“Sherly. Kunci mobilnya kok gak diambil?“ teriak Tante Yanti. “Sudah, Tante!“ Aku sedikit teriak karena memang kamu sedang berjauhan, aku di garansi sedangkan Tante masih di dalam.“Pake mobil Tante saja, itu barang ngapain dikeluarkan!“ seru Tante dengan berjalan ke arahku.Aku berhenti saat ingin mengangkat kardus ini. Mobil Tante terlalu bagus untuk dibawa ke kampung, aku takut sampai tergores ataupun kenapa-kenapa. Kalau hanya jarak dekat masih aman. La ini? Ke kampung yang memakan hampir 8 jam untuk pulangnya.Aku menggeleng, “Pakai ini saja, Tante.““Sherly, gak papa. Kalau pakai mobil Tante nanti kita bisa gantian, Tante belum terlalu mahir bila menyetir selain mobil sendiri,” ungkapnya.Aku merenung, ada benarnya ucapan Tante, jujur aku masih meragukan kemampuan mengendarai mobil Berjam-jam karena memang belum pernah. Aku pun menerima tawaran Tante dan mengunci mobil kembali. Aku meraih kunci yang disodorkan Tante. Lalu memasukkan barang-barangku ke dalam bagasi lalu memban
POV PRAM Aku memandang mereka secara gantian di depan rumah yang akan ditempati kita nantinya. Ini diluar perkiraanku, bahkan aku tidak pernah menyangka Sherly tega menyewakan kontrakan yang sangat tidak layak untuk kami.Kami sama-sama tertegun melihat pemandangan ini. Rumah tembok yang belum di cat tapi bukan rumah habis dibangun melainkan bekas pakai. Aku masuk lebih dulu dengan menyibak beberapa rumput yang menghalangi jalan. Dengan menutup hidung ini aku membuka pintu dengan kunci yang sudah aku pegang ini.Aku membukanya, mengintari semua ruangan yang kosong melompong itu, bahkan 1 kursipun tidak tersedia di sana. Tidak ada karpet maupun ranjang yang teronggok di sini.Bagaimana caranya aku akan melewatkan semua ini, sedangkan besok sudah harus bekerja. Kemana aku meminjam di malam hari begini. Belum sempat memecahkan masalah, Clara menyusulku, dia menepuk pundakku.“Sepertinya kita harus mengecat rumah ini dan membeli beberapa perlengkapan, Mas.“Aku diam mendengar dia bicar
Sesampainya kantor. Aku lupa mempersiapkan id card. Bahkan ponselku dalam keadaan mati total. Sial! Aku pun di panggil ke ruangan HRD. Tentu saja karena telat juga memakai pakaian bebas.Ah! Mungkin saja hanya sebuah teguran kecil.Aku pun berjalan ke arah ruangan HRD. Lalu aku mengetuk pintunya.“Masuk!“ teriak seseorang dari dalam.Aku pun membuka pintu lalu masuk dan menutup kembali. “Kamu tahu kan kesalahan apa yang, Kamu lakukan hari ini?“ Aku diam dan semakin menunduk. “Bahkan setelah mengambil cuti panjang, di hari pertama masuk, kamu sudah berangkat kesiangan.“Aku masih diam kerena memang benar adanya.“Lihatlah penampilanmu, apakah, Kamu mau menunjukkan betapa kerennya dirimu karena sudah jalan-jalan ke Bali?“Aku menggaruk tengkuk leher ini yang tidak gatal. Aku sudah tidak punya nyali lagi si sini. Bahkan bila harus menyapu ngepel untuk hukuman pasti akan aku lakukan.“Tanda tangani ini!“ Pak Aris memberikan sebuah dengan sedikit membanting ke atas meja. Aku segera me
POV Clara.Aku menatap ibu yang masih termangu hanya diam di tempat tanpa membantu membersihkan rumah. Jujur aku yang melihat dia hanya nganggur, sementara aku hampir habis tenaga ini hanya mencabuti rumput liar yang mengganggu, bahkan urusan dalam rumah belum terjama sama sekali. aku mengusap peluh ini yang terus meleleh dari tadi. Aku menghela napas ini lalu membuangnya kasar. Dengan berkacak pinggang aku menghampirinya, tidak bagus lama-lama dibiarkan.“Bu, bergeraklah! Clara capek daritadi yang membersihkan rumput. Ayo bergotong royong biar cepat selesai!“ Ajakku ke Ibu. Lagian Amira juga sudah aman, tidur di dalam rumah yang sudah dialasi beberapa lembaran kain baju sisa yang kita punya.“Siapa suruh! Biarkan saja tetap begitu. Ibu sudah nyaman begini,” jawabnya yang membuat emosiku naik satu oktaf.Aku menggigit bibir ini, percuma ngomong dan nyuruh sama ibu tua yang egois. Aku menghentakkan kaki ini lalu meninggalkan masuk. Aku pun mengambil galah yang teronggok di samping rum
