Ternyata, hidup sendiri itu begitu tenang. Sehari setelah mengembalikan semua pakaian para sampah itu, aku hanya terus bersih bersih saja. Bersama dengan Ais yang nampak begitu riang. Putriku yang dulu, benar benar telah kembali."Bu. Ais mau makan ayam rocket nanti, boleh?" ucap Ais siang ini."Tentu, Sayang. Sekarang kamu mandi dulu ya. "Putriku itu mengangguk sambil langsung berlari ke belakang.Hari ini memang hari minggu, kami masih beberes rumah sejak pagi. Sarapan tadi, aku hanya memasak menu simple, tetapi ternyata Ais begitu menyukainya dan begitu nikmat sarapan hanya berdua ini."Semoga selamanya aku bisa terus membahagiakan Ais," lirihku. "Semoga juga para pengkhianat itu tak lagi menganggu hidupku. Tak lagi kutanyakan bagaimana keadaan Ais dan bayinya, karena saat ini tak mau lagi aku berurusan dengan mereka. Yang penting surat cerai juga sudah diurus oleh pengacara ku sejak beberapa hari yang lalu. Dengan banyak bukti dan rekaman cctv yang kumiliki, aku yakin bisa ber
"Apa ada yang aku ambil paksa darimu? Coba katakan, seberapa jahat aku menjadi seorang sahabat?"Emosi saat ini mulai menelusup dalam hati. Hatiku begitu sakit mengingat jika Eka adalah satu satunya teman yang aku punya. Teman yang bahkan sudah kuanggap sebagai saudara. Tempat berkeluh kesah segala hal, bahkan sampai kehidupan pribadi. Itu lah kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan. Seharusnya aku tak pernah menceritakan tentang rumah tanggaku pada orang lain. Karena memang celah itu akan selalu ada bagi mereka yang sudah memiliki niat jahat. "Halo Eka. Apa kamu masih disana?" Kukeraskan sedikit suaraku, karena dari tadi tak ada jawaban dari seberang. Takutnya dia tadi tak mendengar suaraku. "Ya. Aku masih disini." Si pelakor itu menjawab dengan begitu lirih. Sungguh penasaran aku, seperti apa raut wajahnya saat ini. Bukankah dia masih ada di rumah sakit, apa mungkin saat ini dia juga sedang bersama dengan Mas Asep dan ibunya?"Katakan, kenapa kamu bilang aku jahat? Aku pe
"Wow, mantap Eka. Sungguh aku salut sama kamu yang bisa merebut suami sahabatnya sendiri. Tapi ... aku tak meminta kembali Mas Asep kok, aku ikhlas sekali dia bersama kamu. Karena sampah memang cocok dengan sampah!"Mengucapkan kalimat itu, ada rasa plong meski hanya sedikit. Aku sungguh penasaran, bagaimana reaksi wajah Eka, setelah aku mengucapkan hal ini.Nadaku tak terlalu tinggi sebenarnya, hanya saja, mungkin penuh dengan penekanan.Hanya mengambil perhiasan emas, yang seharusnya malah menjadi hakku, dia meradang dan mengancam. Apa dia lupa, jika apa yang dia curi dariku lebih besar?Dasar pelakor tak tahu diri."Halo Eka ... kamu masih ada disana kan?" Beberapa saat tak ada suara, sunyi. Sehingga harus bertanya lagi. "Ya." Begitu lirih dan singkat apa yang dikatakan oleh Eka tersebut."Sepertinya emosi kamu sudah turun ya, Ka? Hemmm." Sengaja kukatakan hal itu. "Sudah nggak minta perhiasan itu lagi kan? Karena kamu sudah dapat sumbernya langsung."Mungkin seharusnya kuakhi
"Ambil saja. Aku tak ingin merebut kembali. Nikmati juga seperti 'manisnya' menjadi istri seorang Asep. Apa yang kamu lihat, tak selalu seperti yang sebenarnya terjadi. Jujur, aku malah senang kamu mengambil suami benalu itu. Selamat ya, Ka, atas keberhasilan kamu."Setelah mengatakan kalimat panjang lebar itu, tanpa menunggu jawaban dari Eka, aku pun langsung mengakhiri panggilan secara sepihak.Kembali memejamkan mata sembari menarik nafas dalam. "Kuat, Nisa. Kamu harus selalu kuat demi Ais!"Lirih terucap kata kata itu, penyemangat diri sendiri. Aku begitu faham siapa Eka, dia orang yang gampang terobsesi dan sulit menerima sebuah kenyataan. Jadi bisa dipastikan, tentu dia tidak akan pernah tinggal diam. Aku tentu harus semakin waspada. Kekalahan awal ini, bisa membuat dia begitu meradang.Tapi, aku yakin pasti bisa. Tak boleh lengah lagi, karena orang jahat ada dimana mana."Bu, ibu kenapa?" Suara Ais yang disertai dengan elusan di telapak tangan, membuatku sontak membuka mata."N
