PoV Irwan
“Kang, ini hot tangnya.” Penjual makanan itu malah menyerahkan hot tang padaku, sedang emosi begini Hutang hotang, menjengkelkan sekali.
“Tunda saja dulu Bang, nanti saya ambil. Ini uangnya ga usah kembalian, saya ada urusan sebentar.”
“Alhamdulillah, makasih Kang,” ucap penjual itu, kulirik sekilas dia begitu bahagia hanya karena kembalian 30 ribu yang tak kuminta.
“Mana Zifia Han, Kamu tinggalkan dia di rumah?” tanyaku sinis.
“Maaf Bang ini cuman salah paham di-dia sekertarisku.”
“Sekertaris kamu bilang? Mau dia siapa mu aku tak peduli, kenapa pakai suap-suapan segala? Keluar kamu!” Reihan tampak gugup tapi dia keluar juga, sedang perempuan yang bersamanya tampak gemetar ketakutan, tapi dia tetap duduk di sana.
“Zifia lagi hamil kamu malah selingkuh, otakmu
PoV NisaSaat kita hidup sederhana di rumah kecil yang halaman depannya mengarah pada pesawahan. Kita sering makan di gubuk tengah sawah, meski lauk pauknya sederhana hanya tempe goreng dan ikan asin. Aku merasa sangat bahagia, perlakuanmu saat itu begitu manis. Terlebih ketika kamu menyuapiku sembari mengucapkan janjimu.“Setelah kita sukses nanti, kita akan kembali ke tempat ini, menyuapimu lagi seperti ini, tapi tentunya bukan dengan ikan asin, ikan gurami mungkin.” Lelakiku itu tertawa kecil. Aku tak bisa ikut tertawa waktu itu, malah menangis terisak. Hidup kami pas-pasan sekali, tapi entah kenapa rasanya lebih bahagia saat kami lebih sering kekurangan dibanding sekarang serba berlebihan tapi tak ada lagi cinta di dalamnya. Dia mengusap pipiku pelan-pelan.“Jangan nangis,” ucapnya lembut. Dia mengangkat lenganku, lalu menempelkan telapak tanganku di kepalanya. Bang Irwan mengangkat tanganya dan menaruhnya
PoV IrwanSejenak keheningan tercipta, netranya menatapku dalam diam.“Kamu ragu?” tanyaku kembali. Dia kembali mengangguk, seketika ada perasaan bahagia yang mulai mendesir ke dalam hati, meski belum yakin sepenuhnya. Aku telah berhasil membuat dinding keyakinannya mulai goyah. Tinggal sedikit lagi untuk membuatnya roboh.“Ayo pergi Bang, kita jalan lagi. Reina Raina, sudah habis ‘kan? Kita ke sana liat air mancurnya.”“Ayo, Mah.” Kedua anak kecil itu bersemangat sekali. Mereka menggandeng tangan papahnya dengan erat. Bang Irwan menatapku sambil tersenyum, baru tadi pagi dia memohon agar mau diimami salat subuh, sekarang mereka telah lupa dengan kesalahan Papahnya. Anak-anak memang mudah sekali berubah. Andai saja kamu juga seperti itu Bang.“Pah lihat deh ke sana, ada gelembung.”“Raina mau?” tanyaku.
“Abang kok belain Mbak Nisa?”“Ya kamu aneh jadi aneh. Orang Nisa enggak cemburu. Kenapa malah maksa?”“Ih, Abang.” Dia malah semakin merajuk. Seperti inikah perempuan seharusnya, Bang? Yang tempo hari kamu bilang harus bermanja-manja padamu? Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya, kalau menyaksikannya sendiri aku pun muak.“Pokoknya Abang harus ikut aku!” Dia menarik Bang Irwan dengan paksa. Tenaganya itu kenapa kuat sekali atau memang Bang Irwan yang tak mau menahan diri agar tak ikut dengannya? Aku ini terlalu lugu. Tentu saja dia lebih memilih Santi dari pada aku. Dia lebih muda, gesit dan tentunya dia sempurna sebagai perempuan. Bukan sepertiku yang tak punya rahim.“Papah, Papah mau ke mana?” Si Kembar berteriak memanggil Papahnya yang di bawa pergi. Mereka baru menyadarinya saat Bang Irwan sudah agak jauh. Suamiku terlihat menengok k
“Sial aku tak bisa membiarkan istriku berdua dengan pria lain, si Arga ini, lengah sedikit saja selalu saja mencari kesempatan!”“Abang! di panggil dari tadi kok enggak negok-negok.” Calon istriku keduaku ini kenapa cerewet sekali. Gara-gara dia Nisa jadi langsung mematikan teleponnya. Aku harus segera menghampirinya. Aku memang cemburu, terus kenapa? Kita sudah suami istri, bukankah wajar. Mengingat pria itu seperti ingin terus berada di dekat Nisa.“Abang!” Santi menghampiriku dia berteriak tepat di depan telinga. Membuatku terlonjak kaget.“Kamu ini kenapa lagi, maunya apa?” Terlanjur emosi nada bicaraku menjadi tak terkontrol. Kutinggalkan saja Santi di depan toilet umum, benar juga kata Nisa tenagaku cukup kuat untuk tetap bertahan bersamanya. Masalahnya memang ada padaku. Hatiku yang masih condong pada perempuan ini lah yang membuatku terbawa olehnya. Rupanya Santi tetap mengikutiku dari belakang.&ldq
