Share

Bab 5

"Sebelum itu, perkenalkan namaku Aarav. Aku adalah tunangan Hera, sebab itu aku mengajakmu untuk bekerjasama. Aku ingin dia membayar semua sakit hati yang aku rasakan," ujar Aarav tanpa berbasa-basi lagi.

Freya menatapnya dengan rasa heran dan sedikit was-was. Aarav, pria berwajah tegas dengan tatapan mata tajam, tampak sangat serius. Dia baru saja bertemu, dan langsung memulai percakapan yang mengarah ke situasi begitu tegang dan penuh emosi.

"Apa maksudmu, Aarav? Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian berdua?" tanyaku perlahan, mencoba memahami situasi.

Aarav menghela napas panjang, lalu mulai bercerita dengan nada yang penuh penekanan. "Hera dan aku sudah bertunangan selama dua tahun. Awalnya, semuanya berjalan baik-baik saja. Kami merencanakan masa depan bersama, saling mendukung karier masing-masing, dan berusaha mengatasi berbagai rintangan. Namun, beberapa bulan terakhir ini, dia mulai berubah. Dia sering menghindar, tidak terbuka, dan ada beberapa hal yang membuatku merasa curiga. Ternyata memang benar, dia berselingkuh dengan pria yang sudah menjadi mantan suamimu."

Freya masih mendengarkan dengan seksama, mencoba menyusun potongan-potongan cerita yang disampaikan Aarav. "Lalu, apa yang membuatmu begitu marah hingga ingin membalas dendam? Padahal, harusnya kamu bersyukur sudah mengetahui keburukan sebelum menikah dengannya."

Wajah Aarav berubah semakin kelam. "Aku menemukan bahwa Hera berselingkuh. Bukan hanya satu kali, tapi berkali-kali. Dengan orang yang berbeda-beda. Aku merasa dikhianati dan dipermalukan. Aku mencintainya dengan tulus, tapi dia menginjak-injak perasaanku. Itu sebabnya aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan. Aku butuh bantuanmu untuk melakukan itu."

Kata-katanya mengandung rasa sakit yang dalam, namun juga keinginan untuk membalas dendam yang berbahaya. Freya merasa dilema. Di satu sisi, dia bisa memahami rasa sakit yang dirasakan Aarav. Tapi di sisi lain, dia tahu bahwa membalas dendam bukanlah solusi yang tepat.

"Aarav, aku mengerti perasaanmu. Tapi, membalas dendam hanya akan memperburuk keadaan. Bukankah lebih baik jika kita mencari solusi yang lebih bijak?" usul Freya hati-hati.

Namun, Aarav menggeleng tegas. "Tidak, aku sudah memikirkannya. Hera harus membayar atas apa yang telah dia lakukan. Aku tidak bisa melepaskannya begitu saja. Kamu harus membantuku."

Freya terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk merespons. "Aarav, apa yang kamu rencanakan? Aku butuh tahu detailnya sebelum memutuskan untuk terlibat."

Aarav menatap Freya dalam-dalam, lalu berkata dengan nada yang lebih tenang, tapi tetap tegas, "Aku ingin mengungkapkan semua keburukannya di hadapan teman-teman dan keluarganya. Aku ingin dia merasa malu dan menyesal. Aku membutuhkanmu untuk membantu mengumpulkan bukti-bukti perselingkuhannya dan menyiapkan segala sesuatunya untuk saat yang tepat. Aku berharap dengan begitu dia akan memohon maaf padaku."

Rencananya terdengar kejam, namun tampaknya Aarav sudah bulat dengan keputusannya. Freya merasa terjebak dalam situasi yang sulit. "Aku memang merasakan apa yang kamu rasakan, mungkin lebih sakit. Tapi, aku tidak ingin terlibat dengan pembalasan dendammu yang mungkin tidak akan ada gunanya." Sebenarnya dalam hati kecil Freya, dirinya juga tidak terima dengan perlakuan Barry. Namun, untuk membalas dendam dirinya juga tidak bisa melakukannya.

Aarav mulai tersenyum sinis. "Aku akan memberikanmu waktu untuk memikirkan semuanya. Tidak harus sekarang, ingat ... aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan jika kamu mau terlibat dengan rencanaku." Pria itu berbicara sembari memberikan kartu namanya. "Kalau kamu berubah pikiran, hubungi saja aku."

