“Itu karena kesalahan, Kamu Sherly. Sudahlah jangan membahas yang tidak penting, cepatlah minta maaf ke mereka!“ suruhku mempersingkat masalah. “Tidak penting katamu? Kamu baru saja membahayakan nyawaku, lihat bibirku berdarah! Apa tidak nampak! Clara hanya muntah. Ibu juga tidak kenapa-kenapa. Tapi aku disuruh minta maaf! Hatimu dibuang kemana?!“ tanyanya mendelik membuatku frustasi.Aku mengusap kasar wajah ini. Kenapa susah sekali mendamaikan mereka. Apa perlu kuceraikan saja dia? Tapi aku baru saja mengambil angsuran tinggi. Tidak! Sherly adalah aset yang perlu dipertahankan.“Sherly, aku mohon! Minta maaflah,” ujarku dengan memelankan suara.“Baiklah,” lirihnya. Ia mendekat dan lalu berbisik dekat kupingku. “Aku akan melakukan permintaanmu ... tunggu saja konsekuensinya.“Setelah berucap seperti itu. Ia mundur dan melangkah ke arah ibu.“Bu, maafkan Sherly tadi,” ucapnya ke arah Ibu.“Hem.“ Ibu hanya berdehem dan masih mendongak menatap Sherly.“Clara. Mbak minta maaf.“ Kini ia
“Kamu Kenapa?“Sherly hanya menggeleng, sedangkan juniorku meronta-ronta di bawah. Aku menyejepitnya dengan kedua pahaku, setidaknya menahan beberapa saat.Aku pun dengan gerakan pelan, memapah Sherly ke ranjang.Ia tidak menolak juga tidak meresponnya. Namun aku tidak bisa memilih, juniorku harus dipuaskan. Aku pun membuka roknya yang menutupi dirinya.Kini aku merangkak naik dan saat melihat wajahnya, lagi. Ia sudah berlinang air mata. Apa aku salah meminta hakku sebagai suami?“Kamu kenapa? Bicaralah jangan hanya menangis?“ tanyaku lalu beranjak dan duduk di sebelahnya. Kecewa.Aku menoleh, melihatnya yang ikut bangun dan memungut bajunya lalu mengenakannya.“Mas, hatimu ke mana? Tadi menamparku dan sekarang minta enak-enak. Aku ini apa di matamu?“ tanyanya dengan nada pelan.“Bukannya hubungan intim kita sama-sama enak? Kamu lupa dulu, Kamu yang sering meminta duluan. Tapi kenapa sekarang seolah-olah, Kamu tidak menikmati dan mengatakan kalau mas jahat?“ Aku menggeleng menatapnya
“Tidak. Lang! Aku sudah nyaman di sini. Tolong jangan ganggu aku lagi, kita sudah mantan.“ Begitu suara yang aku dengar, ternyata dia sedang bertelepon.Aku menarik kepala ini dan kini berdiri tegak. Senyumku sedikit menyungging saat mendengar tadi, betapa setianya calon istriku ini. Lantas aku pun mengetuk pintu kamarnya.Tidak lama Clara membukakan pintu itu, wajahnya terkejut saat aku berada di depannya. Ia terlihat gugup lalu merapikan rambutnya.“Kenapa, Mas?“ tanyanya.“Amira mana? Biar aku ajak ke warung. Biar, Kamu bisa ngapa-ngapain.““Amira, Mas. Dia lagi ngedot. Bentar ya, aku ambilkan.“Aku mengangguk, menantinya.“Ini, Mas. Mau digendong?“ tanyanya sembari menyodorkan Amira ke arahku. Aku langsung sigap meraihnya dengan hati-hati.“Ia gendong saja.“Ia kembali masuk dan tidak lama membawa sebuah kain jarik, lalu ia melingkarkan jarik itu ke badanku. Lalu melilitkan setelah semua pas.Wangi badannya tercium oleh indera penciumanku. Saat badannya hendak menjauh, aku meraih
POV SherlyAku menatap punggung Mas Pram saat ia pergi meninggalkanku. Setelah pintu itu tertutup rapat, segera kuhapus air mataku ini. Lalu aku bangun dan mata ini memindai setiap inci untuk mencari rontokan rambut Mas Pram. Aku menyibak badcover, masih juga belum menemukan. Lalu kuraih ponsel yang masih tersimpan rapi di tas untuk menyalakan senter. Kuusap layar ponsel, ternyata ada pesan dari Herman. Akupun langsung membukanya.[Rumah kapan siap disurvei? Soalnya sudah ada calon pembeli yang tertarik ingin melihat-lihat]Akupun langsung mengetik untuk membalasnya.[Insyaallah secepatnya, nanti saya kabari lagi, ya][Kalau bisa Minggu ini ya, soalnya yang survei dari luar kota dan bisanya Minggu ini][Siap]Aku langsung menutup aplikasi WhatsApp lalu segera ke playstore untuk mendownload sebuah aplikasi pemesan tiket.Setelah menunggu sekian detik, akupun langsung memasukkan beberapa data juga alamat yang diminta. Setelah itu segera aku pesan 4 tiket ke Bali untuk hari lusa, pulan
