"Kamu mempermainkan aku, Yul!" tegasnya dengan rahang mengeras dan mata membeliak, tapi aku menghadapi lelaki itu dengan tenang dan senyuman.Aku tak suka marah-marah, aku lebih suka bersikap tenang tapi diam-diam menghanyutkan."Ini adil untuk kita, Mas. Kamu dapat yang kamu mau 'kan? Rumah, mobil, dan sejumlah uang yang ada dalam tabungan rahasiamu itu," ujarku Matanya mengerejap saat aku mengatakan uang tabungan rahasia, padahal aku sudah tahu semuanya sejak dulu, jika Mas Ferdi menyerahkan tabungan rahasia itu pada SusanAwalnya aku memang marah. Namun, melihat sikapnya yang sangat sayang padaku dan anak-anak, amarahku kembali reda, dan aku menganggap jika uang tersebut hanya sekedar uang perpisahan, atau untuk menebus rasa bersalah Mas Ferdi pada Susan."Restoran ini berkembang karena aku, Mas, karena aku pintar masak. Sudahlah ikhlaskan saja, sekarang tempat ini menjadi milik anak kita, aku hanya mengelolanya sebentar sampai ia dewasa."Ia melirikku lagi dengan tatapan tak teri
Aku terdiam sejenak mengurai amarah yang hendak meledak."Tak usah ikut campur antara urusanku dan Mas Ferdi, urus saja klub malammu itu, agar polisi tak menggerebek tempat itu." Aku tersenyum sinis.Lalu berdiam menghampiri Hana yang baru datang dari kantin rumah sakit ini."Aku pulang sekarang, Han. Semoga ibu cepat pulih ya, kalau ada apa-apa kamu kabari aku.""Ok, terima kasih ya sudah datang, dan hati-hati."lalu keesokan harinya tepat pukul sebelas siang aku kembali menerima telpon dari Hana."Mbak, ibu meninggal."Jantungku seolah berhenti berdetak beberapa detik, rasanya baru kemarin kami bertemu dan bertukar cerita, oh ibu kenapa secepat ini."Mbak, datang ke sini ya bantu aku urus-urus pemakan ibu," ujar Hana sambil menangis."Iya baiklah, sekarang Mbak langsung ke rumah ya, jenazahnya sudah siap dipulangkan?" "Iya sebentar lagi, aku baru selesai urus administrasi, dan tolong hubungi temannya Mas Ferdi ya, Mbak, aku ga tahu dia di mana karena nomernya tidak aktif," jawabnya
(POV FERDI)Seperti orang gila aku berlarian di koridor rumah sakit menuju ruang ICU, karena jarak rumah sakit lebih dekat maka aku putuskan untuk ke tempat ini dahulu sebelum pulang ke rumah ibu, dengan harap aku akan memangku tubuhnya menuju ambulans.Yuli kurang aj*r sekali tak memberitahuku di mana ibu sekarang, tenggorokanku terasa kering saat petugas administrasi mengatakan jika ibu sudah pulang ke rumah.Saat itu juga aku tancap gas menuju rumah ibu, tak terasa air mataku menitik dengan sendirinya, teringat kenangan-kenangan manis bersama ibu di masa kecil.Aku menekan klakson dengan keras saat mobil di depan sana tak juga melaju, rasanya ingin berteriak sekencang mungkin agar mereka tahu apa yang menimpaku.Jemariku merogoh saku celana kiri dan kanan, ah aku lupa, jika sejak semalam ponselku sedang diisi daya dan belum sempat mencabutnya.Aku mengacak rambut lalu mengusap wajah sambil menangis bagaikan anak kecil, hampir saja aku menyerempet pedagang kaki lima karena kedua tan
Sejahat apapun manusia tetap akan merasa hancur dikala melihat ibunya tak bernyawa, sekarang saja ibunya masih ada, Susan masih bisa berkata begitu.Setiap hari Yuli, ibunya dan ketiga putriku datang menemui Hana, memberikan banyak makanan dan uang untuk disedekahkan atas nama ibu Tetapi tak pernah satu kata pun terucap dari mulutku untuk menyapa mereka, alhasil ketiga putriku pun menjadi acuh kepadaku."Berhenti caper dan sadar dirilah, Mbak.""Hei, apa Mbak budek? Ini rumah mertuaku dan aku menantunya lalu Mbak Siapa Hem?"Saat akan ke kamar mandi kudengar Susan bicara di dapur, sudah pasti dengan Yuli."Aku anaknya Ibu, sejak dulu dia tak pernah menganggapku menantu, dia selalu menganggap aku seperti putri kandungnya sendiri, apa kamu paham?" balas Yuli.Setelah itu Susan tak lagi bicara dan saat akan melangkah ternyata kami berpapasan di lorong yang menghubungkan ruang tengah dan kamar mandi, jelas sekali wajahnya terlihat emosi.Yuli memang selalu memiliki jawaban telak saat a
