Aku tertegun melihat wajah Nana memenuhi layar."Gue anterin yang lu kirim kemarin, sekalian main. Kebetulan Bu Nita lagi nggak ada di rumah. " Roy menjelaskan. Kepalanya menyembul sedikit dari ponsel yang kuyakin dipegang Nana."Mama, Nana kangen. KapN pulang?" Pandanganku memburam menatap bibirnya yang mengerucut lucu. "Nana udah ditinggal papa, jangan Mama juga. Nenek bilang, Mama nggak akan balik, Nenek bilang Mama bukan Mama Nana Lagi." Kubekap mulut saat merasakan sesak di dada kian terasa menekan."Mama udah nggak sayang Nana lagi, yah?" Aku menggeleng kuat."Ng-gak, sayang. Bukan gitu." Terbata suaraku saat berusaha menjelaskan. "Terus kenap Mama ninggalin Nana? Nana nakal, ya? Nana suka ngerepotin Mama?" Kupalingkan pandangan dari layar ponsel. Tak sanggup menatap wajah yang telah menciptakan begitu banyak memori indah maupun menyakitkan selama lima tahun kebersamaan."Nana....""Nenek suruh Nana lupain Mama, Nenek bilang Mama pergi karena udah nggak sayang kita lagi. Nenek
"Jadi masak apa kita hari ini?" Arga sudah bersiap di depan pantry, sementara aku duduk memerhatikannya di salah satu kursi."Sayur lodeh kayaknya enak, tuh." Usulanku.Arga tampak berpikir."Hmmm, santan, ya? Terlalu berlemak sepertinya."Ada yang lain?" Sudah kuduga, dia memang sering repot kalau urusan makanan."Terserah. Soalnya kalau saranin yang lain salah lagi." "Ng, ya sudah. Kita masak opor kalau gitu." Arga beranjak menuju freezer, sementara aku menggaruk rambut yang tak gatal. "Apa bedanya opor sama, Supri? Kan, dua-duanya pake santan?" Aku mendumel sendiri, tampak Arga tak peduli.Baru saja dia mengeluarkan daging ayam boiler dari freezer, suara nyaring ponselnya menginterupsi. "Bisa minta tolong periksa?" Tanyanya saat melihat lokasiku lebih dekat dengan benda pipih itu. Bunda.Nama yang tertera di layar.Ternyata Ibu Naya."Mertuamu! Cetusku sembari menyodorkan ponsel."Angkat saja, tangan saya koyor." Suruhnya."Males, ah." Aku menyodorkan ponselnya lagi."Ya, udah
"Dua puluh tahun lalu simbok yang bantu persalinan Ibumu, di gudang belakang rumah. Bu Riska ada di sana pada saat itu. Dia, dia....""Mbok Marni!" Kami terlonjak bersamaan, saat melihat Bu Riska sudah berdiri di hadapan. Tatapannya begitu tajam. Menusuk langsung ke ulu. "Kalau bukan karena Naya yang meminta, sudah lama saya memecat anda! Selain biang masalah, anda juga tak bisa menjaga rahasia." Ancamnya wanita separuh baya itu.Mbok Marni menunduk dalam, sejenak dia menggenggam tanganku sebelum berlalu."Kita doakan, Nin Naya segera sadar, karena dia tahu yang lebih banyak yang saya tahu." Bisik Mbok Warni pada telingaku."Mbok Marni!" Suara Bu Riska meninggi. Dibentak seperti itu Mbok Mirna pun pergi benar-benar pergi.Sepeninggal Mbok Marni aku yang menjadi sasaran."Bisa kita bicara? Tapi, tidak si sini!" Ajaknya ketus.Bu Riska membawaku jauh menyusuri koridor sepi di rumah besar ini. Cengkeram yang kurasakan di lingkar lengan sudah cukup membuktikan kalau dia punya dendam te
Demi tuhan wajahnya sangat menyebalkan sekali, tiap melihatku dia sering kali menunjukan tatapan yang sama tak menyenangkannya. Seperti ada semacam dendam terpendam, atau kebencian tak berdasar, entahkah aku pun tak mengerti.Bu Riska pergi begitu saja. Sepeninggalnya, ku tatap baso yang rasanya masih layak meski sudah sedikit tercpur sabun. Ku cuci perlahan, lalu melahapnya tanp sungkan."Lumayanlah buat ganjel."Selesai mencuci piring, kulanjutkan mencuci pakaian anak-anak yang belum bisa mengurus diri sendiri. Dari kamar ke kamar kupunguti pakaian mereka yang kadang hanya dibiarkan teronggok dilantai."Butuh bantuan?" Seringai dan wajah memuakkan itu membuatku sontak mundur beberapa langkah."Nggak usah, Pak. Saya bisa sendiri?" Kuusap tengkuk lalau menghela napas panjang untuk kesekian kali, serangan panik itu tiba-tiba menyerang tiap kaki berhadapan dengan lelaki tua ini.Dia adalah Pak joko, salah satu pengelola panti, lebih tepatnya adik Bu Herlina. Aku tak suka bila dia dekat-
