Bab 150. Rahasia Keguguran Alisya Terbongkar“Mama ikut!” Alisya baru saja menaikkan sebelah kakinya ke dalam mobil, Adante yang sudah terbangun langsung mengejar.“Jangan-lari, Sayang! Nanti jatuh, lho! Iya, mama tunggu! Yu, kamu ikut juga, sini!” Alisya memanggil babysiternya. Segera gadis itu menyusul, masuk dan duudk di bangku tengah. Alisya menggendong Adante duduk di bangku depan, di samping Pak Arul.“Kita ke rumah sakit, ya, Pak!” titah Alisya saat mbil sudah melaju keluar dari gerbang. “Baik, Bu!” sahut pria itu patuh. Mobil Raja mengiring di belakang.Ponsel Alisya berdering belum juga dua menit perjalanan. Nama Damar menari-nari di layar benda pipih itu. “Hallo, Pak Damar!” jawab Alisya setelah mengusap layar.“Maaf, Mbak! Sebaiknya Mbak jangan banyak bergerak dulu, Mbak baru saja sembuh, bukan? Saya khawatir, Mbak kenapa napa di jalan.”“Oh?” Sontak Alisya menoleh kepada sang Supir. pria itu mengangguk, wajahnya sedikit memucat.“I-iya, pak Damar. saya ke rumah saki
Bab 151. Rencana Alisya Menggugat Cerai Deva“Apa? Saya keguguran? Maksudnya?” sontak Alisya meraba perutnya. Wanita itu menoleh ke arah Raja. Mencoba mencari penjelasan kepada pria itu.“Kamu, kamu … seperti bingung? Kenapa?” Raja ikut bingung melihat ekspresinya.“Papa bilang apa? Aku keguguran?” tanya Alisya lirih.“Apakah kamu belum tahu, maksudku … astaga, jadi, mereka masih merahasiakan ini darimu? Alisya, oh, maksudku, aku dan papa yang salah berarti. Kami kira kamu sakit dan terpaksa dirawat waktu itu karena keguguran, kami hanya menerka, tolong kamu jangan langsung percaya, ya!” bujuk Raja semakin panik.Alisya terdiam, kepalanya mendadak pening. Kedua tangannya memijit di kening. Pandangannya mulai berkunang-kunang.“Sya, kamu baik-baik saja, kan?” Raja mendekatinya. Mencoba meraih dan menggenggam tangannya. Berharap Alisya tidak kenapa-napa.“Permisi! Mbak Alisya, apakah urusannya sudah selesai?” Seorang pria berseragam tiba-tiba menerobos masuk. “Pak Damar?” Raja meno
Bab 152. Perhatian Damar Pada Alisya“Sudah, tak apa-apa!” Damar menggenggam tangan Alisya, lalu menurunkan dari bahunya. Dengan tetap menggenggam, dia membawa tangan Alisya ke pangkuannya. “Sudahi tangisnya!” ucapnya lembut, lalu kembali menyeka pipi wanita itu dengan ujung jemarinya.“Em, terima kasih banyak!” jawab Alisya pelan. Tangis tersendatnya terhenti sudah. Sentyhan jemari Damar mampu ciptakan damai di hatinya. Tatapan lembut penuh perhatian mata tegas Damar mampu meniup sedu di relung jiwa. Alisya merasa tak sendirian. Alisya merasa ada yang menopang.“Mbak merasa lebih baik sekarang? Bagaimana kalau kita turun, minum yang hangat –hangat sepertinya bagus buat kesehatan Mbak?” Damar menawarkan.“Emm, boleh.”“Baik, saya duluan turun, biar saya bukakan pintunya buat Mbak.”“Saya bisa turun sendiri, Pak Damar.”“Jangan, Mbka Alisya masih lemah. Saya khawatir Mbak tiba-tiba pusing lalu jatuh. Tunggu, ya!” Baru saja Dapar hendak membuka pintu mobil di sebelahnya, ponselnya ti
Bab 153. Keputusan Damar, Bukan Karena Alisya“Bapak bilang apa barusan?” Alisya mengulang pertanyaannya.“Aku mau menyudahi pertunangan tak sehat ini. Aku bilang begitu tadi, kenapa? Ada yang aneh dengan kalimatku?” Damar menoleh, menatap Alisya dengan lekat.“Eeem, tidak! Maksud saya, saya tak berhak ikut campur! Saya bukan siapa-siapa Pak Damar. Saya juga tidak kenal Mbak Luna atau keluarga Bapak. Cuma saran saya, kalau bisa tolong pikirkan dulu baik-baik keputusan Bapak itu. Pertunangan itu adalah sesuatu yang sakral. Antara Bapak dan Mbak Luna pasti telah terjadi sesuatu yang begitu dalam sehingga kalian sampai kepada tahap pertunangan. Kedua keluarga kalian juga sudah setuju dan menyepakati. Tinggal selangkah lagi, kalian akan ke pelaminan. Jangan buru-buru memutuskan pertunangan, itu saran saya, Pak! Maaf, bila saya agak lancang,” tukas Alisya panjang lebar.“Terima kasih atas saran Mbak! tetapi, maaf, saya tak bisa mengindahkannya. Keputusan saya sudah bulat. Saya suda
