" Aku minta maaf, aku khilaf, Nis. Sampai kapan pun aku tak ingin berpisah dengan kamu. Sungguh aku sangat mencintai kamu. Hukum aku seberat mungkin, asal kita bisa tetap bersama."Sudah bisa diduga apa yang ingin dia katakan. Sepertinya dia belum puas berbincang saat kamu berada di rumah sakit kemarin. Berarti dugaanku tadi salah dong. Aku kira Eka sedang bersama Mas Asep. Apa ... hubungan mereka jadi renggang karena kelahiran bayi itu?Tak tahu juga sih, trio sampah itu pasti punya beribu cara licik untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tetap aku harus waspada."Aku sungguh menyesal, Dek." Dia kembali berucap, wajahnya masih nampak pias.Menghadapi tukang sandiwara seperti ini, kita tentu harus lebih pintar.Mendengus kasar. "Sudah lah, Mas. Apa pun yang kamu katakan, nggak akan pernah merubah keputusanku."Enak saja, luka begitu dalam yang sudah dia beri, hanya diganti dengan sebuah kata maaf? Tidak semudah itu Ferguso!Mas Asep masih diam sambil mengigit bibir bawahnya. Me
"Bu, nggak mau beli motor?" Ais bertanya ketika susah berada di rumah makan dan baru saja memesan beberapa menu makanan. " Biar nggak bayar ojek, Bu."Kutarik kedua sudut bibir membentuk senyum paling manis. "Beli dong Sayang. Setelah ini kita beli motor baru ya," ucapku sambil menoel hidung Ais dengan gemas.Sepertinya pikiranku dan pikiran Ais itu hampir sama. Aku bahkan susah berencana dari kemarin untuk membeli sebuah motor baru, memudahkan dalam segala hal. Karena kan emang motorku yang lama sudah dibawa pergi oleh Mas Asep.Sebenarnya, aku bisa saat ini juga membeli sebuah mobil meski bekas. Tetapi rasanya terlalu boros, karena tabunganku akan habis semua. Bukankah lebih baik menghemat dalam keadaanku saat ini?"Yang warna merah ya, Bu." Ais bersorak. "Ais mau yang kayak motornya Rara."Rara adalah tetangga jauh kami, yang satu kelas dengannya."Tentu, Sayang. Nanti kamu pilih sendiri ya."Ternyata, hidup berdua seperti ini, tidaklah buruk. Bodohnya aku yang selama ini terus sa
"Om Ryan!" Aku yang tadi melamun, langsung menoleh mendengar suara Ais itu. Putriku girang sekali saat ini sambil menunjuk ke arah depan."Ada Om Ryan, Bu!" Kembali putriku berteriak.Aku pun menoleh ke arah yang ditunjuk. Pria bule itu tersenyum sambil memegang sebuah kado. Berjalan lurus ke arah Ais yang masih menunjukkan mata berbinar."Halo, Cantik." Pria itu mengapa sambil mengulurkan hadiahnya pada Ais. "Spesial untuk Putri Ais."Sebelum menerima hadiah itu, sesaat Ais sempat menoleh padaku. Aku menganguk dan tersenyum. "Terima kasih, Om," ucapnya sambil masih bersorak. Beberapa hari, aku sama sekali tak berkirim kabar dengan Ryan. Karena memang sibuk dengan masalahku sendiri. Toh beliau juga tak menghubungiku. Mungkin saja proyek tersebut juga masih belum bisa dijalankan, pasti beliau punya banyak pertimbangan.Mumpung ketemu disini, nanti aku berniat untuk menanyakan hal ini. Berharap bisa segera dimulai dan aku bisa segera bekerja."Selamat siang, Pak." Aku berdiri memberik
"Berpisah dengan suami toxic."What? Berpisah dengan Mas Asep maksudnya? Bagaimana dia bisa tahu lagi?Padahal aku sedikit pun tak pernah bercerita tentang masalah rumah tangga. Adalah suatu hal yang tabu diceritakan pada orang lain, kecuali mereka telah mengetahuinya sendiri."Ba-bagaimana Anda bisa tahu?" Aku bertanya karena begitu penasaran.Ryan menaruh sendok garpu nya, menyenderkan bahu di kursi makan. Sekilas pria berwajah tegas itu menoleh pada Ais yang saat ini sudah asyik dengan boneka barunya.Sepertinya Ryan akan membuka obrolan, tapi ponselku malah bergetar. Saat kulihat, mata malah terbelalak."Siapa?"Sepertinya Ryan mengawasi gerak gerikku, sehingga dia ikut melihat ekspresi wajahku. Tanpa memberikan jawaban, segera kutunjukkan layar ponsel padanya. "Mama?" Ryan pun menautkan kedua alisnya.Majikan, Ny. Lei, belum pernah menelepon setelah aku pulang ke indonesia. Pikiranku malah langsung tertuju pada ucapan Ryan tadi, aku takut malah dia sudah menceritakan semua yang
