Share

Bab 8. Hanya Pembantu

“Iya … Dia menjadi pembantu disini Dek!”

Mata Eka terbelalak mendengar ucapan Mas Asep. Dia tampak tidak menyangka pria itu akan menjadikannya kambing hitam hanya demi berbohong di depanku.

Tak elak aku tertawa dalam hati. Sungguh, aku sendiri saja terkejut melihat betapa pengecutnya pria itu, sampai-sampai mengorbankan seorang wanita demi menutupi aibnya sendiri.

Kutatap bergantian wajah Mas Asep dan Eka bergantian. "Apa itu benar, Ka?"

Eka spontan menganggukkan kepalanya beberapa kali. "I-itu benar Nis. Aku sekarang bekerja jadi pembantu di rumah kamu."

Dalam hati aku kembali tersenyum, melihat Eka yang tentu tak bisa berkutik saat ini.

'Dasar dua orang bejat!' makiku tak tertahankan di dalam hati. 

Aku salut pada dua orang terdekat yang kompak berbohong ini. Berarti benar, pembohong tak pernah jauh dari pengkhianat.

"Kenapa? Kenapa harus jadi pembantu disini? Bukankah terakhir kali kita ketemu, kamu kerja di sebuah cafe?" Dengan senyum tipis aku bertanya, berusaha meyakinkan Eka, jika aku tetap Nisa yang polos dan gampang dibohongi. Yang tak mungkin berani untuk memberontak, bisanya hanya menangis saja. Nisa bodoh yang sepertinya saat ini sudah mati.

Eka memang terakhir bekerja menjadi seorang pemandu lagu di sebuah cafe plus plus. Sebuah pekerjaan yang memang juga tak jauh dari menggoda suami orang hanya demi uang.

Awalnya, aku merasa kasihan karena dia harus melakukan pekerjaan seperti itu guna melalui hidup. Namun, sekarang aku menyesal pernah merasakan hal tersebut karena suamiku yang berakhir digodanya!

"I-iya, sudah nggak lagi Nis." Eka Sepertinya tak bisa memberikan banyak alasan. Sahabatku itu terlihat gusar, sembari menautkan jemarinya.

Aku hanya ber O ria saja, sembari menganguk. Seorang wanita penggoda yang sedang naik tingkat ternyata dia.

"Eh tapi itu perut kamu kok buncit ya? Kamu hamil?" Aku masih terus memburu jawaban. "Bukanya kamu belum nikah?" Penasaran juga, dengan kebohongan yang akan dia buat berikutnya.

Eka kali ini semakin bingung, matanya mengejar beberapa kali, tak berani menatap wajahku dan tak bisa menjawab. Hingga kemudian Mas Aseplah yang hadir sebagai dewa penyelamat. 

"Iya Dek. Eka ini sudah nikah siri, dan suaminya yang bangsat itu malah pergi ninggalin dia."

'Bangsat? Bukannya itu kamu, Mas?' gumamku dalam hati mendengar kebohongan sang suami.

Aku kembali ber O ria.

Sekilas, kulihat gurat senyum di wajah Eka. Sepertinya dia kembali yakin jika saat ini aku mulai percaya dengan kebohongan murahan yang mereka buat.

"Kasihan juga ya nasib kamu, Ka. Biasanya sih lelaki bejat seperti itu sudah punya istri, tapi main gila sama perempuan lain!" ucapku yang nampak sedikit kesal sembari mendengus. “Lelaki seperti itu yang harusnya dilenyapkan dari muka bumi!”

Aku memang sedikit terbawa suasana, hingga begitu emosi. Kutarik nafas panjang kemudian, agar aku tak kebablasan. Bisa hancur nanti semua rencanaku.

"Tapi Eka kan hamil tua, apa dia bisa bekerja Mas?" Pertanyaan kembali terlontar saat aku sudah bisa kembali menguasai diri.

Mas Asep nampak kembali dibikin gelagapan.  

"B-bisa kok Dek. Meski hamil, Eka kerjanya giat kok." Mas Asep kembali mencoba menyakinkan. "Ka, tolong kamu angkat koper dan tas Nisa ya."

Mata Eka terbelalak mendengar perintah dari Mas Asep itu. Sekilas dia menoleh pada tumpukan tas milikku. 

Sedangkan aku malah hampir cekikikan, melihat sandiwara dadakan dan ekspresi Eka yang nampak begitu terkejut. Sebuah hiburan yang tak boleh untuk dilewatkan.

"Heh ... kok malah diam? Cepat angkat dan bawa masuk ke kamar!" Mas Asep kembali berucap dengan wajah sok garang sambil membelalakkan mata.

"I-iya." Terpaksa, Eka melakukan perintah itu, tentu saja dengan penuh emosi. Wanita itu berjalan sembari menghentakkan kakinya dengan keras. 

Eka segera menyeret koper dan mengangkat tas itu dengan susah payah. Tetapi tentu saja dengan wajah yang cemberut.

'Sandiwara kalian, lumayan bagus! Sayang, aku lebih mahir bersandiwara dibandingkan kalian!' batinku seraya mengepalkan tangan.

Kuulas sebuah senyum manis, melihat sahabat jahatku yang tengah kepayahan menarik tas besar itu. Kasihan sebenarnya, terutama karena dia sedang hamil. Namun, kebencianku tidak semudah itu sirna setelah dia menusukku dari belakang.

‘Sekarang, jangan salahkan aku jika bisa lebih jahat dari pada kamu, Eka.’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status