Aneh.Aku semakin yakin ada yang sedang papa sembunyikan dari kami semuanya. Tapi, apa? Apakah sesuatu yang kriminal? Tapi, setahuku papa adalah orang yang baik selama ini. Entah dengan masa lalunya. "Iya, Pa.""Kur*ng ajar. Jadi, Handoko ingin menyakiti anakku? Dan ... wanita yang kamu bawa ke rumah adalah anaknya Handoko begitu? Untuk menyakiti Luna? Lihat saja! Aku akan membuat perhitungan dengan laki-laki itu" geramnya.Rahang papa tampak mengeras setiap kali menyebut dan mendengar nama Pak Handoko. Bahkan lebih parah daripada saat pertama kali melihatku tadi."Lebih tepatnya untuk mengadudombakan aku dengan Luna dan menghancurkan rumah tangga kami," sesalku."Itu karena kamu polos. Membawa wanita lain ke rumah dan mengabaikan istrimu. Dan lebih mendengarkan orang lain ketimbang istrimu sendiri," geramnya tertahan."Iya, Pa. Dipta mengaku salah. Tapi, Dipta bersumpah tidak memiliki hubungan apapun dengan Tiara, kecuali sebagai teman waktu itu. Mungkin cara Dipta yang salah karena
Kali ini suara papa terdengar lirih dan tercekat. Membuatku merasa iba. "Tidak pa! Ini bukan sepenuhnya salah papa. Andai aku menerima tawaran papa untuk bekerja di kantor dan berhenti dari kantor Pak Handoko, pasti tidak akan seperti ini. Andai aku tidak terlalu dekat dengan Tiara, Luna pasti tidak akan menderita dan kehilangan anak kami. Kesalahanku yang paling besar di sini, Pa. Karena terlepas misi balas dendam, aku juga baru tahu jika Tiara menyukaiku dan ingin merebutku dari Luna." "Apapun yang telah terjadi, jangan ulangi lagi kedepannya. Jagalah anak papa dengan baik. Jangan menyakitinya! Aku mencintainya melebihi diriku sendiri." Papa menepuk bahuku pelan. Seketika aku merasa lega. Papa mertuaku sudah kembali. Sosok yang sangat bersahaja. "Sekali lagi terimakasih, Pa. Sudah mau memaafkan Dipta dan memberi Dipta kesempatan," ujarku terharu. Mendadak suasana sore ini berubah damai dan menenangkan. Tak lagi mencekam seperti tadi."Sama-sama. Temuilah Luna. Tapi, papa tidak b
"M–mbok Asih ... kenapa? Sa–kit apa?" Terimakasih, Sayang.Aku begitu merindukan tatapan khawatir itu. Meski ... bukan untukku."Eum ... eum Mbok Asih kurang sehat dua hari ini. Tepatnya setelah kamu nggak ada, Sayang. Mbok sering mengeluh pusing, sakit kepala, bahkan tadi pagi sampai jatuh saat sedang bersih-bersih. Rasa sakitnya cuma hilang sebentar setelah minum obat, lalu kambuh lagi. Mungkin karena pengaruh usia. Bahkan semalam Mbok Asih sampai demam, dan manggil-manggil nama kamu, Sayang. Di rumah cuma ada Mas sama Pak Karni, kami nggak ngerti cara merawat orang sakit. Nggak mungkin kan Mas biarin Mbok pulang kampung, sementara di sana dia nggak punya keluarga. Mbok Asih cuma punya kita sekarang, yang udah dianggap seperti keluarganya. Terlebih kamu Yank, udah seperti anaknya." Aku menatap Luna lekat-lekat yang mungkin sedang mencerna atau malah bingung dengan perkataanku. Aku tahu ini salah, tapi aku tetap berharap istriku percaya. Sungguh, aku tidak bermaksud membodohi wan
Hening.Lunaku masih betah bersandiwara. "Mas tidak sadar kelicikan Tiara telah membuat Mas mengabaikanmu. Mengadu-domba kita, ingin memisahkan kamu dari Mas. Mas terlalu bodoh hingga tidak sadar, karena dalih balas budi malah melukai istri sendiri. Mengabaikan jeritanmu yang selalu mencoba menjelaskan bahwa alasan Tiara tidak masuk akal."Cup. Kukecup kepala Luna dengan dalam, kuelus rambut panjangnya dengan sayang. "Belakangan Mas baru tahu jika Tiara punya maksud tertentu. Belakangan Mas baru sadar, jika berada di posisimu begitu sakit. Belakangan Mas baru tahu dari Mbok Asih jika wanita ular itu yang telah membuat anak kita pergi. Mas baru sadar dan menyesal setelah kamu lelah dan pergi. Sangat terlambat. Tapi, Mas akan terus mencoba mendapatkan hati kamu lagi. Walaupun nanti Mas akan gagal, setidaknya Mas pernah berjuang," ujarku terisak mengingat anakku tidak lagi berada dalam rahim istriku. Dia sudah pergi bahkan sebelum aku sempat menimangnya. "Kemarin, di warung bubur aya
