Untuk kali pertama dalam hidup Anna, pagi bisa semenghangatkan ini. Tubuh rampingnya bergeliat sembari meringkuk, berusaha mencari posisi nyaman sebelum kesadarannya perlahan kembali.
"Sekarang sudah jam setengah sebelas, sayang. Kamu masih mau tidur?"
Huh? Sayang?
Oh, tunggu sebentar, suara orang lain?
Buru-buru Anna terbangun dari pulau mimpi dan melihat siapa orang yang baru saja berbicara. Benar, dia baru ingat bahwa subuh tadi sudah meminta agar Raden memeluknya ketika tidur. Pantas saja tidurnya jadi nyenyak. Tapi, tunggu. Barusan Raden memanggilnya apa? "Huh? Kamu bicara apa?"
"Sekarang sudah jam setengah sebelas. Kamu masih mau tidur?" ulang Raden, sengaja menghilangkan satu kata. Dia mencoba menahan senyum ketika Anna menggaruk tengkuk dan memiringkan kepala. Pasti perempuan itu merasa ada yang kurang dengan perkataannya, tapi memutuskan untuk tak lanjut bertanya. "Hari ini--"
Muka Anna seperti terkejut lagi, lalu cepat-cepat
Beruntung Anna tak melanjutkan pertanyaan mengenai sumber bukti sehingga mereka bisa tiba di kantor dengan tenang. Agar tak ada lagi kesalahpahaman atau candaan tak penting, Raden memutuskan untuk memberitahu status Anna ke para pegawai dan juga publik. Kini, di depan banyak pegawai, Raden membuka suara dengan lantang dan jelas, "Di samping saya, ada seseorang yang sudah menemani saya selama tiga tahun. Dalam pemberkatan, kami berdua sama-sama mengikat janji suci. Perkenalkan, wanita ini adalah Anna Jareina Setiawan, istri saya. Saya harap kalian mengingat ini semua." Ada sebagian pegawai yang merasa senang ketika tahu sang direktur ternyata diam-diam sudah memiliki istri, ada juga yang tak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka. Namun, dari semua orang itu, Anna paling mengingat wajah kedua resepsionis yang sering menyambutnya. Kedua petugas resepsionis itu berbisik-bisik senang, mungkin bangga karena telah memperlakukan Anna dengan baik meski tak tahu siap
"Tidak apa-apa. Sekarang yang penting kamu ada di sisiku. Sebentar lagi aku akan berusaha sekeras mungkin untuk membalikkan semua ke keadaan semula.” -Raden. ----- Dengan harap-harap cemas Anna melihat pemandangan di luar kaca mobil. Sekarang dia akan pergi menuju rumah Raden. Di belakang mobilnya, ada truk khusus untuk mengangkat semua barang yang akan dipindahkan. Sesekali dia masih terhanyut dalam reaksi netizen yang semakin lama semakin memojokkan Raden. Walaupun lelaki itu tetap menelepon seakan-akan tak ada yang terjadi, Anna tetap merasa sesak. Wanita itu mengerti bagaimana rasanya disalahkan untuk sesuatu yang tak ia perbuat. Bagaimana perasaan menggerahkan saat ia tak diberi kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Terlebih ketika kesalahpahaman itu berimbas ke bagian lain. "Kenapa dia tetap bertindak seolah semua adalah hal sepele?" gumamnya, sedikit merasa sebal. Atau memang hanya Anna saja yang lebay? Tidak terasa, m
"Seperti yang kamu tahu, ada banyak hal yang kualami sejak kecil. Alasan aku bisa lahir adalah suatu hal yang tak bisa diterima Ayahku. Beliau membenciku, begitu juga dengan Ibuku. Sejak awal, aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk memimpin perusahaan Ayahku. Namun, sejak kebakaran itu, Paman Adit datang menemuiku dan membuatku sekali lagi punya tujuan hidup. "Sudah banyak hal yang kukorbankan demi membangun perusahaan. Lalu, Ayahmu dan Kakakku datang seenaknya untuk mengambil perusahaan. Aku tidak tahu seberapa egoisnya mereka kelak, tapi kemungkinan terburuknya, aku dikeluarkan dari perusahaan. Bukankah itu sama saja dengan perampasan hasil kerjaku?" Anna mendengarkan dengan serius, tak menyela sama sekali. Dari cara berbicara Raden yang rendah tapi tak penuh kesombongan atau jenaka, ia menilai Raden mengatakan yang jujur, murni dari isi hatinya. Sempat muncul perasaan ingin mengibur, tapi Anna sadar diri. Diri sendiri saja tak pernah bisa dihibur, apalagi
Di restoran sepi pengunjung, salah satu meja terisi untuk tiga orang. Walau tujuan pergi ke restoran adalah untuk makan bersama, suasana saat ini tidak senyaman seperti yang seharusnya. Atmosfir terasa kaku, apalagi ketika pria itu meminta penjelasan lebih dengan tangan kanan mengepal kuat ujung sendok. "Bukan seperti ini cara mainnya. Kenapa kalian seenaknya sendiri mengganti isi perjanjian kita?" "Tolong, dengarkan dia dulu...." pinta Masya dengan suara kecil, nyaris mencicit. Saat ini, wanita itu tak dapat membuka suara lebar-lebar seperti di tempat lain. Aura Malik dan lawan bicara mereka lebih mendominasi di tempat ini. "Jelaskan. Sejelas-jelasnya." Perintah yang tegas segera Malik iyakan sebab dia memang ingin melakukan itu. "Apa kamu sudah mendengar mengenai hubungan Raden dan seorang aktris?" Malik memancing lawan bicaranya untuk berpikir dan menebak-nebak ke mana arah pembicaraan saat ini. "Hm, skandal memalukan. Aku yang tidak terlibat pun i