“Yasudah, ini Amira gendong!“ “Argh, ya! Ya! Aku ambilkan air minum!“ desisnya lalu berjalan dengan menghentakkan kakinya.Lihatlah tingkahnya sok sekali, siapa dia di rumah ini, kamu akan menyesali perbuatanmu, Clara!Aku pun segera kembali ke kamar, lalu mengambil plastik klip yang selalu tersedia di lemari kecilku.Aku pun memasukkan rambut Clara ke satu wadah plastik khusus dan tidak lupa menamai pemiliknya.Setelah itu aku memasukkan ke dalam dompet pribadiku.Kutatap Amira, rambutnya sudah lebat meskipun pendek. Segera aku raih empeng yang dikalungkan di lehernya lalu memasukkan ke bibirnya, setelah itu dengan sangat terpaksa. Aku mencabut rambutnya beberapa helai. Kupandangi wajah Amira yang sedikit meringis.Akupun segera mengayunkan badannya. Tidak lama ia pun langsung tertidur. Aku pun langsung menyimpan rambut tadi seperti yang aku lakukan kayak rambut Clara tadi. Dan menyimpan dalam wadah yang berbeda.Kini hanya tinggal punya mas Pram yang belum.Setelah tersimpan rapi,
Aku begitu girang dalam hati. Modal 30 juta akan balik 10 kali lipat. Hahahaha.Psst ... aku segera menunduk, tentu saja menyembunyikan raut wajahku, susah sekali untuk tidak ketawa.Segera aku tarik napas dalam-dalam. Lalu aku mendongak kembali. Terlihat Clara yang cemberut. Wajahnya tertekuk.Aku suka sekali melihat raut wajahnya.“Lantas buat apa aku suruh ke sini? Maksud, Mbak mau pamer ke aku gitu?!“ desisnya ke arahku.Aku tidak mengindahkan, biar dia gondok saja dulu.“Assalamualaikum!“ terdengar salam dari luar .Kami kompak langsung menatap ke arah pintu luar, tidak lama Bapak masuk dengan kail pancingannya.“Bapak, besok kita jalan-jalan, Pak!” seru Ibu menyambut Bapak dan sedikit berlari ke arahnya. Girang sekali.Bapak tidak menyambut pelukan dari ibu, ia sempat syok sesaat lalu memandang kamu untuk meminta penjelasan.Tapi ibu langsung melepaskan pelukan dan menggandeng berjalan mendekat ke arah kami.Bapak pun ikut duduk. Meminta penjelasan dengan kening masih berkerut.
POV Sherly Pagi yang cerah secerah harapanku, pagi ini setelah salat Subuh aku mau joging keliling kampung sini. Segera kupakai pakaian khusus untuk olahraga jangan lupa memakai sepatu. Aku segera keluar kamar, namun sudah disambut dengan tangisan Amira. Aku mendekat, apa gerangan yang bikin menangis? Aku ingin melihat pintu kamarnya. Namun belum sempat kulihat hasil karya di dalam selain suara Amira. “Dek. Cepat disusui, panggang dia. Ini tidak ada hubungannya dengan jalan-jalan.” Suara Mas Pram yang terdengar. Jalan-jalan? Sebenarnya mereka lagi bahas apa di dalam? “Tidak mau, Mas. Aku tidak mau ngasih asi.” Sayup terdengar suara Clara yang menolak untuk memberi Asi. Gemas aku bertanya dengan sufor? Kebanyakan Drama. “Dek. Kasihan. Jam segini toko belum buka. Sudah tidak punya stok susu lagi, jangan egois gitu lah, Dek,” ujar Mas Pram. “Iya, tapi, Mas bilang dulu. Ajak aku ke Bali!” Astaghfirullah, hanya demi jalan-jalan tega membiarkan anaknya menangis lagi. Tok! tok!
Aku mengangguk lalu duduk di sofa ruang tengah. Tidak lama Tante keluar lagi membawakan 2 mangkok kosong juga sendok. Akupun langsung meraihnya dan menuangkan bubur itu ke mangkok 1 per 1.Tidak menunggu lama, Tante keluar lagi membawakan 2 gelas teh, lalu ia duduk di depanku dan meraih mangkok yang aku sodorkan.Kami pun sarapan bersama, jujur dalam hati ini, aku merasakan kehangatan saat bersama Tante Yanti. Beliau begitu supel, bawaannya ramah tidak bikin jenuh. Awalnya aku begitu canggung saat pertama kaki ini melangkah masuk ke rumah segede dan megah ini. Jujur aku suka minder saat berhadapan dengan orang kalangan atas. Tapi pembawaan Tante Yanti yang begitu ramah membuatku nyaman berada di sini.“Kemarin Suamimu ke sini membawa beberapa sembako untuk Tante,” ujar Tante menunjuk dua kantong yang masih teronggok di samping pintu depa setelah selesai menghabiskan buburnya.“Ke sini? Ngapain, Tante?“ tanyaku pura-pura tidak tahu.“Dia bilang untuk tidak mempercayai dan mendengar ka