"Kamu mau pulang, Sayang?" tanyaku dengan mata berbinar."Aku hanya ingin melihat Mbok Asih bukan pulang. Dan berhenti memanggilku Sayang. Aku muak mendengarnya," ketusnya. Deg.Sabat Dipt, sabar.Setidaknya Luna mau ikut ke rumah. Bagaimana cara agar Luna tidak pergi lagi, biar kupikirkan nanti. Istriku harus tetap tinggal bersamaku. Tapi, panggilan sayang. Bagaimana mungkin aku bisa mengubahnya. Mas tidak bisa Luna. Itu di luar kemampuan.Setelah makan malam, aku dan Luna berpamitan pada mama sama papa. Papa menepuk bahuku dan membisikkan kata semangat. Sementara mama masih terlihat dingin dan tidak menyukaiku. Beliau bahkan menahan Luna untuk tidak ikut bersamaku. Namun, akhirnya menyetujui dengan keberatan, setelah istriku menjelaskan tujuannya pulang. Dan besok akan kembali lagi.Sedangkan Kak Vincen dan Kak Kenzo belum pulang dari kantor. Kata papa mereka lembur, dan aku sangat bersyukur untuk itu. Kalau sampai bertemu mereka, bisa panjang urusannya. Lebih seram dari tatapa
HAPPY READINGSuara hati Dipta:Kapan hatimu menghangat kembali? Aku ingin mengulangi lagi kenangan indah kita. Tidakkah kamu merasa rindu, pada hujan malam itu, pada udara dingin yang kita nikmati sampai menusuk kalbu.Pada dua cangkir kopi yang menemani saat kita menikmati senja. Pada deru ombak dan pasir yang menjadi saksi bagaimana raga kita saling memberi rasa nyaman serta batin yang terus menjerit senang dengan kadar yang terhingga. Jika cinta tak lagi mampu menerima kata maafku. Maka lihatlah aku dengan rasa iba. Kasihani aku untuk bisa menyelami hatimu dan membaca setiap bab tentangmu hingga akhir. Aku janji setelah ini akan menjadi pembaca yang baik, tanpa melewatkan bahkan satu titik hingga halaman terakhir. Aku akan mencerna apapun tentangmu dengan lebih hati-hati dan teliti.Sebab, kamu adalah buku yang berisi kata-kata paling indah untuk diselami sekalipun penuh teka-teki yang kadang susah dipecahkan. .Di bawah cahaya temaram di teras rumah, aku membaca pesan yang
"Maaf, aku tidak sengaja ... memeluk Mas," ucapnya terdengar lemas.Aku ikut duduk dan mulai terkekeh hambar di belakang Luna. Lucu atau perih ya. Sejak kapan memeluk suami sendiri harus minta maaf segala. "Kamu ngomong apa sih, Yank? Kok ngawur gitu? Apa salahnya memeluk suami sendiri?" Aku menyentuh pundak Luna tapi, buru-buru di tepisnya. "Kedepannya kita bukan lagi suami istri."Aku mendesah pelan mendengar ucapan tidak masuk akal Luna. Siapa bilang kami bukan lagi suami istri nantinya. Kami akan mengarungi rumah tangga ini selamanya. Tapi, kurasa berdebat bukanlah hal yang baik. Biarlah aku mengalah, aku tidak mau membuat suasana semakin kacau di pagi buta seperti ini. "Sayang, kita solat yok!" ujarku mengalihkan pembicaraan tidak jelas Luna yang bisa membuat kesehatanku terganggu. "Aku masih pendarahan," lirihnya yang mampu mengoyak hatiku sekali lagi. Kenapa aku bisa lupa, istriku baru beberapa hari mengalami keguguran. Kembali aku menatap nanar pada obat-obatan di ata
"Mas apa-apaan sih. Turunin!""Mas, turunin. Aku bisa jalan sendiri."Aku tidak peduli dengan Luna yang terus berontak dan memukul dadaku. Yang menjadi perhatian adalah tubuhnya yang terasa semakin ringan. Perasaan, dulu dia tidak seringan ini saat aku menggendongnya.Segitu menderitanya istriku selama ini.Maaf! . Setelah membawa Luna ke kamar, aku kembali ke dapur untuk memasak. "Masak apa ya kira-kira?" "Pak?" Aku yang sedang bingung menoleh terkejut ke arah Mbok Asih yang muncul tiba-tiba."Mbok? Ngapain di sini? Nanti kalau ketahuan Luna bisa bahaya," ujarku berbisik takut."Saya ingin memasak Pak. Saya tidak ingin memakan gaji buta karena tidak melakukan tugas saya," ujar Mbok Asih ragu-ragu yang membuat kepalaku mendadak pening.Kenapa menghadapi kaum wanita bisa serumit ini."Mbok dengerin saya ya! Mulai sekarang tugas Mbok Asih tidur-tidur aja dan bersandiwara di hadapan istri saya. Jadi Mbok tidak akan memakan gaji buta, oke." "Tapi Pak, masak saya tidur-tidur sedangka