"Kamu mau pulang, Sayang?" tanyaku dengan mata berbinar."Aku hanya ingin melihat Mbok Asih bukan pulang. Dan berhenti memanggilku Sayang. Aku muak mendengarnya," ketusnya. Deg.Sabat Dipt, sabar.Setidaknya Luna mau ikut ke rumah. Bagaimana cara agar Luna tidak pergi lagi, biar kupikirkan nanti. Istriku harus tetap tinggal bersamaku. Tapi, panggilan sayang. Bagaimana mungkin aku bisa mengubahnya. Mas tidak bisa Luna. Itu di luar kemampuan.Setelah makan malam, aku dan Luna berpamitan pada mama sama papa. Papa menepuk bahuku dan membisikkan kata semangat. Sementara mama masih terlihat dingin dan tidak menyukaiku. Beliau bahkan menahan Luna untuk tidak ikut bersamaku. Namun, akhirnya menyetujui dengan keberatan, setelah istriku menjelaskan tujuannya pulang. Dan besok akan kembali lagi.Sedangkan Kak Vincen dan Kak Kenzo belum pulang dari kantor. Kata papa mereka lembur, dan aku sangat bersyukur untuk itu. Kalau sampai bertemu mereka, bisa panjang urusannya. Lebih seram dari tatapa
HAPPY READINGSuara hati Dipta:Kapan hatimu menghangat kembali? Aku ingin mengulangi lagi kenangan indah kita. Tidakkah kamu merasa rindu, pada hujan malam itu, pada udara dingin yang kita nikmati sampai menusuk kalbu.Pada dua cangkir kopi yang menemani saat kita menikmati senja. Pada deru ombak dan pasir yang menjadi saksi bagaimana raga kita saling memberi rasa nyaman serta batin yang terus menjerit senang dengan kadar yang terhingga. Jika cinta tak lagi mampu menerima kata maafku. Maka lihatlah aku dengan rasa iba. Kasihani aku untuk bisa menyelami hatimu dan membaca setiap bab tentangmu hingga akhir. Aku janji setelah ini akan menjadi pembaca yang baik, tanpa melewatkan bahkan satu titik hingga halaman terakhir. Aku akan mencerna apapun tentangmu dengan lebih hati-hati dan teliti.Sebab, kamu adalah buku yang berisi kata-kata paling indah untuk diselami sekalipun penuh teka-teki yang kadang susah dipecahkan. .Di bawah cahaya temaram di teras rumah, aku membaca pesan yang
"Maaf, aku tidak sengaja ... memeluk Mas," ucapnya terdengar lemas.Aku ikut duduk dan mulai terkekeh hambar di belakang Luna. Lucu atau perih ya. Sejak kapan memeluk suami sendiri harus minta maaf segala. "Kamu ngomong apa sih, Yank? Kok ngawur gitu? Apa salahnya memeluk suami sendiri?" Aku menyentuh pundak Luna tapi, buru-buru di tepisnya. "Kedepannya kita bukan lagi suami istri."Aku mendesah pelan mendengar ucapan tidak masuk akal Luna. Siapa bilang kami bukan lagi suami istri nantinya. Kami akan mengarungi rumah tangga ini selamanya. Tapi, kurasa berdebat bukanlah hal yang baik. Biarlah aku mengalah, aku tidak mau membuat suasana semakin kacau di pagi buta seperti ini. "Sayang, kita solat yok!" ujarku mengalihkan pembicaraan tidak jelas Luna yang bisa membuat kesehatanku terganggu. "Aku masih pendarahan," lirihnya yang mampu mengoyak hatiku sekali lagi. Kenapa aku bisa lupa, istriku baru beberapa hari mengalami keguguran. Kembali aku menatap nanar pada obat-obatan di ata
"Mas apa-apaan sih. Turunin!""Mas, turunin. Aku bisa jalan sendiri."Aku tidak peduli dengan Luna yang terus berontak dan memukul dadaku. Yang menjadi perhatian adalah tubuhnya yang terasa semakin ringan. Perasaan, dulu dia tidak seringan ini saat aku menggendongnya.Segitu menderitanya istriku selama ini.Maaf! . Setelah membawa Luna ke kamar, aku kembali ke dapur untuk memasak. "Masak apa ya kira-kira?" "Pak?" Aku yang sedang bingung menoleh terkejut ke arah Mbok Asih yang muncul tiba-tiba."Mbok? Ngapain di sini? Nanti kalau ketahuan Luna bisa bahaya," ujarku berbisik takut."Saya ingin memasak Pak. Saya tidak ingin memakan gaji buta karena tidak melakukan tugas saya," ujar Mbok Asih ragu-ragu yang membuat kepalaku mendadak pening.Kenapa menghadapi kaum wanita bisa serumit ini."Mbok dengerin saya ya! Mulai sekarang tugas Mbok Asih tidur-tidur aja dan bersandiwara di hadapan istri saya. Jadi Mbok tidak akan memakan gaji buta, oke." "Tapi Pak, masak saya tidur-tidur sedangka