“Owh. Anaknya Bu lani, ya?“ tanyanya sambil memelankan laju motornya.Bahkan tangan satunya sudah lepas dari stang motornya. Badannya pun dimundurkan dan sekarang agak mepet ke arahku. Apa maksudnya ini?Aku sedikit merasa tidak nyaman, bahkan kini tangannya diletakkan di atas kakiku. Ia meraih tanganku yang saat ini menggenggam kain jaketnya untuk menjaga keseimbanganku. Lalu ia melingkarkan tanganku ke perutnya? Apa-apaan ini.Aku segera menariknya. Aku bukan wanita murahan. Lihatlah bahkan rambutnya saja sudah tumbuh uban.“Kamu jangan sungkan ya minta tolong sama Bapak!“ Aku bergeming, rasanya ingin aku mengumpat andaikan aku sedang tidak minta tolong padanya. “Bapak akan memberikan semua yang, Kamu inginkan. Bahkan Bapak tidak akan membiarkan, wanita secantik, Kamu tinggal di kontrakan seperti itu.“Aku bergeming, itu tidak akan terjadi. Sekian menit kami hening dalam diam, bahkan Bapak itu tidak mengoceh lagi.“Bapak mau mampir ke Indimirit dulu.“ Ia berucap sembari membelo
Aku mendorongnya setelah dia berhasil menciumku. Aku tidak munafik tapi jujur ciumannya sangat memabukkan. Aku segera keluar kamar mandi untuk mengatur detak jantungku yang berpacu tidak beraturan. Aku menarik napas lalu membuangnya dan aku melakukan berulangkali.“Clara, aku akan selalu siap bila, Kamu menginginkan lebih dari ini,” bisiknya lagi dari belakang.Tidak kuhiraukan, segera aku melangkah panjang keluar dari sini. Aku menoleh ke belakang, lelaki tadi berlari mengejarku. Tidak ada pilihan selain aku pulang lagi bersamanya. Tidak ada uang juga jangkauan di sini sangat tidak aku kenali.Mana mungkin aku pulang berjalan kaki dengan menggendong. Itu sangat mustahil.Akhirnya motor melaju lagi, ada sedikit kedonngkolan di hati, bukannya tadi menawarkan untuk belanja tapi lihatlah bahkan kini pulang dengan tangan kosong. Untung saja aku segera menepis tangannya tadi saat hendak menelusup ke area dada. Cukup sampai rumah aku tidak akan pernah menghubunginya lagi, tidak sudi!Motor
“Kenapa pulangnya cepat, Mas. Biasanya nyampe sore?“ tanyaku keheranan. Apalagi sekarang masih sekitar jam 2 an. Terlihat dari panas teriknya matahari.“Aku di skors karena menampar salah satu teman kerja,” lirihnya.“Loh, kenapa bisa bermasalah sih, Mas. Harusnya tahu diri! Kita lagi kesusahan, uang juga tidak ada, Mas itu sebelum bertindak itu mikir dulu. Sudah punya uang pegangan belum!“Kini giliran ku yang menyalang ke arahnya. Baru pertama masuk sudah berbuat onar. Awas saja kalau sampai dipecat.“Kamu itu! Bukannya nenangin suami malah nyerocos tidak jelas!“ desis Pram.“Suami? Tidak salah? Kapan kita ijab kobul? Kita itu hanya kumpul kebo! Dasar lelaki hanya ingin enaknya saja!““Besok pasti aku nikahi, sekarang ambilkan aku minum dulu!““Gak ada!““Clara!““Mana uangnya! Aku belikan sekarang!“ Aku menyodorkan tanganku ke arahnya.“Aku sudah tidak punya uang lagi, Clara. Sanalah pinjam ke warung dulu, sekalian belikan nasi bungkus. Rames atau Padang gak papa.“Aku mendengkus.
“Apa hubungannya ponsel dengan gajian, seumur-umur aku belum tahu kalau pekerjaan bisa mengetahui kehidupan karyawan termasuk cicilannya?“ protesku tidak terima, apalagi ponsel itu tidak jadi milikku pula.“Soalnya aku ngambil cicilan lewat sana. Dia jabatannya lebih tinggi dari aku, jadi dia punya koneksi untuk mengambil gajiku lebih dulu. Masak, Kamu gak paham sih hal beginian?“ Aku bergeming, lalu membuka karet yang membungkus nasi bungkus ini. “Ibu gak disuruh masuk, Mas? Tadi ngeluh lapar kan?“ tanyaku lagi saat melihat ia juga mau membuka nasinya.Iapun bangkit lalu berjalan keluar, sementara aku mengedikkan bahu dan memulai makan. Mumpung Amira masih tidur.Kupandangi sesaat nasi yang sudah bercampur kuah itu. Teringat pemiliknya julid membuatku ilfil juga mengurangi nilai plus pada nasi ini. Aku pikir tadi adalah kali terakhir aku membeli ke dia.Aku pun memulai suapan pertama. Kupejamkan mata ini. Sekejap. Ah, kenapa rasanya begitu pas di lidah ini. Kusuap lagi sampai tanda