"Oh iya aku mau tanya juga. Apa si Asep dan Eka itu udah cerai ta, Nis? Kok sejak lahiran, perempuan itu nggak pernah lagi datang ke rumah Asep, beserta dengan bayinya yang katanya sumbing itu."Dahiku langsung mengerut. Aku yang tadi tak begitu berselera dengan topik ini, sekarang malah menjadi penasaran."Eka nggak tinggal di rumahnya Mas Asep begitukah, Mbak?" Mungkin tak masalah menunda berangkat kerja untuk beberapa menit ke depan, ini masih pagi. "Loh, kamu malah baru tahu ta?" Mbak Ira membelalakkan mata. Tebakanku, dia sebenarnya ingin mendapatkan informasi tentang ini dariku, tetapi nyatanya dia malah salah alamat. Aku menggelengkan kepala dengan cepat. "Aku benar benar tak tahu, Mbak."Memang baik Eka atau pun Mas Asep beberapa waktu yang lalu menghubungi, tetapi aku malah menyangka mereka masih bersama. Mereka saling bekerja sama untuk mengelabui ku lagi, itu saja.Mbak Ira mendengus kasar. "Si Eka nggak pernah pulang ke rumah itu sejak melahirkan." Kubuka helm yang s
"Tidak berlebihan untuk seorang anak kecil yang spesial seperti Ais." Ryan berkata sambil menatap dan memberikan sebuah senyuman manis. Senyum yang membuat hatiku sedikit berdebar. 'Ah, pikiran apa ini?'*"Apa ada yang kurang?" Suara bariton Ryan membuyarkan lamunanku. "Kemana kamu senyum sendiri?" Ryan berucap sambil mengerutkan dahinya.'Duh mati aku!'Malu banget dong, karena memang aku sesaat tadi sempat membayangkan yang tidak tidak. Dasar bodoh, kenapa pikiranku jadi tidak normal seperti ini sih?"Ah ... nggak kok, Pak. Eh, Ryan."Aku malah jadi salah tingkah, sepertinya wajahku saat ini pun, tak jauh beda dengan kepiting rebus. Wajah dingin Ryan malah makin membuatku malu, untung saja aku bisa menguasai diri."Bawa kuncinya. Ini ruangan pribadi kamu dan Ais saat sedang bekerja disini."Kuterima saja langsung anak kunci itu. "Terima kasih."Ryan sejak dulu memang baik, meski terkesan dingin dan jahat. Tetapi, dulu saat masih berada di luar negeri, berada satu rumah dengan
"Ayo kita berangkat, mumpung masih pagi. Enak banyak embun dan masih segar udaranya."Selepas Subuh ini, aku mengajak Ais ke pasar. Letak pasar tradisional sekitar tiga puluh menit dari sini. "Ais sudah siap, Bu!" Putriku pun sama antusiasnya denganku.Seperti biasa, setiap akan ke luar rumah di pagi hari, aku akan menjadi orang yang paling was was. Mengintip dulu dari jendela, memastikan kondisi luar aman. Aman dari orang jahat yang masih mengintai dan aman dari paket paket misterius yang acap kali masih sering datang. Segera kami pun berangkat, menembus pagi yang masih lumayan gelap dengan embun dan kabut. Seperti mengenang memori, dulu saat aku masih kecil, ibu dan bapak sering mengajakku ke pasar selepas subuh seperti ini.Dulu juga, sebelum aku berangkat kerja ke luar negeri, aku pun sering berangkat ke pasar sendiri, sepagi ini.Sekarang aku seorang single parent, aku harus berani menghadapi semuanya seorang diri. Jika masih bisa diatasi, maka aku tak akan membutuhkan bantuan
"Sebenarnya aku begitu berat melepas kamu jadi TKW, Dek. Hanya saja ini demi masa depan kita dan Ais, anak kita. Pergilah Dek, aku janji akan selalu setia dan menjaga Ais dengan baik."Teringat akan kalimat yang terucap beberapa tahun yang lalu itu, air mata menetes di netra ini. Dari kalimat itu aku tahu jika Mas Asep, suamiku, begitu berat melepasku, hanya saja demi masa depan, ini adalah jalan yang terbaik.Senyum terus terkembang di wajahku sejak turun dari pesawat tadi. Membayangkan bisa bercengkrama dengan keluarga yang begitu aku rindukan setelah sekitar dua tahun lebih tak bertemu.'Mas Asep juga pasti kangen sama aku,' gumamku sambil kembali mengulas senyum. Tebakanku tentu rasanya tidak akan salah, adalah hal yang sangat mungkin jika sepasang suami istri saling merindu ketika menjalin hubungan LDR. Apalagi ketika kami bertelepon, Mas Asep selalu mengatakan rasa kangennya itu padaku. Membuat rindu ini semakin berat. Jika tak ingat ingin memperbaiki ekonomi keluarga, tentu a
