"Mau ke luar?"tanyanya."Apanya yang keluar?" Arga memejamkan mata sejenak."Jalan-jalan, menenagkan diri," terangnya."Healing?" Tambahku.Dia mengangguk lagi."Boleh, kalau bisa nggak boleh pulang malam ini." ***Aku tak menyaka dari sekian tempat, Arga justru membawakubke pantai, menuju wisata kawasan wisata in."Lepas sendalnya," Titah Arga saat kami menginjakkan kaki di pasir. Menikmati sunset di atas pantai, campuran warna jingga, merah dan kelabu yang alam lukis dilangit sangat sedap di pandang mata. Menenagkan hati dan pikiran yang sebelumnya kacau dan berantakan."Ke sebelah sana!" Aku tertegun saata melihat Arga menautkan tangannya. Etat dia genggam tanganku, lalu menuntun pasir pantai. Membiarkan kaki telanjang kami disapu air.Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya, hanya sesekali dia menimpali ucapanku, bahkan perdebatan bisa dibilang keterlaluan. Hanya hela napas, dan pejaman mata yang sering kali dia lakukan untuk meredam kekesalan.Dalam sisa ter-egois aku benar-
Setatus sebagai orang kaya, dia bisa dengan mudah diterima.Langit tak perlu menjelaskan bahwa dirinya tinggi. Tanah tak pernah tersinggung. Meski diinjak berkali-kali.Begitu pun aku yang lebih memilih dibenci, daripada dinilai bodoh karena masih mengedapkan nurani, di hadapan orang-orang tak tahu diri."Percayalah kamu nggak sendiri." Genggaman tangan kurasa erat mencengkram jemari. Tiap urat yang timbul di permukaan tangan besar Arga. Semakin menguatkan tekadku untuk berhenti mengelilingi pusara masa lalu seolah tak pernah memihakku.***"Mau lihat jenis kelaminnya?" Dokter Antoni memutar-mutar alat khusus di perutku yang terbuka.Aku dan Arga sama-sama menatap layar besar yang tergantung di ruang pemeriksaan. Ada rasa haru yang sulit di gambarkan. Ada rasa haru yang sulit digambarkan saat melihat janin itu tumbuh dan berkembang sehat dalam kandungan. "Nggak perlu , Dok. Laki-laki atau perempuan kita kita serahkan akhirnya pada tuhan " aku tersenyum saat mendengar jawaban sama
***"Mbak, kenapa nggak ikut ke rumah utama?" Nila beridiri di sampingku yang tengah menyiram bunga."Katanya nggak enak badan, tapi malah nyiram tanaman. Bukannya istirahat aja di dalem, nanti biar saya pijitin." Tangannya melingkar di sebelah lenganku yang bebas.Sebagai sesama perempuan, Nila jelas tahu kenapa aku beralasan tak enak badan agar tak ikut serta menjenguk Naya. Karena menjadikan kondisi kesehatan sebagai alibi untuk menutupi perasaan, adalah tindakan yang tak jarang 'kami' lakukan.Dengan situasi dan posisi sekarang, Aku hanya takut tak bisa menahan gejolak perasaan ketika melihat lelaki itu memeluk dan mencumbu mesra wanita yang hampir dua tahun dia nantikan dengan penuh harapan.Perasaan yang sebenarnya tak pantas kurasakan, perasaan yang seharusnya tak pernah datang. Dengan atau tanpa sadar."Cuma sedikit puasing sama sedikit mual aja, kok, Nel. Nggak separah harus rebahan seharian." Aku tersenyum kecil. Salah satu upaya yang bisa dilakukan agar dia mengerti bahwa se
"Nggak, nggak bisa. Gue tahu muka lu itu, hampir nggak pernah jerawatan. Fix, sih. Butuh healing ini."Aku memutar kursi, lalu menatapnya dengan kenyitan dahi. "Apa hubungannya healing sam jerawat?""Oh, c'mon Alara. Jerawat juga bisa timbul karena stres. Saat diri dilanda stres, tubuh akan menghasilkan lebih banyak endrogen yang juga merangsang klenjar minyak dan kantong rambut di kulit. Akubatnya, jerawat pun muncul. Jadi, intinya lu butuh refreshing, hiburan, beibeh.""Dih, gaya ngomong lo jadi mi_" "Sudah selesai semuanya?" Deg!Apa-apaan ini? Sejak kapan Arga pulang? Dan bagaimana dia bisa tak terkejut dengan Kehadiran Roy di sini? "Roy!" Aku menatap tajam lelaki berambut pirang yang berdiri dihadapan."Sorry, gue nggak bisa nolak saat si ganteng tiba-tiba ngirim tiket, terus minta gue buat temenin lu liburan ke pulau penawar rindu."Aku menghela napas panjang. Sudah kuduga ada yang tak beres dengan kedatangannya secara tiba-tiba.Namun, idenya tak buruk juga. Sepertinya ak
