Share

Bab 3. Nasib Putriku

Eka ... ya, perempuan yang ditunjukan oleh Bu Endang itu tak lain adalah teman baikku. Lebih tepatnya adalah sahabat baik. Sejak SMP kami selalu duduk di bangku yang sama. Sudah seperti kakak adik.

Eka, wanita yang sudah sejak SMP kuanggap sebagai saudariku sendiri. Seorang yatim yang ibunya bekerja sebagai penjual gorengan keliling lantaran ayahnya pergi entah ke mana. 

Tak sekali dua kali aku membantunya. Membayar uang SPP sekolahnya saat dia tak mampu dengan uang jajan yang kusimpan dari orang tuaku, memberikan pakaianku yang sebenarnya masih layak pakai karena bajunya sudah banyak tambalan, bahkan memberikannya modal untuk usaha yang sayangnya berakhir gagal.

Lalu, ini kah balasan yang dia berikan? Menjadi simpanan suamiku?!

"Apa kamu mengenal perempuan jahat ini Nisa?" Kembali, suara Bu Endang seolah membuyarkan lamunanku.

Tanpa dikomando, kepalaku langsung mengangguk.

Bu Endang membelalakkan matanya, sepertinya wanita paruh baya itu begitu kaget. "Siapa? Teman kamu?"

Terdengar begitu kepo, tetapi aku tahu jika itu adalah salah satu bentuk dari rasa simpati juga.

"Sahabat sejak SMP, Bu. Eka namanya," jawabku lirih.

Rasanya menyebut nama itu, membuat hati ini begitu perih.

"Ya ampun. Kurang ajar sekali dia itu, Nis. Pagar makan tanaman!" Ucapan Bu Endang itu benar sekali.

Kuhela nafas panjang, mengingat kembali bagaimana Eka adalah orang pertama yang memberikan ide agar aku pergi menjadi TKW. Ternyata, semua itu bukan untuk kesuksesanku, melainkan untuk menikmati hasil kerja kerasku melalui Mas Asep!

Mendengar ceritaku, Bu Endang pun ikut emosi. "Selama kamu berada di luar negeri, apa perempuan itu juga pernah menelepon kamu?" 

Sejenak aku pun berpikir. "Pernah sekitar satu tahun yang lalu. Saat itu Eka meminjam uang untuk biaya perawatan rumah sakit ibunya," jelasku.

Sekarang, aku malah jadi memiliki praduga. Kemungkinan besar saat itu Mas Asep dan Eka sudah menjalin hubungan. Dan, mungkin juga uang yang aku kirimkan dulu dipakai oleh kedua manusia penghianat itu.

Ya Tuhan, sebegitu bodohnya aku sampai tidak menyadari pengkhianatan dua orang terdekatku sendiri? Sebegitu percayanya diriku sampai bisa membiarkan mereka menikamku dari belakang sejak lama?!

Mendadak, aku teringat sesuatu yang sangat penting. “Kalau Ais … Ais bagaimana, Bu?” tanyaku dengan panik.

Putriku yang malang. Dengan kenyataan sang ayah menikah lagi, apa kiranya yang terjadi dengannya!? Apa ibu tirinya itu merawatnya dengan baik? Atau jangan-jangan … malah menindasnya!?

Wajah Bu Endang tampak canggung, sehingga aku pun mendesak. “Bu, jawab dong, Bu …,” pintaku. 

"Ais sudah tidak sekolah lagi, Nis.”

Ucapan Bu Endang membuatku membeku. “Apa?” Telingaku terasa berdengung.

“Dari yang Ibu tahu, Asep tidak memberikan uang sekolah kepada Ais. Alasannya tiap kali ditanya tetangga adalah tidak mampu. Dia bahkan bisa marah dan malah memaki balik kami para tetangga yang bertanya. Padahal, jelas-jelas dia dan istri sirinya itu hidup berkecukupan!”

“Bukan hanya itu, Ibu tidak jarang melihat Ais diperlakukan layaknya babu oleh Eka, Nis. Kalau tidak menurut, maka akan dipukul.”

Astaghfirullah … putriku … putri yang membuatku rela berjuang menempuh perjalanan jauh demi mencari nafkah, malah diperlakukan seperti pembantu di rumahnya sendiri!?

Air mata langsung mengalir deras menuruni wajahku. 

Melihatku yang menangis tanpa suara, Bu Endang langsung menggenggam tanganku. “Bertahan, Nis. Kamu harus kuat. Demi Ais,” ucapnya dengan mata yang juga berkaca-kaca. “Maaf kami tidak bisa melakukan apa pun. Namun, sekarang kamu kembali, segeralah tinggalkan Asep dan bawa pergi putrimu!”

Dengan air mata masih menuruni wajahku, aku memasang wajah penuh kemarahan.

Membawa pergi Ais tentu adalah hal yang akan langsung kulakukan. Akan tetapi, meninggalkan Asep begitu saja? 

Tidak … itu terlalu mudah.

“Sebelum pergi, aku akan pastikan untuk membuat hidup mereka bagaikan neraka!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status