"Panas ya Mas?" Saat Eka masih tertegun karena dibentak Mas Asep, aku berlagak sok simpati. Meniup tangan Mas Asep. "Ya ampun, Mas." Mengambil kesempatan dalam kesempitan, sepertinya itu yang harus aku lakukan. "Panas banget, Dek." Sepertinya yang dikatakan itu benar, dari wajahnya pun nampak kesakitan. "Harusnya kamu itu hati-hati. Kerja nggak becus! Jalan itu pakai mata dong!" Eh, tanpa diduga, Mas Asep malah masih terus membentak Eka. "M-maaf." Wajah Eka nampak semakin pias. Pelakor Itu sepertinya begitu kaget dengan kejadian ini. Feelingku mengatakan, sepertinya ini hal baru bagi Eka. Dibentak oleh Mas Asep. Mungkin selama ini yang dia terima hanya sikap manis saja. "Bisanya hanya maaf saja! Dasar nggak guna!" timpal Mas Asep lagi. Aku? Tentu senang dong menyaksikan kejadian seperti ini. Ini baru awal sih. "Lain kali kamu jangan ceroboh ya, Ka. Kasian banget loh ini Mas Asep baru pulang kerja, capek, haus. Eh malah kamu giniiin," ucapku sok perhatian. Tugasku disini, h
"Ibu punya banyak baju baru untuk Ais," ucapku setelah kembali sampai di rumah. Tentunya lebih dulu dari pada kedua sampah itu. Karena terlalu fokus pada Eka dan Mas Asep, aku sampai lupa telah membelikan banyak baju untuk Ais. "Asyik!" Ais langsung bersorak sembari melihat semua baju yang kukeluarkan dari koper. "Ais mau mandi dulu ya, Bu." Ais kembali bersorak, putri kecilku itu pun langsung pamit untuk mandi, sepertinya dia begitu bersemangat memakai baju barunya. Mulai sekarang, aku tak akan lagi meninggalkan Ais, dan kupastikan senyum akan selalu menghiasi wajahnya. Saat akan menutup koper, mataku menangkap sesuatu. "Ya ampun, sepertinya barang ini akan sangat berguna." Sebuah kebetulan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Saat masih berada di luar negeri, majikan memberikan satu buah kamera ini padaku. Benda mungil yang kupikir tak akan ada gunanya sama sekali. Tapi ternyata, saat ini menjadi begitu berguna. Senyum segera mengembang di pipiku. 'Mari kita letakkan di te
"Nisa, kamu ngapain disini?" Eh. Berjingkat juga aku karena mendengar suara dari Eka tersebut. "Nggak. Hanya mau ngecek!" Untung aku masih bisa menguasai keadaan dan menyembunyikan rasa gugup ini dan langsung menoleh ke samping, menyuguhkan sebuah senyum termanis untuk maduku ini. Memang ya, orang yang sedang berbohong atau menyembunyikan sesuatu, seperti aku saat ini, akan langsung gelagapan juga ditanya. Tapi tidak apa apa, karena aku kan berbohong demi kebaikan. Mengambil yang memang seharusnya menjadi hakku. "Ngecek apa, Nis?" tanya Eka lagi penuh selidik sambil matanya jelalatan ke arah pintu kamar. Sepertinya dia sudah menganggap jika ini adalah rumahnya sendiri, lupa dia kalau aku adalah pemilik sebenarnya. "Ngecek kamu udah pulang belum dari rumah sakit. Soalnya aku baru bangun tidur sih." Kebohongan akan selalu ditutupi oleh kebohongan yang lain juga kan? Tak masalah. Eka tak berkata, tetapi aku tahu sorot matanya masih penuh selidik. "Kenapa memangnya Ka?" Sediki
"Ka, tolong bersihkan rumah ya. Aku mau honeymoon dulu." Tanpa lagi memperdulikan ekspresi Eka yang masih merengut, segera kutarik lengan Mas Asep. "Aku kangen banget deh sama kamu, Mas." Ku ucapkan dengan lantang kalimat itu. Melihat Eka nampak kesal dan cemburu buta, tapi tak bisa berbuat apa apa, menimbulkan sedikit rasa puas di hati. "Kamu kangen nggak sama aku?" tanyaku lagi dengan suara manja. Saat ini kami masihlah ada di depan pintu, jadi Mas Asep pun masih serba salah. "K-kangen banget dong, Dek," jawabnya sambil menoleh ke belakang. "Tapi kan nggak enak dilihat Eka." "Ya sudah, ayo kita melepas rindu. Eka juga pasti ngerti kok." Kutarik lagi lengan Mas Asep, sebenarnya jijik sekali, tapi tak masalah sih. Di kepalaku sudah terlintas cara untuk menghindar dari Mas Asep nantinya. Setelah hampir sampai di depan kamar kami, ponsel Mas Asep berdering. Sontak saja pria itu mengambil dari dalam saku. "Dek, ini dari temanku. Boleh aku angkat dulu?" ucapnya sambil menunju