Setelah kembali ke tempat penginapan aku dan Arga, Nila dan Roy. Kemudian melanjutkan untuk pergi ke pantai karena tujuan kita semua liburan untuk mencari suasana yang nyaman. Ku lihat Arga nampaknya bahagia, apalagi ketika dia selalu menggandeng tanganku disepanjang jalan, dengan rasa khawatirnya mungkin tidak ingin aku kenapa-kenapa."Udah siap?" Tanyanya di ambang pintu."Udah," jawabku rendah."Ayo," ajaknya dengan meyodorkan sebelah tangannya.Aku menatapnya sejenak. Aku mulai berpikir apakah semua ini akan terus seperti ini aoakah ini akan menjadi kenangan terakie bagiku dengannya."Kenapa malah bengon!" Sahutnya membuatku sedikit kaget."Oh, iya, maap. Tapi aku bisa jalan sendiri kok." Ujarku sembari berdiri dari tempat dudukku."Aku tidak ingin kamu merasa cape, apalagi sampai kamu sakit, karena saat ini aku harus bisa menjaga dua orang sekaligus, yaitu kamu dan bayi yang ada di kandunganmu." Ucapnya sembari mengusap perutku lembut."Dua! Bukannya tiga yah?" Cetusku membuat A
"Iya, aku sendiri aja di rumah. Lagian aku sudah bisa bangun sdikit demi sedikit juga, kok."Nggak, aku tidak akan membiarkan kamu seorang diri. Aku udah chat Mama suruh ke sini. Sebentar lagi pasti datang." Katanya.Tak lama kemudian Mama pun datang dengan kehenoannya dan bener saja Mama selalu membawakan makanan kesukaan aku. "Berangkat saja Arga, lagian Mama udah datang sekarang." Ucap Riska di ambang pintu.Arga dan Alara menoleh ke arah Bu Riska."Mama!" Sontak keduanya menoleh."Tuh, mama datang, kan? Aku pamit yah? Besok aku pasti libur lago kok?l." Pamit Arga kemudian keluar dari kamarnya.Aku yakin Arga sudah merasa nyaman bersama Alara. Karena seiring berjalannya waktu bersama mereka pasti saling menaruh hati."Kamu kenapa?" Tanya Bu Riska."Oh, iya, Mah. Aku tidak apa-apa," lamunanku terlonjak saat Mama memanggilku."Udah, jangan berpikir negatif. Kamu fokus dengan kesehatan kamu ini, Wanita murahan itu akn segera pergi dari hidup Arga dengan waktu yang sebentar lagi." Usi
Pagi ini kami semua bersiap duduk semua di depan meja makan. Semua hidangan telah tertata rapi oleh Nila, aku yang tengah duduk bersampingan dengan Roy. Sementara Naya duduk di kursi berhadapan dengan Aku, dan Arga duduk berada di tengah Aku dan Naya. Pandangan Naya sedikit berbeda ketika melihatku dusuk di samping Arga. Aku merasa tidak enak karena aku mengerti dengan perasaannya, walau bagaimana pun perasaan wanita akan sama ketika posisinya seperti ini. Aku mencoba menghangatkan suasana agar tidak terlihat tegang dan sunyi."Nil, kamu tumben masak ikan? Biasanya juga selama aku di sini kamu tidak pernah masak ikan?"tuturku bertanya."Oh, iya Mbak. Aku masak ikan buat Nyonya Naya." Jawabnya cepat.Aku hanya melirik ke arah Naya yang saat itu Naya sedang mengoles seleinke dalam roti."Memangnya kamu belum pernah makan enak di sini?" Tanyanya."Oh, tidak, aku sering makan enak dan makanan enak ku itu good food. Karen aku tidak suka masak makanya aku lebih suka makanan instan." Uaca
Mendengar itu, sontak aku meletakkan pisau dan menghentikan irisan tempe diatas talenan."Bukannya kalian lebih paham? Pertanyaan kayak gini harusnya nggak perlu diperdebatkan." Jawabku"Aku cuma mau tanya alasannya, Ala." Naya terkekeh."Aku pernah bilang hal ini sebelumnya sama Arga. " Kupejamkan mata sejenak. "Nggak pernah ada dua ratu dalam satu istana, Naya. Walaupun setatus kita sama tapi posisi aku dan kamu berbeda. Menempatkan kita berdua dalam satu atap yang sama cuma bakal menciptakan lebih banyak luka dan perselisihan. Ngerti, kan sekarang? Ngerti, dong masa nggak ngerti?!" Naya terdiam dengan waktu yang cukup lama.Beberapa saat kemudian tiba-tiba dia mengatakan sesuatu yang cukup mengejutkan."Kalau begitu bisa tolong batasi dirimu dengam mas Arga? Karena aku mulai merasa ada yang berat sebelah di sini." Cetusnya tiba-tiba.Kuhela napas dalam dan menghembuskannya dengan kasar."Selama ini aku udah coba membatasi diri, Naya. Setelah memenuhi apa yang kamu inginkan selam