“Akan jadi apa anak-anakku nanti berada di samping dia. Ajari dulu dia adab baru kamu perkenalkan pada anak-anakku Bang!” ucap Nisa penuh penekanan, baru kali ini kulihat dia berkata dengan penuh emosi. Apakah yang aku lakukan memang sudah keterlaluan.“Mereka ‘kan anakmu Mbak, bukan anakku!” Santi masih saja pada pendiriannya seolah yang dia lakukan memang benar. Nisa lagi-lagi menyeringai menatap tajam ke arah Santi. Sesaat kemudian raut wajah gadis itu pun berubah ketakutan, mungkin teringat saat Nisa memitingnya barusan.“Ke-kenapa melihatku seperti itu?” ucap Santi tergugup.“Kamu pikir saya takut sama kamu? Saya diam bukan berati lemah. Kamu sudah saya berikan kesempatan untuk jadi istri kedua. Bukannya mempersiapkan semuanya, malah sibuk merias diri,” ucap Nisa, matanya menatap Santi dari atas sampai bawah. Menyaksikan mereka bersitegang sebenarnya hatiku juga dag dig dug tak karuan, takut kalau sampai
“Maaf, Bang.”“Maaf kamu bilang?” Baru saja ingin menghadiahi satu bogem mentah lagi, sayangnya malah dicegah orang-orang di sana.“Maaf Pak, ambulansnya mau berangkat. Ada yang mau menemani?” Suara petugas kini menjadi pusat perhatian kami.“Saya,” jawabku kompak dengan Reihan, membuat kami berdua saling menatap.“Suaminya yang mana?” tanya Petugas.“Saya, Pak.” Reihan menjawab.“Ya sudah kalau begitu. Mari ikut saya! Bapak bisa nyusul ya, takut nanti di jalan malah ribut lagi. Mohon pengertiannya, kasihan pasien.” Tanpa basa-basi lagi petugas itu langsung membawa pergi Zifia. Aku mengalah, tapi lain waktu akan kubuat perhitungan dengannya. Tak lama Nisa datang, mengajakku untuk segera naik ke mobilnya. Syukurlah begitu aku sampai Zifia tengah di tangani. Aku bersandar pada d
“Tatap aku, Sa?” Kutangkupkan kedua tanganku padanya.“Abang enggak pandai merangkai kata tapi percayalah, kali ini abang mengucapkan semuanya dengan penuh keyakinan.”“Abang mau meninggalkan Santi, memutuskan semua hubungan dengannya.”“Iya,” Bibir Nisa bergetar, matanya mulai berembun, untuk sejenak mata kami bertemu.“Aku punya banyak kekurangan, aku gak bisa....”“Abang beruntung Sa, masih Tuhan berikan kesempatan untuk bertemu denganmu. Di luar sana, banyak suami-suami yang tak seberuntung Abang. Tadi siang Abang ketemu sama pria yang harus kehilangan istrinya setelah melahirkan, Abang gak bisa bayangin, kalau itu terjadi sama abang.”“Jika kehilangan kamu. Mau jadi apa hidup Abang, Sa. Kalau menggendong bayi pun Abang gak bisa. Maaf, karena telah mengabaikanmu se
Kami terus berjalan bergandengan, menyusuri trotoar jalanan kota Purwakarta. Kami memang masih tinggal di sini. Mengingat Zifia masih belum pulih, juga Santi yang masih bermalam di kota ini. Entah dia tinggal di mana, dari sekian banyak tempat kenapa harus bertemu dengannya di sini. Semoga Tuhan tak bermaksud menjadikan kami berjodoh, karena itu berarti untuk kesekian kalinya. Aku akan membuat perempuan di sampingku terluka lagi dan lagi. Sengaja kuayunkan lengan kami, menikmati ramainya kota yang letaknya bersebelahan dengan kota tempat kami tinggal, semilir angin sejuk memeluk kami di pagi hari.“Dingin?” tanyaku.“Hmm.” Wanitaku mengangguk.“Cari sarapan dulu ya sambil ngeteh.”“Boleh.” Kuraih pundaknya, hingga tak ada lagi jarak yang tersisa diantara kami, wajahnya malah tertunduk lalu tersenyum malu-malu, tenggelam dalam dada bidangku yang merengkuhnya. Bisa kulihat dengan jelas di pantulan cermin toko