Keesokannya hacker yang dicarikan Laila sudah menemui Raden di pagi hari dan segera melakukan yang pria tersebut minta. "Berapa jam yang Anda butuhkan untuk bekerja?"
"Karena kita sama sekali tidak tahu apa pun mengenai ponsel tersebut, setidaknya dalam tiga jam saya baru mendapatkan hasilnya," jawab hacker tersebut dengan mantap. Raden mengangguk dengan puas.
Sebenarnya melihat bagaimana penampilan hacker itu cukup rapi, tidak sekedar jaket dengan celana sederhana atau hanya memakai sandal sebagai alas kaki, Raden nyaris termakan stereotip televisi. "Baiklah. Saya akan tunggu sampai jam satu siang. Tidak masalah, kan?"
"Sama sekali tidak masalah." Agar memudahkan komunikasi, Raden sudah mempersiapkan satu ruangan khusus di samping ruangan yang tak terpakai untuk orang tersebut bekerja. Semua hal yang orang itu akan butuhkan segera disiapkan dengan cepat. Agar tak ada yang tahu aktivitas ini, Raden seng
Sejak terakhir kali perkelahian di dalam ruang kerja Raden, Laila melihat bagaimana sang Bos tampak sangat kalut. Walaupun berusaha untuk bersikap profesional semaksimal mungkin, sangat terlihat jelas bahwa Raden tidak sefokus sebelumnya. Seringkali Laila melihat Raden melamun ketika mendekati jam pulang kantor. Selain itu, sepertinya Raden tidak melakukan apa pun lagi yang berkaitan dengan Cathleen. "Pak, ini adalah laporan terakhir untuk hari ini," ujar Laila sambil menyerahkan satu folder di atas meja atasannya. Dengan tangan yang memijat kening, Raden bergumam dan mengambil laporan tersebut. Setelah melihat isi, Raden pun mengakhiri pekerjaan hari ini. "Kamu boleh pulang. Terima kasih untuk kerja kerasnya hari ini." Laila mengangguk. Meski Raden berkata seperti itu, biasanya dia tidak akan pergi sebelum Raden pergi. Saat ini pun dia akan seperti begitu, tapi rupanya Raden memang sedang tak ingin ditemani. "Kamu pulang saja. Saya ingin melanjutkan
“Maafkan aku. Pasti berita mengenai hubungan kita juga sangat membebanimu, ya? Maaf, aku tidak peka," pinta maaf Cathleen. Melihat bagaimana Raden membicarakan begitu banyak masalah tanpa ujung, dia mulai perbuatannya cukup berlebihan. Dia kira Raden akan memberikan tatapan sinis. Terlebih semakin ia mabuk, sorot matanya semakin tajam. Namun apa yang terjadi ternyata berbeda dari ekspetasi. Dengan lembut, lelaki itu berbicara, “Tidak masalah. Justru aku sangat menghargai kehadiranmu hari ini. Padahal aku meminta secara mendadak dan sempat memarahimu, tapi kamu tetap menerima ajakanku.” Suara ketulusan itu tidak dibuat-buat sama sekali, Cathleen bisa rasakan itu. Dengan sabar, dia menunggu Raden menyelesaikan kalimatnya. “Sejak kecil, aku sudah tidak punya siapapun." Oh, Cathleen tahu cerita ini. Perjalanan Raden sebagai direktur utama memang tidak mudah karena dia sudah ditinggal pergi oleh keluarganya di umur yang sangat muda. Beruntung ada teman akrab
"Dapatkan rekaman suara atau video yang menyatakan mereka berdua sedang saling berbicara. Semua pembicaraannya harus jelas. Termasuk siapa nama pelaku sebenarnya—seandainya kamu benar-benar tidak berselingkuh." Semalaman Raden tak pulang sama sekali. Di dalam ruang kerjanya, dia terus memikirkan cara bagaimana agar bisa memberikan bukti kepada Anna. Dengan harapan bisa mendapatkan sedikit bukti audio, Raden menghabiskan satu jam untuk mengecek fail yang dimiliki ponsel Cathleen. Namun, hasilnya nihil. "Bagaimana ini ... Hacker saja pasti tidak bisa membantu banyak." Dilihat dari sikap Anna tadi siang, pasti dia menjadi selektif terhadap barang bukti. Kemungkinan dia akan lebih percaya pada rekaman terbaru. Akan lebih baik lagi jika bukti itu berupa rekaman telepon Cathleen dengan 'orang' tersebut. Sekali lagi matanya melirik ke arah isi ponsel Cathleen. Dari seratus lebih kontak yang tersimpan, hanya satu kontak yang tidak punya nama. Tante. "Sepertin
Jam tiga malam, saat Anna terbangun sendiri, ponselnya menyala dan menunjukkan notifikasi yang baru masuk. Ternyata dari Raden. Pria tersebut tak memberi kalimat pembuka atau penutup apa pun selain sebuah audio yang lamanya sepuluh menit lebih. Karena penasaran, Anna mencoba mendengar isinya. "Kenapa kamu menelepon Tante semalam ini, Cathleen?" "Tante Masya, kurasa aku tidak melanjutkan hubunganku dengan Raden. Aku ... menyerah mendapatkannya." "Huh? Apa maksudmu, Cathleen?" "Aku tidak akan mendekatinya lagi." Sepanjang mendengarkan audio, mata Anna terbuka lebar. Mulutnya bertingkah hal yang sama namun ditutupi oleh tangan kiri. Suara ini jelas milik Masya dan Cathleen. Di akhir telepon, ada suara Raden yang ikut mencampuri percakapan. Didengar dari nada suara saja Anna sudah membayangkan bahwa Masya sangat terkejut saat tahu Raden mendengar semuanya. Entah sekarang dia harus terkejut dan mera