" Aku minta maaf, aku khilaf, Nis. Sampai kapan pun aku tak ingin berpisah dengan kamu. Sungguh aku sangat mencintai kamu. Hukum aku seberat mungkin, asal kita bisa tetap bersama."Sudah bisa diduga apa yang ingin dia katakan. Sepertinya dia belum puas berbincang saat kamu berada di rumah sakit kemarin. Berarti dugaanku tadi salah dong. Aku kira Eka sedang bersama Mas Asep. Apa ... hubungan mereka jadi renggang karena kelahiran bayi itu?Tak tahu juga sih, trio sampah itu pasti punya beribu cara licik untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tetap aku harus waspada."Aku sungguh menyesal, Dek." Dia kembali berucap, wajahnya masih nampak pias.Menghadapi tukang sandiwara seperti ini, kita tentu harus lebih pintar.Mendengus kasar. "Sudah lah, Mas. Apa pun yang kamu katakan, nggak akan pernah merubah keputusanku."Enak saja, luka begitu dalam yang sudah dia beri, hanya diganti dengan sebuah kata maaf? Tidak semudah itu Ferguso!Mas Asep masih diam sambil mengigit bibir bawahnya. Me
"Bu, nggak mau beli motor?" Ais bertanya ketika susah berada di rumah makan dan baru saja memesan beberapa menu makanan. " Biar nggak bayar ojek, Bu."Kutarik kedua sudut bibir membentuk senyum paling manis. "Beli dong Sayang. Setelah ini kita beli motor baru ya," ucapku sambil menoel hidung Ais dengan gemas.Sepertinya pikiranku dan pikiran Ais itu hampir sama. Aku bahkan susah berencana dari kemarin untuk membeli sebuah motor baru, memudahkan dalam segala hal. Karena kan emang motorku yang lama sudah dibawa pergi oleh Mas Asep.Sebenarnya, aku bisa saat ini juga membeli sebuah mobil meski bekas. Tetapi rasanya terlalu boros, karena tabunganku akan habis semua. Bukankah lebih baik menghemat dalam keadaanku saat ini?"Yang warna merah ya, Bu." Ais bersorak. "Ais mau yang kayak motornya Rara."Rara adalah tetangga jauh kami, yang satu kelas dengannya."Tentu, Sayang. Nanti kamu pilih sendiri ya."Ternyata, hidup berdua seperti ini, tidaklah buruk. Bodohnya aku yang selama ini terus sa
"Om Ryan!" Aku yang tadi melamun, langsung menoleh mendengar suara Ais itu. Putriku girang sekali saat ini sambil menunjuk ke arah depan."Ada Om Ryan, Bu!" Kembali putriku berteriak.Aku pun menoleh ke arah yang ditunjuk. Pria bule itu tersenyum sambil memegang sebuah kado. Berjalan lurus ke arah Ais yang masih menunjukkan mata berbinar."Halo, Cantik." Pria itu mengapa sambil mengulurkan hadiahnya pada Ais. "Spesial untuk Putri Ais."Sebelum menerima hadiah itu, sesaat Ais sempat menoleh padaku. Aku menganguk dan tersenyum. "Terima kasih, Om," ucapnya sambil masih bersorak. Beberapa hari, aku sama sekali tak berkirim kabar dengan Ryan. Karena memang sibuk dengan masalahku sendiri. Toh beliau juga tak menghubungiku. Mungkin saja proyek tersebut juga masih belum bisa dijalankan, pasti beliau punya banyak pertimbangan.Mumpung ketemu disini, nanti aku berniat untuk menanyakan hal ini. Berharap bisa segera dimulai dan aku bisa segera bekerja."Selamat siang, Pak." Aku berdiri memberik
"Sebenarnya aku begitu berat melepas kamu jadi TKW, Dek. Hanya saja ini demi masa depan kita dan Ais, anak kita. Pergilah Dek, aku janji akan selalu setia dan menjaga Ais dengan baik."Teringat akan kalimat yang terucap beberapa tahun yang lalu itu, air mata menetes di netra ini. Dari kalimat itu aku tahu jika Mas Asep, suamiku, begitu berat melepasku, hanya saja demi masa depan, ini adalah jalan yang terbaik.Senyum terus terkembang di wajahku sejak turun dari pesawat tadi. Membayangkan bisa bercengkrama dengan keluarga yang begitu aku rindukan setelah sekitar dua tahun lebih tak bertemu.'Mas Asep juga pasti kangen sama aku,' gumamku sambil kembali mengulas senyum. Tebakanku tentu rasanya tidak akan salah, adalah hal yang sangat mungkin jika sepasang suami istri saling merindu ketika menjalin hubungan LDR. Apalagi ketika kami bertelepon, Mas Asep selalu mengatakan rasa kangennya itu padaku. Membuat rindu ini semakin berat. Jika tak ingat ingin memperbaiki ekonomi keluarga, tentu a