Tiba-tiba saja jantungku kembali berdegup tak beraturan. Rasa panas menjalar di sekitar wajahku. Mungkin warnanya kini sudah memerah. Aku mengulum senyum mendengar bisikan dari Mas Deni."Emang Mas Deni mau ngapain?" "Maunya gimana?""Dih, nanyak. Delima mana tau.""Beneran kamu nggak takut sama Mas?""Enggak.""Tapi di rumah cuman ada kita berdua lho.""Biarin.""Hem. Nantangin, ya?" Dia mencubit kecil ujung telingaku."Dih. Siapa yang nantangin? Delima cuman percaya aja sama Mas Deni. Makanya Delima nggak takut.""Terus, kenapa takut sama Raka?""Anu, itu, Delima....""Kamu kenapa? Bukannya waktu itu Raka masih jadi suami kamu? Kanapa takut? Memangnya apa yang dilakukan Raka? Apa dia pernah bersikap kasar, atau bahkan memukul kamu?" Aku menggeleng pelan."Terus? Kenapa sampai nggak mau tinggal berdua sama Raka?""Karena... waktu itu Mas Raka meminta haknya sebagai suami sama Delima." Aku meremas jemariku sembari melirik wajah Mas Deni. Wajahnya tampak kecewa. Dia pasti merasa cemb
Ternyata kehamilannya itu yang membuat dia lemah selama ini. Dia tersenyum menyambut kedatanganku. "Mbak udah sehat?" tanyaku, turut merasakan kebahagiaan."Iya, Delima. Mbak pulih lebih cepat.""Nah, gitu dong. Kalau begini kan, Delima dan Mama bisa jadi lebih tenang. Iya kan, Ma?" Aku tersenyum pada Mama. Mama mengangguk."Kalian habis dari mana?" tanya Mama."Dari rumah, Bulek," sahut Mas Deni. "Sengaja mau nemuin Bulek di sini.""Kayak Bulek nggak pulang-pulang aja," seloroh Mama. "Memangnya ada perlu apa kamu sama Bulek?""Begini, Bulek. Deni mau minta sesuatu sama Bulek.""Minta apa, Den?""Deni mau melamar Delima, Bulek. Jadi, Deni minta, Bulek jangan jodohin Delima sama orang lain. Deni dan Delima saling mencintai. Iya kan, Sayang?" Mas Deni seperti anak kecil, memintaku untuk membenarkan ucapannya di hadapan Mama.Aku dan Mama saling menoleh dan tertawa kecil. Membiarkan Mas Deni sibuk dengan ketakutannya sendiri. Kurasa Mas Deni juga tidak menyadari tentang hal itu. Padahal
Bue? Sidik? Kenapa mereka bisa bersama Mas Raka tanpa sepengetahuanku. Bukankah selama ini apa pun yang mereka lakukan selalu meminta persetujuan dariku? Aku segera melangkahkan kaki ingin menyapa dan memeluk Bue. Namun baru selangkah kakiku bergerak, Mbak Silvi langsung menyusul dan mempercepat langkahnya."Ibuk." Dia langsung memeluk Bue sambil menangis. Entah apa yang sedang dia rencanakan. Mas Raka berjalan mendekati kami. Membiarkan istrinya menyambut hangat kedatangan Ibuku. "Kamu di sini, Dek? Mas baru mau ngabari kamu," ucapnya tanpa menoleh pada Mas Deni."Kenapa Bue sama Sidik bisa ke sini, Mas?" tanyaku heran."Mas yang jemput.""Kenapa Mas melakukan itu tanpa bilang sama Delima?""Memangnya kenapa, Dek? Apa kamu nggak senang ketemu Bue sama adik kamu?""Bukan begitu, Mas. Tapi kan kondisi kesehatan Bue bisa buruk kalau melakukan perjalanan sejauh ini. Lagi pula, Bue harus pelan-pelan dikasi tau tentang masalah kita, Mas.""Ini permintaan Mbakmu, Dek. Katanya dia butuh Bu
"Dengar ya, Delima. Seharusnya kamu itu berterima kasih sama Mbak. Tinggal tidur sama Mas Raka aja apa susahnya. Mbak jamin hidup kamu dan keluarga kamu bakal enak.""Mbak sudah tidak waras. Sebaiknya Mbak pergi ke psikiater. Biar Mas Raka balik mencintai wanita normal seperti dulu." Aku pergi meninggalkannya dengan kesal.Kulihat suasana tegang masih terasa meski kini mereka sedang duduk dan berkumpul. Aku bergegas mendekati Bue dan menarik tangannya."Bue, kita langsung ke rumah Mama aja, ya. Boleh kan, Ma?" Aku menatap Mama."Iya, Delima. Mama juga mau pulang." Mama ikut bangkit dan berdiri."Lho, kenapa, Dek? Bue kan baru aja sampai. Masih capek. Lagian kenapa harus ke rumah Mama?" Mas Raka ikut menimpali."Iya, Nduk. Wong Bue mau nginep di rumah kamu kok." Bue ikut heran."Delima nggak tinggal di sini lagi, Bue. Delima....""Delima selingkuh dari Mas Raka, Buk." Mbak Silvi tiba-tiba muncul.Mataku membelalak kaget. Bue kemudian menatap wajahku. "Ibuk nggak tau kan kelakuan anak