Untuk kali pertama dalam hidup Anna, pagi bisa semenghangatkan ini. Tubuh rampingnya bergeliat sembari meringkuk, berusaha mencari posisi nyaman sebelum kesadarannya perlahan kembali. "Sekarang sudah jam setengah sebelas, sayang. Kamu masih mau tidur?" Huh? Sayang? Oh, tunggu sebentar, suara orang lain? Buru-buru Anna terbangun dari pulau mimpi dan melihat siapa orang yang baru saja berbicara. Benar, dia baru ingat bahwa subuh tadi sudah meminta agar Raden memeluknya ketika tidur. Pantas saja tidurnya jadi nyenyak. Tapi, tunggu. Barusan Raden memanggilnya apa? "Huh? Kamu bicara apa?" "Sekarang sudah jam setengah sebelas. Kamu masih mau tidur?" ulang Raden, sengaja menghilangkan satu kata. Dia mencoba menahan senyum ketika Anna menggaruk tengkuk dan memiringkan kepala. Pasti perempuan itu merasa ada yang kurang dengan perkataannya, tapi memutuskan untuk tak lanjut bertanya. "Hari ini--" Muka Anna seperti terkejut lagi, lalu cepat-cepat
Beruntung Anna tak melanjutkan pertanyaan mengenai sumber bukti sehingga mereka bisa tiba di kantor dengan tenang. Agar tak ada lagi kesalahpahaman atau candaan tak penting, Raden memutuskan untuk memberitahu status Anna ke para pegawai dan juga publik. Kini, di depan banyak pegawai, Raden membuka suara dengan lantang dan jelas, "Di samping saya, ada seseorang yang sudah menemani saya selama tiga tahun. Dalam pemberkatan, kami berdua sama-sama mengikat janji suci. Perkenalkan, wanita ini adalah Anna Jareina Setiawan, istri saya. Saya harap kalian mengingat ini semua." Ada sebagian pegawai yang merasa senang ketika tahu sang direktur ternyata diam-diam sudah memiliki istri, ada juga yang tak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka. Namun, dari semua orang itu, Anna paling mengingat wajah kedua resepsionis yang sering menyambutnya. Kedua petugas resepsionis itu berbisik-bisik senang, mungkin bangga karena telah memperlakukan Anna dengan baik meski tak tahu siap
"Tidak apa-apa. Sekarang yang penting kamu ada di sisiku. Sebentar lagi aku akan berusaha sekeras mungkin untuk membalikkan semua ke keadaan semula.” -Raden. ----- Dengan harap-harap cemas Anna melihat pemandangan di luar kaca mobil. Sekarang dia akan pergi menuju rumah Raden. Di belakang mobilnya, ada truk khusus untuk mengangkat semua barang yang akan dipindahkan. Sesekali dia masih terhanyut dalam reaksi netizen yang semakin lama semakin memojokkan Raden. Walaupun lelaki itu tetap menelepon seakan-akan tak ada yang terjadi, Anna tetap merasa sesak. Wanita itu mengerti bagaimana rasanya disalahkan untuk sesuatu yang tak ia perbuat. Bagaimana perasaan menggerahkan saat ia tak diberi kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Terlebih ketika kesalahpahaman itu berimbas ke bagian lain. "Kenapa dia tetap bertindak seolah semua adalah hal sepele?" gumamnya, sedikit merasa sebal. Atau memang hanya Anna saja yang lebay? Tidak terasa, m
"Seperti yang kamu tahu, ada banyak hal yang kualami sejak kecil. Alasan aku bisa lahir adalah suatu hal yang tak bisa diterima Ayahku. Beliau membenciku, begitu juga dengan Ibuku. Sejak awal, aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk memimpin perusahaan Ayahku. Namun, sejak kebakaran itu, Paman Adit datang menemuiku dan membuatku sekali lagi punya tujuan hidup. "Sudah banyak hal yang kukorbankan demi membangun perusahaan. Lalu, Ayahmu dan Kakakku datang seenaknya untuk mengambil perusahaan. Aku tidak tahu seberapa egoisnya mereka kelak, tapi kemungkinan terburuknya, aku dikeluarkan dari perusahaan. Bukankah itu sama saja dengan perampasan hasil kerjaku?" Anna mendengarkan dengan serius, tak menyela sama sekali. Dari cara berbicara Raden yang rendah tapi tak penuh kesombongan atau jenaka, ia menilai Raden mengatakan yang jujur, murni dari isi hatinya. Sempat muncul perasaan ingin mengibur, tapi Anna sadar diri. Diri sendiri saja tak pernah bisa dihibur, apalagi