"Hahahaha.""Sejak dulu kamu selalu memiliki rencana yang tak terduga, Yul," ucap David"Kamu juga, ga sia-sia kuliah tinggi-tinggi, bisa jadi pengacara hebat dan membela semua kalangan," balasku lalu tergelak."Kalangan yang benar dan salah, hahahaha," timpal Budi.Lalu kami tergelak bersama, tiba-tiba saja ada yang menarik kasar sebelah pundakku dari belakang."Jelaskan sama aku, Yul!" tegas Mas Ferdi.Aku langsung memalingkan wajah dengan sinis, tanganku sedikit bergetar, tapi aku harus memperlihatkan raut wajah setenang mungkin."Apa yang harus kujelaskan hem?" tanyaku dengan tatapan menantang."Budi, ada hubungan apa diantara kalian? Dan apa yang kalian tertawakan?"Aku melirik ke sekeliling, saat ini kami menjadi pusat perhatian pengunjung lain akibat keributan yang diciptakan Mas Ferdi."Tidak ada hubungan apa-apa, kita saling kenal cukup lama, memangnya kamu ada masalah apa sih?" Mas Ferdi menyeringai sinis, mungkin sudah muak dengan sandiwara yang kulakukan, tapi bukankah a
"Mbak, apakah benar restoran itu kini menjadi milik Desti?" tanya Hana.Seperti biasa aku selalu datang ke rumah ibu membawa banyak makanan, kini Hana tinggal sendiri di sini karena anaknya tinggal dengan mantan mertuanya."Iya, Han, Mas Ferdi cerita ya?" "Iya dia menceritakan semuanya, kok bisa ya Mbak gerak cepat gitu, laki selingkuh masih aja bisa berpikir panjang, kalau aku mungkin udah ...." Ia tak lagi melanjutkan perkataannya.."Sudah apa, Han?""Tahulah, Mbak, pokoknya pasti sakit 'kan?""Sakit tapi tak berdarah, Han." Kami pun tergelak bersama."Mbak, bolehkah aku kerja di restomu, tempat kerjaku sekarang jaraknya jauh, kalau ke resto Mbak 'kan deket jadi bisa ketemu anakku kalau pulang kerja," pintanya dengan wajah memelas.Aku menatap wajahnya mencari keseriusan di sana."Baiklah, datang saja besok pagi ke restoran ya, masuk ke ruang staf dan temui Caca, dia yang akan memberi arahan pekerjaan apa yang harus kamu lakukan."Mata Hana mendadak berbinar, ia merangkul kedua pu
"Apa? Kebakaran, Pak?"Napasku tak beraturan dengan tatapan menerawang, jiwaku seakan mengawang ke udara bersama embusan angin."Sebaiknya Ibu ikut kami ke lokasi sekarang ya."Aku masih diam terpaku dengan tatapan kosong dan punggung bersandar ke kusen pintu, memegangi dada dengan sebelah tangan karena merasa sesak."Ya Allah, ya Allah, ya Allah ....""Tenang ya, Bu, ya. Sabar, tim pemadam kebakaran sedang di perjalanan saat ini."Mataku membulat, membayangkan api sudah membumbung tinggi di tempatku mencari sesuap nasi itu."Kenapa baru datang? Bukannya dari tadi!" Sedikit membentak aku bicara pada pria berseragam coklat itu "Sebaiknya Ibu bersiap ikut kami ya."Aku masuk ke dalam rumah dengan sempoyongan, masuk ke kamar Desti yang terlihat gelap dan membangunkannya."Kak.""Kak.""Hem." Anak sulungku itu menggeliat."Bangun, Sayang.""Ada apa, Ma?" Akhirnya mata anakku itu terbuka."Resto kebakaran, Sayang. Mama mau ke sana sekarang, pindah bobonya ke kamar Mama ya kasian Dara send
CCTV yang terpasang d restoran mendadak mati sebelum kebakaran itu terjadi, tetapi dari CCTV gedung sebelah yang merupakan toko kue cukup terkenal di kota ini menunjukkan ada seseorang yang berbaju serba hitam keluar dari restoranku sebelum kobaran api terlihat."Sudah jelas kebakaran ini akibat ulah seseorang, Pak," ucap Andre.Mengetahui ada masalah dalam bisnis kami, ia yang sedang berada di Bogor mendadak pulang menemuiku."Kami akan terus menyelidiki kasus ini, Pak, jika ada perkembangan saya akan hubungi Bu Yuli."Aku membuang pandangan, merasa muak karena selalu tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari aparat kepolisian.Kami berjalan bersisian dalam keheningan menuju parkiran, hatiku benar-benar kacau saat ini, komentar Susan kerap melintas memenuhi isi kepala.Benarkah ini karma untukku? Karena aku sudah membuat suamiku sendiri sakit?Lalu bagaimana dirinya yang sudah membawa perempuan lain ke rumah kami hingga rumah tangga ini hancur dibuatnya."Tenanglah, Yul, kita ak