Bab 154. Alina Menghajar Sonya“Auuu …. sakit! lepasin, Tante!” jerit Sonya terdengar hingga ke halaman depan. Fajar yang tengah siapa siaga di sana langsung keluar dari mobil. Setengah berlari pria itu menerobos masuk ke dalam rumah, mencari keberaaan Sonya.“Kau telah menghancurkan semua harapanku, Sonya! Aku yang tengah berjuang untuk mengembalikanmu ke dalam kehidupan Deva. Menempatkanmu kembali di tengah keluarga Wibawa. Segalanya kupertaruhkan untuk mewujudkan impian itu. Semuanya! Hrataku, perusahaanku, seluaruh ast-asetku. Semua kulakukan demi memenuhi amanah kakekku! Kakek buyutmu! Dia tak ingin perusahaan yang dia wariskan jatuh ke tangan pihak lain! Itu sebab aku berusaha menyingkirkan Alisya dan mengembalikanmu ke sisi Deva. Tapi, lihat apa yang kau lakukan!”Alina masih menjambakl rambut Sonya, mencengkram dengan penuh amarah.Fajar terpana, bingung harus berbuat apa.“Aku hampir saja berhasil, Sonya! Alisya sudah ditalak satu oleh Deva. Bahkan Deva akan segera menggu
Bab 155. Sonya Tak Takut Hamil Anak Fajar“Saya bantu turun, Mbak!” Fajar membuka pintu buat Sonya begitu mereka sampai di depan kontrakan Fajar.“Bantu aku masuk ke dalam, Mas! Kaki aku juga sakit,” rengek Sonya merasa berkesempatan untuk bermanja-manja. Kecewa karena khilangan harapan untuk memiliki Deva dia lampiaskan dengan menikmati momen kebersamaan dengan pria itu. Toh, Fajar juga mantan suami Alisya, sama-sama tampan, bedanya, kalau Deva tajir, Fajar fakir. Tak apa, toh papa Sonya memiliki sebuah showroom terkenal. Sonya tak akan jatuh miskin meski gagal menjadi nyonya Deva Wibawa, begitu pikirnya.“Saya gendong saja, ya?” usul Fajar seraya memeluk tubu Sonya.“Eem,” sahut wanita itu senang. Fajar menggendongnya masuk ke dalam rumah, langsung menuju kamar. Dengan hati-hati dia membaringkan sang putri majikan di atas kasur kasar.“Saya kunci dulu mobilnya, ya, Mbak bobok saja! Sekalian saya siapkan air hangat buat kompres luka lebam kaki dan tangan Mbak Sonya,” kata Fa
Bab 156. Alisya Menggugat Cerai DevaMona belum pulang dari café. Pukul dua belas malam adalah batas waktunya bertugas. Bila lewat dari jam tersebut, maka dia terhitung lembur. Malam ini, karena ada tamu istimewa yang menginap di kamarnya, Mona berencana tak akan mengambil waktu lembur. Sekarang masih pukul sepuluh malam. “Dua jam lagi.” gadis itu berdesis lirih.Sementara di kamar kos-kos an sewaan Mona, seorang pria tampak teronggok sambil memeluk lutut. Dia adalah Deva, tamu istimwea Mona. Lelaki itu tampak begitu lemah, mengulet di atas sebuah kasur kecil berukuran tiga kaki. Suara keroncongan terdengar jelas dari perutnya. Kelaparan, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Perih terasa begitu mengisap. Menekan perut sebelah kiri, Deva merintih kesakitan.“Aaau … sakit …!” jeritnya menggigit bibir bawahnya. Keringat jagung merembes di tengkuk dan pelipis, kemeja yang sudah dua hari melekat di badan, sudah basah oleh peluh. Peluh kesakitan.“Alisya. Sakit, Sya … sakit … Al
Bab 157. Bodyguard Alisya“Sudah beres, Bu Alisya! pengadilan akan segera mengurus semuanya. Panggilan sidang pertama akan segera dilayangkan kepada suami Ibu,” ucap Robin setelah semua urusan di pengadilan agama itu selesai. Pria itu berjalan di sisi Alisya menuju pintu utama.“Iya, Pak Robin. Terima kasih, ya!” sahut Alisya mengulas seuntai senyum. Senyum lega. Sebuah harapan terbit di sanubari. Statusnya tak akan digantung lagi. Sekarang Alisya bertekat akan fokus untuk anak-anak dan mengurus perusahaannya.“Saya akan mulai mengumpulkan bukti-bukti untuk bahan kita melawan kubu suami Ibu di sidang nanti. Bu Alisya fokus bekerja saja, saya yang urus semuanya.”“Baik, sekali lagi terima kasih, Pak Robin.”“Saya boleh bertemu Babysitter Ibu yang bernama Ayu itu? Saya ingin menjadikan dia sebagai saksi atas penculikan terhadap putra ibu. Pelaku penculikan itu adalah suami ibu sendiri, bukan?”“Ya, datang saja ke rumah saya! Bapak sudah tahu alamat saya, bukan?”“Sudah. Pak Da