Share

Bab 2. Pelakor Itu Sahabatku

"Suami kamu sudah menikah lagi saat kamu di luar negeri."

Sesak.

Itulah yang saat itu juga kurasakan. Dada ini terasa bagai dihimpit batu besar. Meski semua terdengar begitu jelas, tetapi aku masih berharap semua ini tidak nyata.

“Ibu bercanda, ‘kan?”

“Bercanda gimana, Nis? Buat apa Ibu bercanda soal beginian sama kamu! Ini soal rumah tangga orang, Ibu juga nggak mau sembarangan.” Bu Endang langsung berucap.

Kutatap wajah Bu Endang dan masih ada ragi ragu. Wanita tua itu memang terlihat serius. Hal itu membuat hatiku kembali dingin dan tangannya bergetar.

Dengan usaha tetap tenang, aku berkata, "Apa ... apa ada bukti, Bu? M-maaf, bukan maksud saya tidak percaya, tapi ... tapi saya ...."

Melihatku tidak bisa menyelesaikan ucapan  Bu Endang memberikan minuman kepadaku.

"Minumlah dulu." Bu Endang menyodorkan padaku segelas air mineral yang sudah diberi sedotan. "Biar kamu sedikit tenang, Nis."

Tanpa menjawab segera kuminum air tersebut, semoga saja memang bisa sedikit menentramkan hati ini.

Dalam hati tak lupa sejak tadi kusebut nama Tuhan. Maha pemberi kekuatan pada umat-Nya.

“Lihatlah … ini foto pernikahan Asep dengan istri barunya itu.”

Bu Endang mengeluarkan ponsel tuanya. Dari layar yang tak begitu jernih itu, memang terlihat Mas Asep yang mengenakan pakaian pernikahan sederhana bersama dengan seorang perempuan. Hanya saja, perempuan itu tak begitu terlihat jelas wajahnya, karena terpotret dari belakang.

"Maafkan ya, Nis. Bukannya aku ingin membuat kamu sedih. Tapi justru ini karena aku menganggap kamu anak. Nggak tega rasanya kamu diginiin sama Asep.”

Saat aku masih terdiam, Bu Endang kembali berucap. Terlihat sekali raut bersalah di wajahnya. 

Kutarik nafas dalam-dalam sebelum mulai berbicara.

"Justru saya berterima kasih, Bu." Sebisa mungkin kucoba untuk bersikap tenang. "Apa kejadian itu sudah lama Bu?"

Hancur dan remuk hati ini, emosi juga meluap seketika. Tetapi aku tak ingin bertindak gegabah sebelum semua terlihat nyata.

Bu Endang mendengus pelan. "Mungkin sekitar enam bulan yang lalu, Nis."

Enam bulan yang lalu?

Masih terekam jelas di pikiranku,  tepat enam bulan yang lalu, Mas Asep meminta kiriman uang sebesar dua puluh juta, hampir dua bulan gajiku sebagai pahlawan devisa. 

Dia bilang saat itu jika ingin memulai sebuah usaha dengan temannya, entah aku lupa usaha apa itu.

"Memangnya selama ini kamu nggak nabung dikit-dikit Mas dari uang yang aku kirim tiap bulan?" tanyaku melalui sambungan telepon kala itu. 

"Uang lima juta yang kamu kirim tiap bulan itu, nggak sampai akhir bulan sudah habis Dek. Jadi kutambahi sendiri. Ais itu tiap hari jajannya nggak kira-kira Dek. Semua dia minta!" kilah Mas Asep. "Nah, kali ini aku mau join usaha baru dengan temanku. Jika berhasil, nanti uang kamu disimpan saja, buat nabung. Biar aku yang biayain si Ais."

Aku saat itu manut saja. Sebagai istri, tentu aku begitu mendukung inovasi yang akan dibuat oleh suami.

Mas Asep bekerja menjadi buruh pabrik selama ini, gajinya tidak seberapa dan belum cukup untuk menafkahi keluarga kami, terlebih dengan keberadaan orang tua Mas Asep yang masih perlu sokongan. Oleh karena itu, sekarang dia mau buka usaha, aku dukung-dukung saja. Siapa tahu usaha yang akan dia jalankan bersama temannya sukses dan cukup membantu menafkahi keluarga kami.

Tapi ternyata, dia begitu busuk. Meminta uang banyak untuk menikahi selingkuhannya. Kurang ajar! 

Tak terasa tanganku mengepal mengingat peristiwa ini. Aku bekerja banting tulang di negeri orang, tapi hasilnya malah digunakan untuk main gila!

"Pernikahannya … digelar seperti apa, Bu?" Kutanyakan lebih lanjut, karena aku ingin mengetahui semua dengan gamblang, tentunya sebelum memutuskan langkah selanjutnya.

Tak ingin juga aku terlihat begitu emosi dan lemah di hadapan orang lain. Aku harus terlihat kuat.

Bu Endang dengan cepat menggeleng. "Biasa, Nis. Nggak mewah. Nggak mungkin juga mewah, mengingat istrinya sudah hamil duluan, jadi ya hanya siri biasa saja," ucapnya sambil mencebik. 

Mataku membulat.

Hamil?

Astaga! Berarti Mas Asep sudah mengkhianatiku sekian lama?

Mataku berkaca-kaca. Betapa bajingannya pria yang kunikahi itu!?

Ingin sekali aku marah, tapi logikaku masih bekerja, menenangkan diri yang sudah hampir menangis histeris ini.

"Sebenarnya Ibu sudah ingin mengabarkan hal ini padamu sejak lama. Tetapi tak ada seorang warga pun yang punya nomer kamu, kecuali Asep. Tiap kali Ibu minta, dia tidak pernah memberikan."

Hal ini sudah ingin aku tanyakan sebenarnya, kenapa tak ada yang memberiku kabar? Tapi ternyata, sepertinya semua memang sudah diatur oleh Mas Asep. 

"Siapa perempuan yang dinikahi oleh Mas Asep, Bu? Apa dari kampung sini juga?" Pertanyaan yang vital lagi kuutarakan. 

Bu Endang dengan cepat menggeleng. "Bukan, sepertinya perempuan kecamatan sebelah. Sebentar, aku punya fotonya."

Dengan cekatan Bu Endang masuk ke dalam dan beberapa menit kemudian datang lagi dengan membawa sebuah ponsel.

"Lihat, Nis. Ini foto istrinya Asep yang baru."

Kutajamkan penglihatan ke arah layar benda pipih itu.

"Eka?!"

Bu Endang terkejut melihatku menyebutkan nama wanita itu. “Kamu kenal, Nis!?”

Kenal? Bukan hanya kenal! Wanita itu adalah sahabat dekatku sendiri!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status