Sebagai seorang pengangguran dan tak punya sesuatu untuk dikhawatirkan, Anna mengerti jika dia harus membayar dengan sebuah rasa kesepian. Karena di kehidupan nyata, dia tidak banyak memiliki teman akrab--dan rata-rata mereka pasti sudah punya kesibukan sendiri, Anna membuka sebuah akun di Twitter. Aplikasi biru itu sedikit menghibur kehidupannya yang membosankan dan cukup penuh drama. Setidaknya meski Anna tidak banyak keluar dari rumah, dia tetap mengetahui perkembangan setiap detik di luar. Melalui aplikasi ini juga dia seorang teman virtual. Anna tak yakin apa mereka bisa dikatakan sebagai teman, tapi setidaknya orang tersebut bisa menghibur dan memberi respon yang baik untuk tiap ceritanya. Kembali ke saat ini, seharusnya Anna sudah keluar dari mal ini. Akan tetapi ketika di tengah jalan, selepas tak sengaja menabrak orang, penguntit itu seperti menghilang dan tak lagi mengikutinya. "Hah ... Bahkan aku tak tahu apakah sungguhan ada orang yang mengikutiku."
Di lain hari, sesudah menyelesaikan tugas untuk mengisi kekosongan di rumah Raden, Anna kembali menganggur. Tak ada hal lain yang bisa dia kerjakan selain membuat tulisan untuk dilombakan--walaupun belum ada yang menang sama sekali, berbelanja, atau iseng-iseng memasak sesuatu. Kali ini, Anna sudah kehabisan ide. Apa pun kegiatan yang hendak dilakukan, jika hanya berada di situ-situ saja tetap akan membosankan. Akan tetapi celetukan salah satu pekerja berhasil menginspirasi wanita itu. "Apakah Ibu pernah pergi ke perusahaan Pak Raden?" "Pernah. Saat itu aku pergi ke sana untuk mengantarkan bekal buatanku." Apa perlu dia sekali lagi membuatkan bekal? Tapi, sayang sekali karena jam makan siang sudah lewat. "Hm ... Kalau aku pergi ke sana lagi hanya dengan membawa diri, pasti aneh sekali, ya? Raden juga akan terganggu dengan kehadiranku." Diam-diam di belakang si pembantu menahan tawa sebisa mungkin. Dilihat dari sikap Raden yang berubah 180 derajat sejak kedata
Setelah Raden menceritakan yang sebenar-benarnya kepada Adit, orang tua itu dapat memahami alasan pria itu menikahi Anna namun menyembunyikan wanita itu. "Pantas saja. Memang sejak awal, saat kamu menikahi seseorang bermarga Setiawan, Paman jadi ragu. Tapi baguslah kalau begitu. Ternyata istrimu adalah wanita yang baik. Paman harap kamu bisa membahagiakannya." Begitulah petuah singkat Paman Adit sebelum orang tua itu menambahkan sesuatu di akhir."Kata Paman Adit, entah kenapa kamu terasa cukup akab untuknya," lanjut Raden mengakhiri ceritanya pada Anna. Terus terang saja, di dalam lubuk hati Anna, perempuan itu merasa lega karena Adit mau menerima kehadirannya sebagai seorang Anna. Tentu saja dia mulai curiga saat Adit ingin berbicara dengan Raden berduaan, untung saja sang suami langsung menceritakan percakapan mereka berdua tanpa mengurangi sesuatu.Mengenai perasaan akrab padahal tak pernah bertemu, Anna mengeluarkan tawa kecil. "Mungkin karena aku sudah pernah men
Sebenarnya Raden tak perlu khawatir atau memiliki bayang-bayang jika Anna tak mau mengaku dia telah menikah, karena tanpa diminta pun Anna sudah melakukan itu. Terlebih tujuan Anna berpergian dengan temannya, Chandra, adalah karena pria itu sendiri. "Jadi kamu ingin menghadiahkan sesuatu untuk suamimu?" tanya Chandra, mengulan sekaligus meringkas cerita Anna barusan. Kepala wanita itu terangguk membenarkan. Jari telunjuk lelaki tersebut mulai mengetuk-ngetuk meja kayu milik toko kopi. "Hm ... Selama ini hadiah apa yang sudah kamu kasih ke dia?" Mata cokelat gelap itu bergetar ragu. Bagaimana dia menjawab pertanyaan yang tak punya jawaban seperti ini? Pasti aneh kalau dia berkata tidak pernah memberi hadiah padahal sudah menjalani pernikahan selama tiga tahun? Agar "Uh ... Itu...." Agar tidak banyak waktu yang diulur, Chandra menanyakan hal lain yang masih berkaitan. "Bagaimana dengan jam tangan? Apa kamu pernah menghadiahkannya?" "Oh! Itu belum pernah