"Suami kamu sudah menikah lagi saat kamu di luar negeri."Sesak.Itulah yang saat itu juga kurasakan. Dada ini terasa bagai dihimpit batu besar. Meski semua terdengar begitu jelas, tetapi aku masih berharap semua ini tidak nyata.“Ibu bercanda, ‘kan?”“Bercanda gimana, Nis? Buat apa Ibu bercanda soal beginian sama kamu! Ini soal rumah tangga orang, Ibu juga nggak mau sembarangan.” Bu Endang langsung berucap.Kutatap wajah Bu Endang dan masih ada ragi ragu. Wanita tua itu memang terlihat serius. Hal itu membuat hatiku kembali dingin dan tangannya bergetar.Dengan usaha tetap tenang, aku berkata, "Apa ... apa ada bukti, Bu? M-maaf, bukan maksud saya tidak percaya, tapi ... tapi saya ...."Melihatku tidak bisa menyelesaikan ucapan Bu Endang memberikan minuman kepadaku."Minumlah dulu." Bu Endang menyodorkan padaku segelas air mineral yang sudah diberi sedotan. "Biar kamu sedikit tenang, Nis."Tanpa menjawab segera kuminum air tersebut, semoga saja memang bisa sedikit menentramkan hati i
Eka ... ya, perempuan yang ditunjukan oleh Bu Endang itu tak lain adalah teman baikku. Lebih tepatnya adalah sahabat baik. Sejak SMP kami selalu duduk di bangku yang sama. Sudah seperti kakak adik.Eka, wanita yang sudah sejak SMP kuanggap sebagai saudariku sendiri. Seorang yatim yang ibunya bekerja sebagai penjual gorengan keliling lantaran ayahnya pergi entah ke mana. Tak sekali dua kali aku membantunya. Membayar uang SPP sekolahnya saat dia tak mampu dengan uang jajan yang kusimpan dari orang tuaku, memberikan pakaianku yang sebenarnya masih layak pakai karena bajunya sudah banyak tambalan, bahkan memberikannya modal untuk usaha yang sayangnya berakhir gagal.Lalu, ini kah balasan yang dia berikan? Menjadi simpanan suamiku?!"Apa kamu mengenal perempuan jahat ini Nisa?" Kembali, suara Bu Endang seolah membuyarkan lamunanku.Tanpa dikomando, kepalaku langsung mengangguk.Bu Endang membelalakkan matanya, sepertinya wanita paruh baya itu begitu kaget. "Siapa? Teman kamu?"Terdengar b
POV Asep"Dasar anak setan!" teriak Eka sembari melayangkan sebuah tamparan keras yang bunyinya sampai terdengar dari sini.Plakkk"Sakit ..." Suara Ais terdengar begitu lirih."Sakit!? Rasakan!" Suara istri baruku itu terdengar semakin nyaring saja. Dan, mulai terdengar Isak halus dari putriku itu.Hufft ...Pulang kerja disuguhi yang seperti ini saja tiap hari. Kulangkahkan kaki menuju ke sumber suara, dimana lagi kalau bukan di luar rumah."Ada apa lagi sih, Yank?" tanyaku sembari berdiri di ambang pintu.Wanita yang perutnya sudah semakin membuncit itu pun langsung menoleh ke arahku. "Ini ... Anak setan ini, selalu saja buat aku marah Mas!" tukasnya sembari menoyor kepala Ais, hingga gadis itu terjatuh ke belakang.Ais, putri dari pernikahan pertamaku itu, semakin deras menangis dan tak lagi bangkit. Dia hanya duduk sembari sesenggukan."Memangnya dia kenapa?"Mata bulat Eka masih memandang Ais dengan tatapan penuh kebencian. "Aku nyuruh dia dari tadi nyuci baju, eh malah nggak se
[Mas, aku dalam perjalanan pulang.]“Kenapa dia mendadak pulang!?”Tanpa dikomandoi, aku dan Eka spontan berucap secara bersamaan.Entah kenapa membaca pesan dari Nisa itu, rasanya badanku jadi panas dingin. Bukannya aku suami-suami takut istri, tapi karena aku sudah membuat begitu banyak sandiwara dan kebohongan. Jika sampai Nisa benar-benar pulang mendadak, bisa buyar semuanya! "Aduh, mati aku!" ucapku lagi sambil memukul dahi, tiba-tiba juga kepala jadi pening. "Yank, kita harus siap-siap banyak hal. Jangan sampai keduluan si Nisa!"Kalau benar Nisa pulang mendadak, bisa marah besar dia sama aku. Aku sudah mengkhianatinya, memeras tenaga dan menghabiskan uangnya. Belum lagi aku juga selalu mengabaikan Ais. Dia pasti akan sangat marah dan tidak bersedia menjadi ATM berjalanku lagi!Tidak, hal itu tak boleh terjadi!Tinggal selangkah lagi dari rencanaku merebut semua aset Nisa. Kalau dia tahu tentang perselingkuhanku dengan Eka, bisa hancur semua rencana yang kususun begitu lama!T