"Loh, kamu masih belum berangkat Mas?" tanyaku sambil berdiri di ambang pintu. "Em-eh itu, anu Dek. Ini sebentar lagi mau berangkat," jawab Mas Asep dengan wajah kikuk sembari membenarkan posisi duduknya. Waktu kurasa sudah hampir setengah delapan pagi, aku bahkan baru saja pulang dari mengantar Ais sekolah lagi, tapi Mas Asep malah belum berangkat kerja. Apa mereka baru saja melakukan sesuatu? Hmmm ... terserah deh! Aku sempat melihat bayangan Eka pergi dari kaca jendela, saat aku datang yang memang mendadak sekali tadi itu. "Memangnya masuk kerja jam berapa sih, Mas?" tanyaku lagi sembari duduk tepat di sampingnya. Mas Asep masih sedikit kelabakan. Pria itu menyesap kopinya dengan segera. "Jam setengah delapan, Dek. Hanya saja telat sedikit nggak apa apa." Pria itu menunjukkan deretan giginya yang sedikit kekuningan. Pagi tadi aku memang begitu bersemangat untuk datang ke sekolah Ais. Banyak hal yang harus kulakukan, yang paling penting bagiku kudulukan, Ais harus mendapat
"Wah ada ibu datang rupanya. Kejutan nih." Awalnya aku berpikir hanya akan menguping saja disini, mendengarkan apa rahasia yang mungkin nantinya akan membuatku lebih sakit lagi. Tapi ... rasanya tidak bisa, aku ingin melihat seperti apa reaksi ibu mertua ketika melihatku, si menantu yang paling tidak diinginkan. "N-nisa?" Spontan saja beliau langsung melepaskan telapak tangannya yang sejak tadi memang masih memegang Eka. Kutarik kedua sudut bibir, memberikan senyuman terbaik pada wanita setengah baya bernama Bu Nur itu. Sembari berjalan pelan ke depan. "Iya Bu. Ini Nisa," ucapku setenang mungkin. Sementara itu, Eka nampak khawatir dan sedikit menunduk. Aku terus berjalan, sedangkan ibu mertua sepertinya masih begitu shock, sehingga beliau menatapku terus dengan mulut sedikit terbuka. "Silahkan duduk, Bu." Kupersilahkan beliau setelah aku duduk terlebih dahulu. Sepersekian detik, kedua wanita yang sedang berdiri itu masih saja diam mematung, tetap pada posisinya. "Apa ibu t
"Rumah juga tetap seperti ketika saya belum berangkat. Lalu uang puluhan juta yang hampir tiap bulan saya kirim itu kemana? Takutnya sih, digunakan Mas Asep untuk memodali wanita lain." Lagi, ibu mertua dan Eka langsung saling pandang, tapi sejurus kemudian keduanya kembali langsung menunduk. "Bu ..." ucapku lagi memecah keheningan. Ibu mertua malah kembali mengangguk, apa mungkin mulai beliau kembali menciut? "Iya ... nggak lah Nis. Asep itu nggak pernah macem macem kok. Nggak ada di keluarga kami itu orang selingkuh. Semua setia," ucap beliau lirih, tetapi ada sinis juga. Mengeryitkan dahi, padahal aku kan tidak mengatakan tentang selingkuh. Kenapa beliau mengatakan seperti itu? Karena terlalu banyak kebohongan saja. "Sukurlah kalau begitu, Bu. Karena sampai kapan pun saya tidak akan pernah rela jika sampai hasil keringat digunakan untuk hal yang tidak benar!" Kembali kutekankan kalimat itu. Wanita ibu mertua nampak kembali pias. Sepertinya dia begitu kaget dengan perubahan s
“Iya. Sama juga dengannya.” Jawaban itu diberikan dengan cepat. Benar tebakanku. Dasar, Mas Asep! Bodohnya lagi, aku tak pernah mengetahui hal itu. Kukira aku telah mengenal dengan baik suami dan sahabatku ini, tetapi nyatanya, begitu banyak rahasia diantara mereka. Berarti hampir sepuluh tahun ini, aku seperti orang bodoh saja di depan mereka. "Berarti ini CLBK dong?" tanyaku lagi. Eka menarik salah satu sudut bibirnya. "Semacam itu. Sudah dikubur dalam, tetapi memang rasa itu tak bisa dibendung ketika kami bertemu lagi," ucap Eka dengan jelas. Kalau sudah begini, susah. Kukira memang Eka yang menggoda Mas Asep saat aku bekerja di luar negeri, tenyata mereka punya cinta yang belum kelar. Jika sejak dulu aku tahu Mas Asep punya hubungan dengan Eka, tentu aku tak mau menikah dengannya. "Apa kamu nggak takut ketahuan istri tuanya? Kira-kira dia tau nggak tentang hubungan kalian ini?" Lagi, aku pun masih memburu topik ini. Eka tak langsung menjawab, dia menatapku sebentar. "Tid