"Sebenarnya aku begitu berat melepas kamu jadi TKW, Dek. Hanya saja ini demi masa depan kita dan Ais, anak kita. Pergilah Dek, aku janji akan selalu setia dan menjaga Ais dengan baik."Teringat akan kalimat yang terucap beberapa tahun yang lalu itu, air mata menetes di netra ini. Dari kalimat itu aku tahu jika Mas Asep, suamiku, begitu berat melepasku, hanya saja demi masa depan, ini adalah jalan yang terbaik.Senyum terus terkembang di wajahku sejak turun dari pesawat tadi. Membayangkan bisa bercengkrama dengan keluarga yang begitu aku rindukan setelah sekitar dua tahun lebih tak bertemu.'Mas Asep juga pasti kangen sama aku,' gumamku sambil kembali mengulas senyum. Tebakanku tentu rasanya tidak akan salah, adalah hal yang sangat mungkin jika sepasang suami istri saling merindu ketika menjalin hubungan LDR. Apalagi ketika kami bertelepon, Mas Asep selalu mengatakan rasa kangennya itu padaku. Membuat rindu ini semakin berat. Jika tak ingat ingin memperbaiki ekonomi keluarga, tentu a
"Suami kamu sudah menikah lagi saat kamu di luar negeri."Sesak.Itulah yang saat itu juga kurasakan. Dada ini terasa bagai dihimpit batu besar. Meski semua terdengar begitu jelas, tetapi aku masih berharap semua ini tidak nyata.“Ibu bercanda, ‘kan?”“Bercanda gimana, Nis? Buat apa Ibu bercanda soal beginian sama kamu! Ini soal rumah tangga orang, Ibu juga nggak mau sembarangan.” Bu Endang langsung berucap.Kutatap wajah Bu Endang dan masih ada ragi ragu. Wanita tua itu memang terlihat serius. Hal itu membuat hatiku kembali dingin dan tangannya bergetar.Dengan usaha tetap tenang, aku berkata, "Apa ... apa ada bukti, Bu? M-maaf, bukan maksud saya tidak percaya, tapi ... tapi saya ...."Melihatku tidak bisa menyelesaikan ucapan Bu Endang memberikan minuman kepadaku."Minumlah dulu." Bu Endang menyodorkan padaku segelas air mineral yang sudah diberi sedotan. "Biar kamu sedikit tenang, Nis."Tanpa menjawab segera kuminum air tersebut, semoga saja memang bisa sedikit menentramkan hati i
Eka ... ya, perempuan yang ditunjukan oleh Bu Endang itu tak lain adalah teman baikku. Lebih tepatnya adalah sahabat baik. Sejak SMP kami selalu duduk di bangku yang sama. Sudah seperti kakak adik.Eka, wanita yang sudah sejak SMP kuanggap sebagai saudariku sendiri. Seorang yatim yang ibunya bekerja sebagai penjual gorengan keliling lantaran ayahnya pergi entah ke mana. Tak sekali dua kali aku membantunya. Membayar uang SPP sekolahnya saat dia tak mampu dengan uang jajan yang kusimpan dari orang tuaku, memberikan pakaianku yang sebenarnya masih layak pakai karena bajunya sudah banyak tambalan, bahkan memberikannya modal untuk usaha yang sayangnya berakhir gagal.Lalu, ini kah balasan yang dia berikan? Menjadi simpanan suamiku?!"Apa kamu mengenal perempuan jahat ini Nisa?" Kembali, suara Bu Endang seolah membuyarkan lamunanku.Tanpa dikomando, kepalaku langsung mengangguk.Bu Endang membelalakkan matanya, sepertinya wanita paruh baya itu begitu kaget. "Siapa? Teman kamu?"Terdengar b
POV Asep"Dasar anak setan!" teriak Eka sembari melayangkan sebuah tamparan keras yang bunyinya sampai terdengar dari sini.Plakkk"Sakit ..." Suara Ais terdengar begitu lirih."Sakit!? Rasakan!" Suara istri baruku itu terdengar semakin nyaring saja. Dan, mulai terdengar Isak halus dari putriku itu.Hufft ...Pulang kerja disuguhi yang seperti ini saja tiap hari. Kulangkahkan kaki menuju ke sumber suara, dimana lagi kalau bukan di luar rumah."Ada apa lagi sih, Yank?" tanyaku sembari berdiri di ambang pintu.Wanita yang perutnya sudah semakin membuncit itu pun langsung menoleh ke arahku. "Ini ... Anak setan ini, selalu saja buat aku marah Mas!" tukasnya sembari menoyor kepala Ais, hingga gadis itu terjatuh ke belakang.Ais, putri dari pernikahan pertamaku itu, semakin deras menangis dan tak lagi bangkit. Dia hanya duduk sembari sesenggukan."Memangnya dia kenapa?"Mata bulat Eka masih memandang Ais dengan tatapan penuh kebencian. "Aku nyuruh dia dari tadi nyuci baju, eh malah nggak se