Mereka berdua pun berpisah setelah percakapan itu, dengan pikiran yang penuh pertimbangan. Freya merenungkan apa yang telah disampaikan Aarav, mencoba memahami posisinya, sekaligus mempertimbangkan moralitas dari tindakan yang ingin dia lakukan. Membalas dendam memang bisa memberi kepuasan sesaat, tetapi sering kali hanya membawa lebih banyak masalah dan penderitaan.

Hari demi hari berlalu, dan Freya terus bergulat dengan pikirannya sendiri. Hingga suatu hari, Desi membutuhkan uang untuk membayar sekolah. Sedangkan Barry belum juga memberikan jatah bulanan yang seharusnya sudah Freya terima. Dia juga belum menerima gaji dari pekerjaannya menjadi cleaning service. Di saat pikirannya mulai buntu, wanita cantik itu pun memutuskan untuk berbicara dengan seseorang yang dia percaya bisa memberi nasihat yang bijak – sahabatnya, Maya. Maya adalah seseorang yang selalu berpikir jernih dan memberikan sudut pandang yang berbeda.

"Maya, aku butuh bantuanmu," kata Freya ketika mereka bertemu di sebuah kafe. "Aku terjebak dalam situasi yang rumit dan butuh nasihatmu."

Maya mendengarkan cerita Freya dengan seksama, tanpa memotong sedikit pun. Setelah selesai bercerita, Maya menghela napas panjang. "Ini situasi yang sulit, tapi aku pikir kamu tahu jawabannya sendiri. Membalas dendam bukanlah cara yang baik untuk menyelesaikan masalah. Itu hanya akan memperburuk keadaan dan membuatmu terjebak dalam lingkaran kebencian."

"Aku tahu, tapi Aarav sangat yakin dengan rencananya. Aku tidak tahu bagaimana cara membujuknya untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda, terlebih aku butuh uang untuk putriku. Selain membantunya, tidak ada lagi pekerjaan yang bisa membuatku mendapatkan uang lebih cepat. Aku tidak mau sekolah Desi terputus begitu saja."

Maya tersenyum lembut. "Terkadang, yang dibutuhkan seseorang hanyalah waktu untuk merenung dan dukungan dari orang terdekat. Beri dia kesempatan untuk melihat bahwa ada cara lain untuk mengatasi rasa sakitnya. Jika dia masih tidak bisa melihatnya, maka mungkin dia harus menghadapi konsekuensi dari tindakannya sendiri."

Freya mengangguk, merasa sedikit lega setelah berbicara dengan Maya. Mungkin itu adalah nasihat yang dia butuhkan – memberi Aarav waktu untuk merenung dan menunjukkan bahwa Freya peduli dengan perasaannya, namun tidak setuju dengan cara yang ingin pria itu tempuh.

Malam itu, Freya menelepon Aarav dan mengajaknya untuk bertemu lagi. Mereka bertemu di taman, tempat yang tenang dan sepi, jauh dari keramaian. Aarav tampak gelisah, namun dia tetap datang.

"Aarav, aku sudah memikirkan semuanya," kata Freya membuka percakapan. "Aku mengerti perasaanmu dan rasa sakit yang kamu rasakan. Tapi, aku tidak bisa membantumu untuk membalas dendam. Aku tidak bisa menjadi bagian dari sesuatu yang hanya akan membawa lebih banyak kebencian."

Aarav terdiam, tatapannya kosong. Freya melanjutkan, "Mungkin kita bisa mencari cara lain. Cara yang lebih baik untuk menyelesaikan ini. Jika kamu mau, aku akan selalu ada untuk mendukungmu dan membantumu melewati masa sulit ini. Tapi bukan dengan cara yang kamu rencanakan."

Aarav menghela napas panjang, menundukkan kepala. "Aku... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa begitu marah dan terluka."

"Aku mengerti," kata Freya pelan. "Tapi membalas dendam tidak akan menyembuhkan luka itu. Kita bisa mencari cara lain, mungkin berbicara dengan Hera secara jujur, atau mencari bantuan dari orang lain yang lebih berpengalaman dalam hal ini."

Aarav mengangkat wajahnya, tatapannya sedikit melunak. "Baiklah, aku akan mencoba. Tapi, aku butuh waktu."

"Sebenarnya aku juga butuh bantuanmu, bolehkah aku meminjam uangmu?" tanya Freya lirih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status