Share

Bab 7. Duo Sampah

Pov Nisa

“Oke. Pokoknya tolong urus semua dengan rapi ya. Saya tunggu kabar baik selanjutnya. Terima kasih.”

Kutarik nafas panjang setelah mengakhiri panggilan itu, ada secuil rasa lega disini. 

Sekarang, aku berdiri tepat di depan rumah bercat orange minimalis. Rumah yang menyimpan banyak cerita tentang pernikahanku dengan Mas Asep,  tempat dimana buah hatiku yang cantik bertumbuh.

Tak terasa bulir-bulir air mata mulai berjatuhan, mengingat apa yang kini terjadi. Semua impian bahagia yang bertahun kurajut, nyatanya sudah musnah seketika karena pengkhianatan dua manusia sampah itu.

Huaaa 

“Ais!” 

Tangisan keras Ais dari dalam rumah,  membuatku tersadar. Tanpa berpikir panjang lagi, aku pun langsung masuk ke dalam rumah. Tentunya setelah menghapus sisa air mata di pipi.

"Ada apa ini?!” ucapku dengan keras, sontak membuat seisi rumah yang sedang berkumpul itu menoleh ke arah pintu depan. 

Sepertinya mereka begitu kaget,  karena saat ini aku memang sudah berada di ambang pintu. Saking kagetnya, Eka dan Mas Asep hanya bisa melongo dengan posisi seperti semula.

"Ibu!"

Beda dengan putri kecilku yang langsung menghambur ke pelukan.

"Sayang."

Spontan aku pun langsung berjongkok dan merengkuh juga tubuh kecil nan ringkih itu.

Air mata yang sejak beberapa waktu telah mengumpul di pelupuk mata, saat ini pun luruh seketika. "Ais, Sayang."

Sakit sekali hati ini melihat keadaan Ais yang begitu kacau, sungguh sakit. Ternyata memang semua yang dikatakan oleh Bu Endang itu benar, tak terbantahkan lagi.

Ada juga rasa bersalah dalam diri ini, karena ini juga menunjukkan kegagalanku sebagai seorang ibu. Jika aku tak berangkat ke luar negeri, tentu hal seperti ini tak akan pernah terjadi. Tetapi, kurasa memang semua ini sudah di setting oleh kedua pengkhianat itu.

Tak terasa tangan ini sudah mengepal sempurna. Kemarahan begitu membuncah, hanya saja aku terus menahan diri, demi membalas kedua pengkhianat itu. 'Aku tak akan pernah membiarkan mereka lolos.'

"Ais kangen Ibu."

Suara Ais yang lirih, seperti membuyarkan lamunan.

Segera kuhapus air mata dan menunjukkan senyuman terbaik untuk permata hatiku itu. Wajah mungil itu kuciumi sebagai bentuk rindu.

"Ibu juga kangen. Kangen sekali."

Hati ibu mana yang tidak bersedih menyaksikan putrinya yang nampak begitu kacau. Terus kuhujani Ais dengan ciuman.

"Selama ibu kerja, Ais jadi anak pintar kan? Ais  nggak nakal kan?" Aku kembali bertanya.

Ais menggeleng lemah,  tetapi senyum masih terukir di bibirnya. "Nggak Bu."

Aku tahu, senyum yang disuguhkan Ais, sepertinya begitu terpaksa. Dan, aku pun kembali bertanya . "Wah pintar dong," ucapku sambil mencubit hidung Ais. "Kalau begitu, ada yang jahat nggak sama Ais?"

Ais sesaat menatap pada Eka,  tetapi kemudian menggeleng. Nampak sekali jika putri kecilku itu sedang tertekan. 

Ketika aku dan Ais sedang melepaskan rindu, dari ekor mata dapat kulihat jika Mas Asep dan Eka masih nampak tertegun. Sepertinya mereka khawatir jika sampai nanti Ais akan mengadu padaku.

"Cepat kesana!" Eka mencubit kecil lengan Mas Asep. Dia tentu tak ingin hal yang tak diinginkan terjadi.

Mas Asep pun langsung mendekatiku. "Eh ... Dek. K-kamu kok pulangnya cepat banget?" Pria itu sebenarnya masih nampak kikuk, tapi dia sedang berusaha agar tidak gugup.

Kembali aku berdiri sembari menggandeng tangan Ais. Kutatap dengan lekat, wajah pria yang pernah mengikat janji suci pernikahan denganku itu.

"Kenapa memangnya Mas? Apa kamu tak suka dengan kepulanganku ini?" Lagi, sebisa mungkin aku meredam emosi.

Mas Asep menarik kedua sudut bibirnya.

"T-Tentu aku senang sekali kamu pulang cepat. Hanya saja karena terlalu mendadak, aku jadi tak bisa siap-siap Dek," kilah Mas Asep.

Kuanggukan kepala, berusaha untuk bersikap sebiasa mungkin. "Oh ... kirain kamu takut, karena telah menyembunyikan sesuatu dariku," ucapku sambil tersenyum tipis.

Mas Asep semakin terlihat gugup, sepertinya dia sedikit tersentil. Pria berkulit coklat itu pun lebih mendekat padaku. "Menyembunyikan apa sih Dek. Ada ada saja kamu ini."

Ketika Mas Asep masih mencoba menyakinkanku jika semua baik baik saja, saat itu Ais yang kugandeng masih tetap diam. Aku yakin saat ini dia juga masih begitu tertekan. Ya Tuhan, seiring waktu, tolong hapuskan trauma pada putri kecilku ini.

Sesaat pandang Ais bertemu dengan Eka yang masih berdiri mematung di tempat yang tadi.

Eka langsung membelalakkan mata, sebagai peringatan pada gadis kecil itu. Sontak saja hal itu langsung membuat Ais takut dan menunduk. Wanita jarang itu memang sungguh keterlaluan. 

"Eh ... Eka. Kenapa dia ada disini?" tanyaku pelan, seolah tak mengetahui apa pun.

Eka rasanya tak sadar jika sejak tadi aku terus mengikuti gerak geriknya. Termasuk saat dia menatap tajam pada Ais.

Eka yang saat itu melotot langsung menunduk dan gugup. "Eh itu ... aku ..." 

Wanita yang sedang hamil tua itu tak bisa meneruskan ucapannya karena kepergok.

Mas Asep juga tak kalah gugupnya. Bibirnya sedikit kelu untuk berucap. Sehingga dia hanya bisa mengusap wajahnya dengan kasar.

"Kenapa Eka ada disini, Mas?" Kali ini aku bertanya pada Mas Asep yang saat ini malah sedang mengusap tengkuknya. 

"I-itu Dek. Eka bekerja disini!" Sebuah kalimat spontan terucap.

"Bekerja disini?" Aku mengernyitkan dahi meminta penjelasan.

Mas Asep mengangguk beberapa kali dengan cepat. "Iya ... Dia menjadi pembantu disini Dek!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status