan bagaimana nasib Ibu selama enam tahun ini, jika tak ada Anita yang merawatnya? teriak Sella dengan murka. Anita meraih tangan Sella, berusaha menenangkan kakak iparnya itu. "Mbak sudah, Mbak, aku tidak apa-apa." ujar Anita menenangkan Sella. "Kamu dengar sendiri kan, Mbak. Jika Anita saja tidak masalah, kenapa Mbak yang ribet sih? Lagi pula sudah kewajiban Anita mengurus Ibu, karena dia itu istriku." ucap Marwan, memojokkan Sella. "Hanya karena dia istrimu? Kamu bisa berbuat semena-mena pada, Anita begitu? Coba sekarang kita tukar posisi, bagaimana jika, Mbak Hanum, istrimu, Mas Hilman yang merawat Ibu. Mau apa tidak?" tunjuk Sella pada istrinya Hilman. "Aku?" ucap Han
Pov Anita. Mbak Sella menarik tanganku pergi dari rumahku sendiri, menuju ke rumah Ibu. "Kita harus segera mencari sertifikat rumah itu, Dek. Mbak enggak rela jika sertifikat itu jatuh ke tangan mereka." ucap mbak Sella buru-buru menuntun langkahku menuju kamar Ibu. "Kamu cari di lemari ini, Mbak di lemari sana ya." ucap mbak Sella lagi, sedangkan aku masih bingung dengan semua ini, hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala. Kami berdua sibuk mencari sertifikat itu, semua barang-barang Ibu sudah kami keluarkan namun sama sekali tidak membuahkan hasil. "Bagaimana ini, Dek?" panik mhak Sella. "Aku juga bingung, Mbak!" jawabku lemas karena aku sama sekali belum sarapan. Ditambah lagi aku merasakan sakit di area produk asiku, mungkin anakku tengah kelaparan ingin meminum asi. "Kamu belum makan bukan? Mukamu pucat sekali?" tanya mbak Sella meraba pipiku. "Mbak!" teriakku karena mengingat sesuatu, yang beberapa bulan yang lalu aku titipkan pada Ibu, dan Ibu menyimpannya di lemari ya
Pada saat diperjalanan menuju rumah lagi, tiba-tiba Yuni memberikan saran untuk menjual semua aset yang aku miliki termasuk rumah dan tanah. "Jual saja, Mas. Nanti uangnya bisa kita pakai untuk buka usaha di kota, kan. Memangnya kamu mau selamanya jadi buruh terus?" ucap Yuni padaku sambil berjalan. Tidak ada yang mendengarkan percakapan kita, karena aku dan Yuni sengaja berjalan pelan. Sedangkan Mas Hilman sudah lebih dulu. "Aku masih bingung, Sayang." jawabku pada Yuni. Aku berpikir jika semua aset disini aku jual, nanti aku kemana pulang. "Kok bingung sih, Mas? Memangnya kamu masih mencintai istri kamu itu ya?" tuduh Yuni padaku, "Tidak, bukan gitu, Sayang!" kilahku langsung, aku tak ingin Yuni merajuk, tak bisa aku bayangkan jika aku harus kehilangan dia untuk ke dua kalinya. "Terus apa yang membuat kamu bingung, Mas? Atau kamu mau semua harta kamu dikuasai istri kamu itu? Kamu lupa bagaimana cara kamu mendapatkan semua aset kamu dari dia, Mas? Ingat juga perjanjian yang kal