HAPPY READING ❤️😊"Sorry, gue selalu ngerepotin lo!""Santai aja lo ah. Kek sama siapa aja. Gue malah senang bisa bantu lo," sela Riko memukul pundakku saat kami memasuki restoran yang alamatnya Tiara kirim ke ponselku. "Thank you, Bro. Kalau bukan karena lo, mungkin rumah tangga gue kemarin tinggal sejarah. Beruntung banget gue punya teman kek lo." "Nggak usah bijak gitu kali, geli tau nggak. Ihh." Riko mengibas-ngibas tangannya mendengar perkataanku yang dari hati. Apaan coba, ketulusanku berterimakasih bukannya diapresiasi malah diledekin. Dasar, untung kawan.Meski begitu aku bersyukur memiliki seorang teman seperti dirinya. Mendapat banyak teman itu mudah, tapi teman yang selalu ada serta tak pernah lelah mengingatkan kita kala telah melangkah pada jalan yang salah itu langka, hampir tidak ada. Hanya yang benar-benar tulus saja. Dalam islam pun, kita dianjurkan untuk pandai memilih dan memilah dalam hal pertemanan bukan?Bukan tidak boleh berteman dengan siapapun, tapi ji
"Iya, Rik. Silahkan duduk!" jawabku memecah keheningan karena Tiara masih betah membisu. Yang jelas aku sangat menikmati pertunjukan di depanku."Eum, kamu dateng sama Riko?" tanya Tiara dengan tatapan menyelidik padaku."Iya. Aku ngajak Riko. Apa ada masalah?" "Eh, enggak sih.Tapi kita 'kan ingin membahas urusan pribadi ...." "Terus, kenapa? Riko teman aku, dan setiap masalah pribadi aku selama ini dia tahu. Termasuk ... isi pesan kamu tadi pagi. Jadi, katakan saja apa yang ingin kamu katakan!" Aku sengaja memilih kalimat yang membuat Tiara terserang. Sedangkan Riko hanya diam, menyaksikan drama murahan di hadapannya. Ya, aku memang sudah mewanti-wanti Riko untuk diam saat dalam perjalanan ke sini. Bagaimanapun aku tidak ingin membuatnya berada dalam masalah, apalagi Tiara adalah anak dari Pak Handoko. Aku tidak ingin Riko mengalami hal buruk karena membantuku, apalagi jika sampai kehilangan pekerjaan.Aku hanya butuh Riko menemaniku, setidaknya agar aku terbebas dari rencana li
Deg.Seketika tubuhku menegang."Laki-laki seusia papa? Siapa? Ke rumah? Kapan?" Aku memberondong Mbok Asih dengan banyak pertanyaan karena kaget. "Itu ... orangnya baru saja pergi. Saya kurang tahu siapa? Tadi, saya hanya mengintip dari ruang makan. Mereka berbicara di sofa. Saya tidak bisa mendengar apa yang orang itu bicarakan dengan Bu Luna, awalnya terlihat seperti biasa. Tapi, setelahnya orang itu marah-marah dan membentak Bu Luna.""Apa? Marah-marah sampai membentak?!" Amarahku kembali mencuat setelah mendengar penuturan Mbok Asih. Kurang ajar, siapa yang berani membentak istriku? "Katakan Mbok. Laki-laki itu bilang apa saat membentak istri saya!" Tanganku terkepal erat."Katanya, papa Bu Luna seorang pembunuh dan laki-laki itu bilang Bu Luna tidak pantas untuk menjadi istri Pak Dipta, Pak Dipta hanya pantas untuk Tiara."Lagi, penjelasan Mbok Asih malah membuat dadaku naik turun menahan emosi. "A–pa laki-laki itu berkumis tebal dan botak?" tanyaku bergetar, berharap dug
HAPPY READING ❤️😊💗Suara hati Dipta:Terlepas dari apapun yang terjadi, kamu tetap istriku. Tak ada yang berubah, kita akan menua bersama dan semoga bertemu lagi di surga.Aku tetap cinta, karena aku memang cinta. Meski terkesan berlebihan, tapi cintaku tak bersyarat. Aku akan terus berusaha membahagiakanmu kedepannya. Masa lalu adalah pengalaman berharga untukku. Agar lebih bisa membaca isi hatimu dan mencoba lebih peka. Kamu tetap akan menjadi sebuah buku yang betah aku baca, jika sudah selesai. Maka akan kembali kubuka halaman pertama, lalu tertawa mengulang diksi-diksi indah yang telah menjadi kenangan di dalamnya. Pintaku hari ini, ayolah kembali cerewet, kamu kurang cantik kalau diam-diam begitu, Luna..Ini anggukan ke empat Luna yang membuatku seperti berada di atas awan. Ini Luna yang aku rindukan. "Kamu istri Mas 'kan?" "He,em." "Sampai kapan?" "Eum ... selamanya." Jantungku ingin meledak, aku seperti mau mati. Luna mendadak imut sekali. .Aku mengajak Luna duduk