"Menikah, Ma? Secepat ini?" Aku terkejut mendengar usulan Mama. "Iya, Delima. Biar kamu ada yang melindungi juga. Raka itu orangnya jarang-jarang jatuh cinta. Tapi kalau sudah seperti itu, apa pun akan dia lakukan. Bahkan demi Silvi dia rela membatalkan pertunangannya.""Jadi, maksud Mama, Mas Raka masih akan berusaha untuk kembali sama Delima?""Kita mana tau. Apa lagi kamu bilang dia akan menceraikan Silvi. Itu berarti kesalahan Silvi sudah fatal. Mama kenal betul sifat Raka.""Tapi, Ma?""Besok kita bicarakan masalah ini lagi, Delima."*Siang ini Mas Deni datang ke rumah Mama. Kalau biasanya dia hanya berbusana santai, kali ini dia tampak rapi sekali. Rambut lurusnya pun diberi gel agar tertata rapi. Tidak dibiarkan terurai begitu saja. Wangi parfum juga menyeruak seperti hendak bepergian.Aku menarik senyum di sudut bibir. Semakin kagum pada dirinya. Kami berkumpul di ruang keluarga saling berhadap-hadapan. Mas Deni duduk dengan begitu berwibawa di samping Mama."Apa ini tidak t
Sudah beberapa hari setelah kepulangan Bue. Akhirnya Bue setuju aku tetap tinggal di sini. Bue nantinya akan bicara pelan-pelan pada beberapa kerabat di sana. Jujur, keluarga Almarhum Bapak pun tak begitu dekat dengan keluarga kami. Selalu bersikap tak acuh atas kesusahan yang kami alami. Jangankan membantu sekolah Sidik, saat Bue sakit pun mereka tak begitu peduli.Hal inilah yang membuatku tak punya pilihan selain menerima tawaran Mbak Silvi waktu itu. Sedang Mbak Silvilah satu-satunya jalan agar Bue bisa dioperasi dan bisa sehat sampai detik ini.Syukurlah Mama dan Mas Deni tidak marah padaku soal keputusan Bue. Dan pada akhirnya aku tetap harus menjalani kehidupan seperti biasanya lagi sampai sidang perceraianku selesai.Hari ini Mama pergi mengunjungi Lara ke rumah besannya. Sementara, Mas Deni pergi ke beberapa toko untuk memeriksa laporan. Bik Inah sepertinya sedang menyetrika pakaian.Dari pada suntuk tidak ada kegiatan, aku lebih memilih mencabuti rumput di halaman. Selang b
Mas Raka menyeret kopernya melewatiku begitu saja. Aku yang masih terperangah melihat kelakuannya, segera menyusul."Sebentar, Mas. Delima keluarin baju-baju Delima dulu, ya. Cuman sedikit kok." Aku mencegatnya saat hendak naik ke anak tangga."Ya udah, bareng aja. Sekalian Mas mau nyusun baju," sahutnya santai."Jangan, Mas. Biar Delima aja dulu. Nanti sesudah rapi, baru Mas Raka masuk.""Kenapa, Dek? Kamu masih takut sama Mas? Mas tau diri, kok. Mas bukan suami kamu lagi. Apa kamu pikir Mas serendah itu, mau berbuat yang macam-macam sama kamu?""Eh, bukan itu maksud Delima. Maaf." Aku tertunduk diam."Biar Mas pakai kamar Lara aja." Dia kembali berjalan melewatiku. Aku membiarkannya saja. Ada rasa yang tidak enak juga di hatiku. Apa Mas Raka tersinggung dengan ucapanku. Selalu curiga dan menuduhnya ingin berbuat yang tidak-tidak denganku. Ternyata ucapan Mas Raka tidak main-main. Mas Raka benar-benar telah menceraikan Mbak Silvi rupanya. Entah aku harus kasihan melihat nasib mere
Mengurung diri di kamar bukanlah kebiasaanku. Aku hanya masuk ke sana saat akan mandi dan juga tidur. Selebihnya aku lebih suka berada di luar, mengerjakan apa pun yang bisa aku kerjakan. Lalu, kalau sekarang Mas Raka terus berkeliaran di rumah ini, aku harus bagaimana?"Mas lupa bawa handuk, Dek. Boleh minta tolong, ambilin handuk Mas yang ada di kamar kamu?" Mas Raka tiba-tiba saja sudah berada di belakangku."Handuk? Oh, ada, Mas. Sebentar, ya. Delima ambilin." Aku bergegas naik ke atas. Lemari besar di kamar yang aku tempati ini, memang masih banyak pakaian yang masih tersusun dan tergantung rapi. Mungkin karena mereka sering menginap di rumah Mama. Jadi tak perlu bolak-balik membawa pakaian.Aku keluar dari kamar dengan membawakan sebuah handuk berwarna putih. Ternyata Mas Raka sudah menunggu di depan pintu. Syukurlah dia tidak asal masuk. Padahal aku memang lupa mengunci pintu tadi."Ini, Mas, handuknya. Barang-barang Mas masih banyak di dalam. Biar nggak bolak-balik, Mas tingg