Share

Bab 9. Yakin Aman?

"Kamu pasti capek kan Dek, habis perjalanan jauh? Nggak mau istirahat dulu?" Setengah memaksa Mas Asep pun menggandeng tanganku.

Sepertinya pria ini ingin segera membuatku tidur, sehingga dia bisa meminta maaf pada istri keduanya. Cara yang pintar, tapi aku pun sudah bisa membacanya.

Namun dengan dengan secepat kilat aku menghempaskan tangan Mas Asep. "Nggak. Aku nggak capek kok." Lalu kugandeng Ais untuk duduk di sofa ruang tamu. Tanpa memperdulikan Mas Asep yang saat ini malah melongo. 

Suamiku itu sepertinya sangat kaget dengan sikap yang baru saja kutunjukkan, menghempas tangannya dengan kasar. Kareja dulu Nisa begitu manja dan sopan padanya. Tapi ketika pulang kampung ini, Nisa telah berubah seratus delapan puluh derajat. Semua tentu bisa berubah bukan, seiring dengan perjalanan waktu.

‘Jika kamu bisa berbohong, maka tentu aku pun bisa Mas!’

Tetapi kemudian tatapan mata Mas Asep berpindah pada Ais. Yang saat ini duduk tepat di sampingku. Pria berkulit sawo matang itu mendekat dan menyungingkan sebuah senyum manis. Tentu saja sebuah senyuman palsu. Pasti dia masih takut juga jika putrinya itu akan mengadu. 

"Eh Ais, Sayang. Mainan sana, kasihan ibu capek loh." Mas Asep berkata pelan sambil mengelus pucuk rambut sang putri. “Biarkan ibu istirahat dulu.”

Ais sekilas menatap sang ayah dengan tatapan takut, kemudian gadis kecil itu menunduk. Putriku sama sekali tak memberikan tanggapan pada Ayahnya. 

Hening sesaat. Tapi hati ini kembali terasa nyeri, tentu saja saat ini Ais begitu tertekan.

Tak tega aku melihatnya seperti itu. "Ah iya sampai lupa. Tadi ibu beli banyak mainan dan boneka untuk Ais. Sana ambil dan main di kamar ya." Aku memang hampir melupakan hadiah untuk putriku.

Mata Ais langsung berbinar. "Mau Bu." Gurat kesedihan dan ketakutan yang tadi sempat terlihat, saat ini telah hilang seketika.

Tak menunggu waktu lama, gadis kecil itu pun segera beranjak dengan riangnya menuju ke kamar utama. Karena tadi semua barang bawaanku susah dibawa Eka ke dalam.

"Tutup pintunya dari dalam, Sayang. Takut jika ada orang jahat yang masuk!" teriakku kencang. 

Sekarang, waktunya aku sedikit menginterogasi Mas Asep. Entah, si Eka sudah tak terlihat lagi disini, mungkinkah dia sedang menguping dan mengintip apa yang sedang terjadi di ruang tamu ini? Terserah saja.

Senyum kecut terlihat di wajah Mas Asep saat mendengar teriakanku itu, pasti dia tersentil. "Mana ada sih Dek orang jahat di rumah ini? Kamu ini ada ada saja."

Kutatap wajah Mas Asep lekat. " Nggak ada yang tahu kan, siapa yang berhati busuk? Kadang, justru orang terdekat kita lah yang bermuka dua dan menusuk dari belakang!”

Sengaja memang kutekankan kalimat terakhir itu. Rasanya sedikit bisa meluapkan rasa emosi di dalam hati.

Mas Asep diam sesaat sembari menautkan jemarinya. Orang yang sedang berbohong, tentu tidak bisa terlihat tenang kan?

Kutatap terus wajah Mas Asep, lekat. Sembari menurunkan emosi yang sempat meninggi ini. Tak terasa tangan ini kembali mengepal, mengingat apa yang telah dia lakukan. 

"Kamu kapan balik lagi, Dek?" Mas Asep mulai mengalihkan pembicaraan dan menyuguhkan sebuah senyuman terpaksa.

Aku mencebik. 

"Kamu menyuruhku balik ke sana lebih cepat, Mas? Kenapa? Memangnya kamu nggak suka aku ada di sini? Aku ini baru saja datang loh, tapi kamu malah tanya kapan aku pergi lagi.”

"N-Nggak gitu. Aku suka banget kamu datang. Suka." Sedikit gelagapan Mas Asep menjawabnya. “Aku hanya takut kamu sebentar saja di rumahnya. Aku kan masih kangen.” Hanya kebohongan terus yang keluar dari mulutnya.

Aku hanya mengangguk dan tak menimpali hal itu. Karena memang sesungguhnya tahu pasti kebusukan apa yang telah disembunyikan oleh suamiku itu.

Aku hanya bisa mendengus. "Sejak kapan Eka kerja di sini?" Rasanya pembahasan yang ini lebih penting. 

Sontak saja Mas Asep menatap ke arahku dengan ekspresi kaget, tetapi kemudian pria itu kembali mengalihkan pandangan. "2 ... 2 bulan yang lalu. Ya." Kembali dengan terbata dia menjawab dengan penuh kebohongan.

Padahal seingatku sejak pertama kenal, Mas Asep adalah pria yang tegas dan lugas. Tak pernah seperti ini, tentu saja semua berubah karena dia menyimpan kebohongan yang begitu besar.

Sesaat aku terdiam sembari menautkan kedua alis. "Dia tidur juga di sini?" Terus secara intens kutatap wajah pengkhianat itu.

Mas Asep hanya menjawabnya dengan anggukan.

"Kamu nggak takut orang berpikiran buruk? Kalian itu sudah dewasa loh. Bukan muhrim!" 

Mengingat pengkhianatan yang dilakukan oleh sahabat dan suamiku sendiri, darahku rasanya semakin mendidih.

"Dek ... aku ini pria baik baik loh. Nggak akan ada pikiran yang macam macam. Dia hanya bekerja disini sebatas pembantu saja, ya aku perlakuan seperti pembantu." Mas Asep mulai berkata manis. 

"Yakin kamu nggak aneh aneh dengan Eka selama aku kerja?" Nisa mengejar.

“T-tidak Dek. Sumpah!” Mas Asep makin gelagapan, pria itu pun nampak gusar saat ini.

Kuhembuskan nafas dengan kasar, kebohongan demi kebohongan yang dibuat oleh Mas Asep, rasanya membuat hati ini semakin sesak. 

“Yakin? Tapi, kudengar dari banyak orang katanya Mas Asep menjalin hubungan siri dengan Eka?”

Seketika, suamiku itu pun membeku.

Anggrek Bulan

Halo teman teman selamat pagi. lama banget ya saya gak nulis. nah ini cerita baru, semoga pada suka ya.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status