Namun, beruntung dokter mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan dalam keadaan sehat. Asupan nutrisi juga terpenuhi.Bu Sarah dan Pak Alif sempat datang untuk memastikan keadaan, begitu pula dengan Pak Hermawan dan Bu Riska. Tak ada sorot bersalah yang digambarkan Ibu kandung Naya itu bahkan setelah apa yang dia lakukan selama ini. Sementara sang suami, Pak Hermawan, besar kemungkinan sampai detik ini lelaki paruh baya itu masih belum tahu setatusku setelah dua puluh lima tahun berlalu. Kalaupun tahu kuyakin semua tak ajan berakhir seperti ini."Sudah, baring saja! Kamu masih sakit!" Kurasakan tangan besar menahanku bangkit dari posisi berbaring. Sejak kejadian itu, dia memang menjadi lebih perhatian dan siap siaga menemani. Pagi malam mengurusi. Terlepas dari itu kewajibannya kurasa dia memang benar-benar bersalah karena sempat mengumpankanku ke kandang macan. "Pengen pipis." Ucapku."Oh, eh.... Mau dituntun" tanyanya kikuk."Boleh." Untuk beberapa saat aku memperhatikannya
"Diem, kamu nggak ngerti.""Nggak ngerti gimana? Saya punya suami, Mbak. Anak saya juga udah gede." Dia mencolek daguku beberapa kali."Ck, kamu tuh nggak paham, Nila!" Kutepis tangannya."Paham, kok. Pak Arga sukanya main siang-siang, pojok-pojokan nggak nyangka kalen.Astaga, wanita ini."Kita itu lagi berantem, paham nggak, sih?" Geram sendiri, kutoyor saja kepala si Nila. "Loh, berantem beneran?" Tanyanya dengan mata melotot."Yaiyalah, masa boongan?" Jawabku kesal."Kirain, soalnya kalian, kan sering main berantem-berantem tiap ha_" Nila menghentikan kalimatnya."Kita nggak ada masalah, jadi jangan berasumsi."Nil!" Arga yang muncul entah darimana menyayuti."Nggak usah nyaut, situ nggak diajak." Sungutku mendelik tajam. Arga hanya menghela napas, dia berjalan memutari kursi lalu duduk disembari.Mrngalihkan percakapan , Arga bertanya Arga bertanya tentang kemuarga Nila.Hmm.... Emang paling bisa, ni laki!Entah kenapa aku tiba-tiba merasa bersalah. Melihat sorot lelah berusa
Refleks aku menghentikan kegiatanku membuat adonan kue."Kan, kan, apa saya bilang. Nggak boleh suudzonan sama laki," celetuk Neli."Emang kenapa tadi Alara?" Tanyanya serius."Oh, tadi Mbak Alara bilang kalau_hmmt!" Bergegas aku membekap mulut Nila."Nggak ada apa-apa." Aku nyengir tiga jari."Ngomong-ngomong kok, dadakan? Aku, kan butuh persiapan. Danadan, pakaian, tas, sepatu?""Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," terang Arga."Saya sudah mengantisipasi semuanya. Jadi... Mari kita belanja hari ini. ***Aku kehilangan kata untuk menggambarkan sosok Arga. Dia nyaris tak ada celah, dan sulit sekali mencari kekurangannya. Bagaimana bisa membawaku ke acara besar seperti ini hanya beberapa jam sebelum dilaksanakan? Semua serba dadakan, tapi hasil yang didapatkan tak terlalu mengecewakan.Kami tampil layaknya pasangan pada umumnya.pakain couple berwarna senada, jas dan kaftan, bergandeng tangan menyalami kerumunan orang-orang yang sebagian besar menatapku penasaran tak he
"Entah sampai kapan semua ini berakhir, entah seberapa kuat saya menahannya. yang oasti sampai detik ini, semua yang saya lakukan tujuannya agar tak menyakiti salah satu diantara kalian. Karena tak bisa dipungkiri, setiap kali menatap matamu, yang saya ingat hanya Naya." Bersamaan dengan itu, aku bisa merasakan dia mengecup keningku. Mengetatkan pelukan, dan membenamkan kepalaku di dadanya yang bidang, hanya meninggalkan nyeri yang sulit Jantungnya berdegup kencang, aku tahu dia juga merakan apa yang aku rasakan.Seperti rindu, hasrat yang berusaha di rendam dideskripsikan. Hanya malam yang tahu bagaimana mengendalikan tiap kegelisahan yang dirasakan bersama mimpi-mimpimu.***"Kok, kalian nggak keramas?" Celetuk Nila begitu saja."Uhuk!" Pertanyaan dari Nila membuat Arga yang baru saja menegak air hingga tersedak."Apa maksud kamu?" Dia menjawab ketus."E, mm, anu, itu...." Si Nila gelagapan sendiri kemudian menyikutku."Mbak.""Apaan, saya nggak ikutan." Kutepis tangannya yang me